hellenisasi atau islamisasi ilmu pengetahuan?
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia
merupakan makhluk berbudaya. Karenanya banyak tradisi tercipta atau terwujud
dalam setiap aspek kehidupan manusia. Begitu pula pada masa mulai tumbuhnya
islam di semenanjung arab, dimana budaya bangsa arab masih dikatakan primitive
(terbelakang). Ketika islam lahir, bangsa arab dikelilingi oleh bangsa-bangsa yang
berkebudayaan tinggi dan megah, seperti Persia, Romawi, Yunani, dan India.
Sebagai masyarakat yang baru lahir, msyarakat islam hendak memilki budaya yang
maju sebagaimana.
Bangsa-bangsa terdahulu.
Sebagai bentuk
adanya keinginan untuk menjadi masyarakat berbudaya di perlukan proses adopsi
kebudayaan dari bangsa lain yang lebih maju kedalam islam yang di pusatkan
melalui pendidikan. Dengan cara mempelajari secara lansung peradaban bangsa
lain maupun dengan menerjemahkan literature-literatur non islam. Akibatnya
hellenisme berpengaruh kuat dalam sendi-sendi perkembangan pendidikan islam,
sehingga mengasilkan pemikiran yang lebih maju karna para pemikir islam bukan
Cuma carbon copy hellenisme tapi lebih pada konteks “memperluas” pemikiran
hellenisme. Karena pemikir islam mendalami, mengamati, mengkaji sehingga
menghasilkan satu titik temu berupa pengetahuan atau teori-tori baru yang belum
ada sebelumnya.
1.2 Maksud dan
Tujuan
Untuk mengenal
lebih lanjut tentang hellenisme dan pengaruhnya dalam perkembangan pendidikan
islam. Selain itu juga mengerti perkembangan pendidikan islam lebih lanjut
akibat pengaruh interaksi dengan tradisi intelektual non muslim. Mengetahui
pendidikan pada masa kejayaan islam (dinasti Umayyah-Abbasiyah).
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hellenisasi Pemikiran Islam
Istilah Hellenisme adalah istilah modern yang
diambil dari bahasa yunani kuno Hellenizein yang berarti “berbicara atau
berkelakuan seperti orang yunani (to speak or make greek). helenisasi [1]adalah sebuah kata yang
diturunkan dari kata Hellas (nama kuno untuk Yunani). Helenisasi sendiri adalah
istilah teknis untuk menggambarkan proses perubahan kultural yang terjadi
sekitar Abad ke-2 sM hingga parohan Abad Pertama Masehi di mana pengaruh
kebudayaan Yunani (termasuk dalam hal cara hidup) sangat dominan. Dominasi kebudayaan Yunani
ini tidak dapat dilepaskan dari perluasan kekuasaan Yunani di bawah pimpinan
Aleksander Agung pada Abad ke-3 sM. Pengguna’an Istilah Hellenisme
terbagi dalam 2 macam yaitu:
a.
Hellenisme
klasik: Yaitu kebudaya’an yunani yang berkembang pada abad ke-5 dan ke-4 SM.
b.
Hellenisme
secara umum: Istilah yang menunjukkan kebudaya’an yang merupakan gabungan
antara budaya Yunani dan budaya Asia kecil, Syiria, Mesopotomia,dan Mesir yang
lebih tua.
Sebagai
pemikiran yang lebih awal, hellenistik berperan penting pada proses
perkembangan pemikiran islam yang di tandai dengan penerjemahan
pemikiran-pemikiran Yunani telah menyebabkan semaraknya dunia pendidikan islam
dimasa klasik. Walaupun pendidikan islam dimasa klasik tidak sekompleks
pendidikan modern, pendidikan islam di masa klasik dapat dikatakan maju bahkan
telah dianggap mencapai masa keemasn dalam sepanjang sejarah. Sejak permulaan
penerjemahan karya-karya pemikiran Yunani, pendidikan islam mengalami kemajuan
pesat baik dalam pengajarannya (kurikulum) maupun lembaga pendidikannya.
Sebagaimana
telah dipaparkan di atas, sejak penerjemahan buku-buku yunani, kurikulum dalam
pendidikan islam mengalami kemajuan pesat.lembaga-lembaga pendidikan yang sebelumnya
hanya mengajarkan pengetahuan agama, mulai mengajarkan ilmu pengetahuan,
seperti matematika, filsafat, dan kedokteran. Tidak hanya itu saja, kontak
dengan hellenisme menimbulkan pengaryh yang lebih jauh lagi. Perkenalan dengan
warisan hellenisme tidak sekedar membuat umat islam puas dengan hanya pemikiran
Yunani, tapi juga mendorong semangat kehidupan intelektual islam. Setelah
menguasai karya-karya hellenisme, ilmuwan-ilmuwan muslim mengadakan pengamatan,
penelitian, dan pengkajian lebih jauh sehingga mereka berhasil menemukan
teori-teori baru dibidang ilmu pengetahuan dan filsafat yang belum ada
sebelumnya. Wacana intelektual islam
mengalami kemajuan pesat sebagai akibat dari kontak Hellenisme bukan hanya mempengaruhi
lahirnya wacana di bidang pengetahuan dan filsafat islam, tetapi juga
pemikiran-pemikiran keagamaan, seperti teologi, tafsir, bahasa, hukum islam dan
sebagainya.
2.2
Akibat Interaksi Intelektual Muslim dengan Non-Muslim
Dengan tanpa dimaksudkan untuk mengesampingkan atau mensubordinasikan
wahyu dalam arti sempit, kemajuan yang dicapai Islam pada masa klasik sangat
erat hubungannya dengan terjadinya interaksi antara Islam dan aneka ragam
kebudayaan yang berkembang saat itu, seperti yang terdapat di Bizantium,
daerah-daerah Mesopotamia, Persia, India, dan Cina. Interaksi ini kemudian
melahirkan hal-hal yang positif karena adanya sikap terbuka kalangan Islam
untuk mempelajari dan menerima sesuatu yang ditemukannya. Kendatipun demikian,
Islam tidak serta merta dengan pasif mengambil seluruh keilmuan yang ada,
melainkan menyeleksinya dengan baik sehingga tidak berbenturan dengan
prinsip-prinsip Islam yang fundamental. Kemudian, Islam mengembangkan ilmu yang
diperolehnya ini dengan kreatif sehingga pada gilirannya melahirkan
penemuan-penemuan baru yang dapat dikontribusikan dalam dunia ilmu pengetahuan.
Dengan demikian patut kiranya apabila kemudian diskursus keilmuan Islam ini
tidak dikatakan sebagai carbon copy Yunani atau pinjaman atau helenisasi atau
rekapitulasi dari anekaragam kebudayaan yang ada dan sempat memberikan
inspirasi, melainkan islamisasi berbagai tradisi keilmuan. Islamisasi ini
meliputi semua aspek, ontologi, epistemologi, dan aksiologinya, di samping juga
diekspresikannya dalam bahasa Islam.
Terjadinya islamisasi berbagai tradisi keilmuan ini mempunyai
berbagai implikasi; di antaranya adalah pemfusian ilmu-ilmu yang berserakan di
berbagai tempat, yang tentunya berbentuk lokal, menjadi satu kesatuan. Di
samping itu, adanya pembebasan ilmu-ilmu yang ada ini dari berbagai bentuk
lokal, etnis, mitologi, dan lain sebagainya kemudian membentuknya dalam skala
yang universal.[2]
2.3
Hubungan Hellenisme dengan Kemajuan
Pendidikan Islam
Pemikiran
hellenistik pertama kali menjadi perhatian umat islam setelah mereka tertarik
kepada teologi. Perdebatan antara umat islam dan Kristen yang dilaksanakan
dimajlis-majelis oleh khalifah-khalifah dinasti Umayyah, menyebabkan
umat islam mengenal kebudayaan Hellenistik, seperti istilah-istilah dalam
hellenistik, argument-argumen rasional, dan ilmu sastra[3].
Keteraikan umat islam terhadap kebudayaan Yunani dilanjutkan dengan
penerjemahan buku-buku Yunani kedalam bahasa Arab. Penerjemahan ini pertama
kali dilakukan dimasa Dinasti Umayyah. Ketertarikan umat islam akan warisan
Yunani semakin besar setelah terjadi kontak yang semakin dekat dengan warisan
Yunani. Semenjak al-Manshur naik tahta, umat islam semakin hari semakin terbawa
oleh pengaruh peradaban Yunani. Dan terjadilah pentransferan karya-karya Yunani
kedalam islam dalam skala besar. Pengoperan budaya warisan Yunani yang telah
dirintis oleh al-Manshur dilanjutkan oleh Khalifah al-Rasyid. Lalu oleh
al-Makmun, ia selangkah lebih maju dari ayahnya dengan mendirikan Bait Al-Hikmah, suatu lembaga dan
perpustakaan rasional untuk kegiatan penelitian dan penerjemahan pada 830 M.
Maka
muncullah nama-nama yang sukses pada masa selanjutnya seperti al-Kindi sebagai
perintis intelektual muslim, nama lengkapnya Abu Ya’kub bin Ishaq al-kindi
(wafat sekitar 257/870). Dia dikenal sebagai Failusuf al-’Arab. Lalu al-Farabi, Abu Ali Husein bin Abdillah bin
Sina ditanganya filsafat islam mencapai puncaknya karenanya ia diberi gelar
kehormatan sebagai “al-Syaikh al-Rais” (kiayi Utama). Dibidang kedokteran,
muncul nama Ibn Rusyd, Abu Bakar Muhammad bin Zakariya al-Razi (865-925).
Membuktikan kemajuan kaum muslimin pada masa klasik dan tidak luput dari
pengaruh hellenistik diawal interksinya dengan dunia islam. Tapi juga perlu di
perhatikan bahwa para pemikir, perintis, maupun filosof muslim bukan sekedar
mengikuti pemikiran hellenisme, namun memberikan kontribusi yang lebih besar
dengan munculnya nama-nama penemu, pemikir, dokter muslim yang kenamaan bahkan
menemukan teori-teori baru yang penting dalam perkembangan peradaban secara
Universal.
2.4 Islamisasi sebuah hasil
Interaksi
Ketika
terjadi interaksi maka aka nada sebuah akibat atau yang lebih halusnya hasil
dari interaksi. Dalam masalah ini pertemuan antar tradisi intelektual
muslim-nom muslim akan menghasilkan pertanyaan apakah interaksi ini akan
menghasilkan “hellenisasi” atau sebaliknya “islamisasi” tradisi ilmu?. Untuk
menjawabnya kita harus memiliki tolak ukur dan hasil atau prestise yang timbul.
Perhatian terhadap ilmu pengetahuan di kalangan Islam terjadi
sejak dini; al-Haris bin Qaladah, sahabat Nabi, misalnya telah belajar
kedokteran di Jundishapur, sedangkan Khalid bin Yazid dan Ja‘far al-Shadiq
mempelajari ilmu Kimia.[4]
Adapun ilmu yang dikembangkan Islam tidak mengenal dikotomi dan diskriminatif,
tetapi mencakup aneka ragam ilmu pengetahuan alam, humaniora, dan sosial. Di
antara ilmu pengetahuan alam yang ada saat ini adalah, matematika dan
kedokteran.
a.
Matematika
Matematika
yang berasal dari kebudayaan Babilonia dan Mesir kemudian diterima oleh Yunani,
di samping juga datang dari India dan Persia itu dipelihara dan dikembangkan
oleh Islam melalui penelitian dan eksperimen. Penelitian dan eksperimen ini
sangat penting artinya sehingga al-Biruni, 973-1050, salah seorang
matematikawan terbesar Islam yang menguasai banyak bahasa, Turki, Sansekerta,
Persia, Hebrew, dan Syiria, sebagaimana dikutip oleh De Vaux, menyatakan bahwa
semua hal memerlukan penelitian ilmiah. Al-Biruni juga menunjukkan adanya
sistem heliosentris, bahkan menurut laporannya Abu Said al-Sizi telah membuat
astrolabe berdasarkan teori heliosentris ini.[5]
Sebelum al-Biruni telah muncul pakar matematika Islam al-Khawari Zimi, 780 -
850. Dalam karyanya al-Khawari Zimi tampaknya menyatukan antara tradisi
matematika Yunani dan India sehingga ia berhasil meletakkan dasar-dasar ilmu
pasti algoritme. Karya terakhirnya Hisab al-Jabr wa al-Muqabalat, memuat lebih
dari 800 contoh perhitungan aljabar yang kemudian dijadikan buku teks pertama
di universitas Eropa sampai abad XVI. Di samping itu, al-Khawari Zimi
memperkenalkan nomor-nomor Arab ke dunia Barat, yang berasal dari India yang
diperkenalkan ke dunia Islam oleh al-Fazari.
Adapun
hasil yang dicapai Islam dalam bidang ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
kalangan Islamlah yang pertama kali mengembangkan teori nomor dalam matematika
dan metafisika. Mereka mengeneralisasikan konsep-konsep nomor di luar yang
telah dikenal di Yunani, dan mereka juga menemukan metode-metode baru tentang
perhitungan numerik. Di samping itu, kalangan Islam berhubungan dengan
pecahan-pecahan desimal, deretan hitung, dan cabang-cabang dari matematika yang
berhubungan dengan nomor. Mereka juga mengembangkan sistematisasi pengetahuan
aljabar sekalipun selalu dihubungkan dengan geometri. Kecuali yang telah
disebutkan di atas, kalangan Islam juga mengembangkan trigonometri sehingga
kemudian menjadi ilmu yang terpisah dari astronomi.
b.
Kedokteran
Kedokteran
yang berkembang di Jundishapur dan Persia sampai ke tangan Islam melalui
penerjemahan. Hal ini pertamakali dilakukan oleh Jurjis Bukhtyshu, seorang
dokter yang sekaligus sebagai kepala rumah sakit di Jundishapur, yang
didatangkan ke Baghdad untuk mengobati dan kemudian berhasil menyembuhkan
khalifah al-Mansur yang sedang menderita dyspepsia (gangguan pencernaan).
Adapun karya Galen yang berbahasa Yunani diterjemahkan oleh Hunayn bin Ishaq,
murid Musawaih (yang belajar kepada Jurjis), ke dalam bahasa Syria sebanyak 95
buku dan ke dalam bahasa Arab sejumlah 99 eksemplar.[6]
Kedokteran
Islam merupakan hasil integrasi dari tradisi-tradisi Hippokratik dan Galinik
(yang berasal dari Yunani) serta beberapa teori dan praktek kalangan Persia dan
India. Oleh karena itu, kedokteran Islam merupakan sintesis yang
mengkombinasikan antara pendekatan observasi yang konkrit dari mazhab
Hippokratik, dan metode teoritis filosofis dari Galen, serta menambahkannya
dengan teori-teori dan eksperimen-eksperimen dari para dokter Persia dan India.
Di samping itu, kedokteran Islam sebagian besar tetap berkaitan erat dengan
al-kimia, yang lebih mencari sebab-sebab konkrit pada gejala individu dari pada
melihat sebab-sebab umum seperti dalam filsafat alam.
Salah
seorang pakar kedokteran Islam adalah al-Razi (865 - 929). Di antara karyanya
tentang penyakit campak diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Eropa. Dalam edisi
Inggrisnya, On Smallpox and Measles dicetak ulang (antara 1498-1866) sampai 40
kali. Demikian pula dengan bukunya yang lain, al-Hawi yang terdiri dari 20
jilid diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, 1279, dan dijadikan buku pegangan
penting dalam ilmu kedokteran selama berabad-abad di Eropa.
Tokoh lain
yang menonjol adalah Ibnu Sina (980 - 1037), yang salah satu tulisannya adalah
al-Qanun fi al-Thibb, suatu ensiklopedia dalam ilmu kedokteran, yang pada abad
ke-12, menurut Myerhof, diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerord Grenone
dan dicetak sampai puluhan kali serta tetap digunakan di Eropa hingga abad
ke-17.[7]
Kedokteran Islam tetap mempercayai kesatuan spirit Islam. Kendatipun tradisi
kedokteran itu berasal dari Yunani, Persia, dan India, kedokteran Islam menjadi
benar-benar Islami.
Adapun
ilmu-ilmu yang berhubungan dengan humaniora di antaranya adalah sejarah dan
filsafat.
a.
Sejarah
Penulisan
sejarah dalam Islam tampak menggunakan model Persia, seperti karya seorang
Pahlavi, Khudlay-namah yang disalin ke bahasa Arab oleh Ibnu al-Muqoffa, 757,
dengan judul Siyar Muluk al-‘Ajam. Di antara sejarawan Islam terbesar adalah
al-Thabari, 838 - 923, dengan karya besarnya Tarikh al-Rasul wa al-Muluk, di
samping tafsir al-Qur‘annya. Dalam menulis buku sejarahnya, al-Thabari
menggunakan data dari hadis-hadis yang disampaikan secara lisan, yang
dikumpulkan selama rikhlah ilmiahnya, dan dari kuliah-kuliah yang diperoleh
dari guru-gurunya di Baghdad dan di pusat-pusat studi lainnya, seperti, Persia,
Iraq, Syiria, dan Mesir.
Selain
al-Thabari adalah al-Mas‘udi, w. 956; berbeda dengan al-Thabari yang menyusun
tulisannya secara kronologis, al-Mas‘udi menulis sejarahnya menurut topiknya
seperti dinasti raja-raja dan pelaku-pelaku sejarah. Metode penulisan seperti
ini kemudian diikuti oleh Ibnu Khaldun dan lain-lain. Sebagaimana al-Thabari,
al-Mas‘udi penganut paham Mu‘tazilah ini melakukan rikhlah ilmiah dari tempat
kelahirannya, Baghdad, sampai ke hampir seluruh negara Asia bahkan Zanzibar;
kemudian selama dekade terakhir dari hidupnya al-Mas‘udi menghabiskannya di
Syiria dan Mesir, dengan menulis Muruj al-Dzhahab wa Ma‘adin al Jawhar sebanyak
tiga volume. Hitti menilai bahwa karya ini ditulis secara universal dan langka;
penelitiannya menjangkau subjek-subjek di luar umat Islam, yang khas menjadi
Indo-Persia-Roman dan sejarah Yahudi.
b.
Filsafat
Sebenarnya
filsafat Islam bersumber dari al-Qur‘an dan al-Sunah; tetapi, tidak dapat
dipungkiri bahwa di dalamnya terdapat unsur asing terutama pemikiran Helenisme.
Filsafat ini pada mulanya, seperti yang dinyatakan Stanton, ditransfer oleh
sarjana dari museum Athena ke museum Alexandria. Selanjutnya, kalangan Kristen
khususnya Nistorian dan Neoplatonisme, mengadopsinya kemudian menyebarkannya ke
daerah-daerah Bizantium. Jadi, Islam menerima atau mewarisi filsafat yang telah
mengalami Helenisasi ini.
Tokoh
filsafat pertama dalam Islam adalah al-Kindi, 796 - 873. Ia mencoba untuk
mengkombinasikan pemikiran Plato dan Aristoteles yang telah mengalami
Helenisasi. Al-Kindi, menurut Stanton, menyumbangkan tiga konsep utama, yaitu satu
model ilmu filsafat, yang masih berkomunikasi dengan prinsip-prinsip dasar
pemikiran Islam. Di samping itu, ia memberi penilaian dan mengembangkan
penggunaan pengetahuan yang didapat dari kalangan luar Islam serta memadukannya
dengan keilmuan Islam. Al-Kindi juga memformulasikan metode filsafat Yunani ke
dalam intelektualisme Islam dengan mendiskusikan penggunaan silogisme,
dialektik, dan pendekatan-pendekatan rasional lainnya untuk menambah
pengetahuan.
Di samping dalam bidang-bidang keilmuan di atas, kalangan Islam
juga giat belajar ilmu pengetahuan sosial, seperti geografi dan politik.
Helenisasi ataukah Islamisasi Berbagai Tradisi Keilmuan?
Untuk memberikan “justifikasi” terhadap wacana keilmuan Islam di
masa klasik, apakah Helenisasi ataukah Islamisasi, ada baiknya apabila
sebelumnya diketengahkan pengertian kedua istilah tersebut; dari pengertian ini
diharapkan dapat dipahami termasuk kategori yang manakah keilmuan yang ada
dalam Islam itu.
Helenisasi adalah suatu upaya untuk membuat atau menjadikan
sesuatu bersifat Helenik atau Helenistik, seperti dalam hal bahasa, ide-ide,
dan bentuk-bentuk. Dalam hal ini
tentunya pihak yang aktiflah lebih tepat untuk menyandang predikat. Dengan kata
lain, apabila yang lebih aktif dan yang dominan dari suatu kebudayaan itu
helenik atau helenistik, maka dinamakan helenisasi. Akan tetapi, apabila yang
aktif dan dominan bukan kebudayaan helenik atau helenistik, maka semestinya
tidak dikatakan helenisasi sebab pengambilan atau peminjaman terhadap suatu
kebudayaan yang lebih tua itu merupakan hal yang umum terjadi sepanjang
sejarah. Adapun Islamisasi adalah membawa sesuatu ke dalam Islam26 atau
membuatnya dan menjadikannya Islam.
Mengenai Islamisasi ilmu pengetahuan ini setidak-tidaknya dapat
ditinjau dari tiga aspek, ontologi ilmu tersebut, epistemologi, dan
aksiologinya. Jika dilihat dari segi ontologinya, ilmu yang ada dalam Islam
meliputi tiga klasifikasi (meminjam istilah kontemporer), ilmu kealaman,
humaniora dan ilmu sosial. Hampir senada dengan klasifikasi ini Ibnu Bultan,
abad ke-11 H, sebagaimana yang dikutip oleh Bassam Tibi dari Maqdisi, yang
menyatakan bahwa ilmu itu dibagi tiga, ilmu-ilmu alam, filsafat dan ilmu
kealaman, dan intelektual atau ilmu literatur.
Jika dilihat dari sudut
ini, ilmu alam, misalnya, seperti yang dikutip Kirmani bahwa content ilmu
pengetahuan ini netral. Dengan demikian, ilmu itu tidak perlu diislamkan atau
mungkin juga tidak perlu dihelenisasikan. Lebih-lebih seperti yang diketahui
pada bagian sebelumnya bahwa ilmu pengetahuan yang ada dalam Islam itu berasal
dari berbagai tradisi keilmuan, yakni bukan hanya dari helenik atau helenistik.
Oleh karena itu, tidaklah pada tempatnya apabila dinyatakan sebagai Helenisasi; akan tetapi, lebih dekat
apabila disebut sebagai rekapitulasi dari berbagai tradisi keilmuan yang ada.
Walaupun demikian, istilah yang terakhir ini belum tepat karena
Islam mengembangkan ilmu yang didapatkannya itu secara kreatif sehingga tidak
sedikit temuan-temuan yang disumbangkannya.
Apabila ditinjau dari segi epistemologi, metode yang
dipergunakannya, keilmuan Islam klasik menurut Nasr menggunakan metode
pluralistik. Yang demikian ini adalah valid dan komprehensif, yang mana
realitas dianggap eksis dalam aneka ragam tingkatan, yang dihubungkan secara
hirarkis. Konsep ini adalah realitas multidimensional; hubungan hirarkisnya,
menurut Kirmani, mengembangkan sistem nilai yang cukup komprehensif untuk
mengesahkan metode-metode spiritual dalam bidang sains
Menurut Sardar, sebagaimana disinyalir Kirmani bahwa interelasi
ilmu dalam Islam merupakan aspek penting dari epistemologi Islam; pencarian
ilmu adalah bukan wajib dalam dirinya, tetapi merupakan suatu bentuk ibadah dan
berhubungan dengan setiap nilai al-Quran seperti khilafah, adil, dan istishlah.
Metode yang holistik dari epistemologi Islam dan penekanannya pada kesatuan
ilmu dan nilai, material dan metafisik, menyebabkan ilmu Islam ini unik
sifatnya.
Kemudian dari segi aksiologinya, jelas bahwa Islam sangat
mementingkan nilai dalam ilmu yang dikembangkannya.
Dengan demikian, jelaslah bahwa dilihat dari ketiga aspeknya,
ontologi, epistemologi, dan aksiologinya, diskursus keilmuan Islam klasik
secara umum adalah sebagai islamisasi. Oleh karena itu, tepatlah apabila
Lapidus sampai pada suatu konklusi bahwa hasil konfigurasi kebudayaan yang
dilakukan Islam itu tanpa diragukan adalah murni dan islami.
BAB III
KESIMPULAN
Begitu
berpengaruhnya Hellenisme pada tubuh peradaban islam membuka pencerahan
tersendiri dalam khazanah keilmuan islam. Wacana akan peradaban yang tinggi
terinspirasi dari peradaban terdahulu (Yunani, Persia, dan India) memberikan satu suntikan motifasi bagi kaum muslim untuk
membangun peradaban yang lebih maju. Hellenisasi sebagai rujukan pemikiran bagi
ilmuwan muslim untuk mengkaji, menggali, memahami keilmuan peradaban terdahulu,
untuk mengembangkan dan memberikan
sumbangan keilmuan yang terbaru (yaitu setelah melakukan perenungan, pengamatan
ilmiah, dan dipadukan dengan ajaran-ajaran islam sehingga karya-karya tersebut
oleh Lapidus dan Bernard Lewis dikatakan sebagai karya umat islam murni dan
asli).
Umat islam dimasa klasik mampu
mengalami kemajuan di bidang keilmuan yang manfaatnya universal dan berkaitan
dengan diskursus keilmuan pada masa kini. Kemajuan umat islam semata-mata bukan
hanya dikarenakan pengaruh hellenisme dan berbagai peradaban non-islam, namun
karena ajaran-ajaran islam, yang sangat menghargai ilmu dan kemajuan sehingga
mendorong umat islam untuk terus belajar dan melakukan pengamatan. Kemajuan
tersebut juga ditopang oleh berbagai factor, seperti mantapnya kondisi social
politik islam dan ekonomi umat islam.
DAFTAR PUSTAKA
Nasution,
Harun, islam ditinjau dari berbagai
aspeknya, jilid 1, Jakarta: UI Press, 1985, h. 94
Fakhry,
Madjid, Sejarah Filsafat Islam,terjemahan
oleh R.Mulyadhi Kartanegara, Jakarta: Pustaka Jaya, 1987, h. 34
Yunus,
Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam,
Jakarta: Hidakarya, 1989, h.57.
Nata,
Abuddin, dkk, 2003, Integrasi Ilmu Agama
dan Ilmu Umum, UIN Jakarta Press,
Jakarta
Ibda` | Vol. 3 | No. 1 | Jan-Jun
2005 | 115-129 7 P3M STAIN Purwokerto | Naqiyah Mukhtar
Asrahah,
Hanun, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta:
Logos,1999.
[1]
Menurut Nurcholish madjid, istilah “hellenisme” pertama kali diperkenalkan oleh
ahli sejarah dari Jerman, J.G.Droysen menggunakan istilah “hellenisme” sebagai
sebutan untuk masa yang dianggapnya sebagai periode peralihan antara Yunani
kuno dan dunia Kristen. Lihat Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalh
Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan,Jakarta: Paramadina,1995,h.233.
[2] Abduh, Muhmmad, Risalah
al-Tauhid, Kairo: t.p., 1366
[3]
IraM.Lapidus,A History of Islamic Societies,
Cambridge: Cambridge University Press,1991,h.94.
[4] Nurcholish Madjid,
Islam, Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), hal.
223.
[5]
Arnold dan Guillaume (Ed.), The Legacy, hal. 376.
[7] Arnold dan
Guillaume, The Legacy, hal. 329-30.
Komentar
Posting Komentar