Modul 1 Al-Qur'an Hadits: Hadits dan Sejarah Perkembangan Hadits
PENGERTIAN HADITS DAN SEJARAH
PERKEMBANGAN HADITS
MATERI POKOK
AL-QUR’AN HADITS
MODUL 1
Di Susun Oleh:
Miftah Farid Fakhruddin
1311010151
Di Bawah Pengawasan:
Dra. Chairul Amriyah, M.Pd
FAKULTAS
TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
TAHUN
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur
kami haturkan kehadirat Allah Yang Swt karena dengan rahmat, karunia, serta
taufik dan hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan penyusunan Modul Belajar 1
sebagai materi pokok Al-Qur’an Hadits yang mengangkat judul tentang: PENGERTIAN HADITS DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HADITS ini sebatas
pengetahuan dan kemampuan terbaik yang dimiliki. Modul ini di tujukan untuk
mahasiswa strata 1 atau sederajat sebagai bahan belajar mandiri. Dan juga kami
berterima kasih pada Bapak Dra. Chairul Amriyah, M.Pd sebagai dosen pembimbing
yang telah memberikan tugas ini dan membantu menyelesaikan Modul ini sesuai isi
standar kompetensi dan kompetensi dasar. Kami sangat berharap modul ini dapat
berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita dan dapat
digunakan secara mandiri sepenuhnya oleh mahasiswa.
Kami juga menyadari
sepenuhnya bahwa di dalam modul ini terdapat kekurangan-kekurangan dan jauh
dari apa yang kami harapkan. Untuk itu, kami berharap adanya kritik, saran dan
usulan demi perbaikan di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu
yang sempurna tanpa saran yang membangun semoga makalah sederhana ini dapat
dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi
kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila
terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon maaf yang
sedalam-dalamnya.
Bandar lampung,
25 Februari 2015
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
I.
PENDAHULUAN
A.
Deskripsi............................................................................................. 1
B.
Prasarat............................................................................................... 1
C.
Petunjuk Penggunaan Modul............................................................. 1
D.
Kompetensi......................................................................................... 1
E.
Tujuan Akhir....................................................................................... 2
II. PEMBELAJARAN
A.
Kegiatan Belajar 1
1.
Pengertian Hadits, Sunnah, Khabar dan
Atsar.............................. 3
2.
Tugas.............................................................................................. 8
3.
Rangkuman.................................................................................... 9
4.
Tes Formatif................................................................................... 10
B.
Kegiatan Belajar 2
1.
Kedudukan Hadits Dalam Penetapan Hukum
Islam..................... 12
2.
Tugas.............................................................................................. 19
3.
Rangkuman.................................................................................... 20
4.
Tes Formatif 2................................................................................ 21
C.
Kegiatan Belajar 3
1. Ilmu Hadits
Riwayah..................................................................... 23
2. Tugas.............................................................................................. 30
3. Rangkuman.................................................................................... 31
4. Tes Formatif 3................................................................................ 32
D.
Kegiatan Belajar 4
1.
Ilmu Hadits Dirasah..................................................................... 34
2.
Tugas............................................................................................ 40
3.
Rangkuman................................................................................... 41
4.
Tes Formatif 4.............................................................................. 41
E.
Kegiatan Belajar 5
1.
Sejarah Perkembangan Hadits...................................................... 44
2.
Tugas............................................................................................ 52
3.
Rangkuman................................................................................... 53
4.
Tes Formatif................................................................................. 54
F.
Kegiatan Belajar 6
1.
Riwayat Singkat Tokoh-Tokoh Pentakhrij
Hadits Ternama......... 56
2.
Tugas............................................................................................ 65
3.
Rangkuman................................................................................... 67
4.
Tes Formatif 6.............................................................................. 67
G.
Kunci Jawaban
III.
EVALUASI
A.
Tugas 1....................................................................................... 71
B.
Tugas Belajar 2 Essai................................................................. 73
C.
Tugas Latihan Aktif................................................................... 73
D.
Kunci Jawaban........................................................................... 75
IV.
DAFTAR PUSTAKA
PENGERTIAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HADITS
Pendahuluan
Modul ini berjudul Pengertian Dan Sejarah
Perkembangan Haditsakan membahas tentang pengertian hadits, ilmu hadits,
sejarah perkembangan hadits dan tokoh-tokoh terkemuka ahli hadits. Dalam pokok
bahasan pengertian hadits akan diuraikan pengertian hadits menurut bahasa dan
istilah, pengertian sunnah, khabar dan atsar. Perbedaan antara hadits umum
dengan hadits qudsi, dan kedudukan hadits dalam proses penetapan hukum Islam.
Sedangkan pokok bahasan ilmu hadits akan dibahas pengertian ilmu hadits dan
ilmu hadits riwayah serta ilmu hadits dirayah. Pada pokok bahasan yang terakhir
akan dibahas sejarah perkembangan hadits pada masa Rasulullah saw hidup (Abad
pertama, pada abad kedua, ketiga dan seterusnya, juga akan dipaparkan sejarah
singkat dari riwayat hidup para tokoh pentakhrij hadits terkemuka.
Dengan mempelajari modul ini Anda diharapkan
dapat memiliki kemampuan dalam menguraikan pengertian hadits dan ilmu hadits,
sebagai bekal tambahan tugas Anda selaku Mahasiswa perguruan tinggi islam.
Untuk mencapai tujuan tersebut, Anda harus
memahami pengertian hadits dan istilah-istilah lain yang seringkali
dipergunakan untuk menunjuk hal yang sama dengan kepentingan yang berbeda, dan
fungsi hadits tersebut dalam proses penetapan hukum. Selain itu, Anda harus
memahami pengertian ilmu hadits, terutama yang menyangkut ilmu hadits riwayah
dan ilmu hadits dirayah. Ditambah lagi, Anda harus dapat memahami bagaimana
perkembangan hadits pada awal perkembangan hingga periode muta-akhirin.
Sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, modul
ini diorganisasikan dalam 6 kegiatan belajar. Tujuan khusus yang ingin dicapai
dalam setiap kegiatan belajara adalah sebagai berikut:
Setelah menyelesaikan kegiatan belajar 1, Anda
diharapkan dapat:
a. Menjelaskan pengertian hadits, sunnah, khabar dan atsar baik dari segi
bahasa maupun istilah.
b. Menjelaskan perbedaan antara hadits, sunnah, khabar dan atsar.
c. Menjelaskan perbedaan antara hadits qudsi dengan Al-Qur’an dan hadits qudsi
dengan hadits Nabi.
Kemudian setelah menyelesaikan kegiatan
belajar 2, Anda diharapkan dapat:
a. Menjelaskan dasar-dasar penggunaan hadits dalam penetapan hukum Islam.
b. Menjelaskan fungsi hadits terhadap Al-Qur’an.
c. Menjelaskan pendapat ulama tentang ijtihad Nabi.
Selanjutnya, setelah menyelesaikan kegiatan
belajar 3, Anda diharapkan dapat:
a. Menjelaskan pengertian ilmu hadits riwayah.
b. Merinci cara-cara penyampaian dan penerimaan hadits.
c. Menyebutkan bentuk-bentuk kata dalam penyampaian hadits.
d. Menyebutkan syarat-syarat periwayatan hadits dalam makna.
Selanjutnya, setelah menyelesaikan kegiatan
belajar 4, Anda diharapkan dapat:
a. Menjelaskan pengertian imu hadits dirayah.
b. Menjelaskan bidang-bidang kajian ilmu hadits dirayah
Selanjutnya, setelah menyelesaikan kegiatan
belajar 5, Anda diharapkan dapat:
a. Menjelaskan sejarah perkembangan hadits pada masa Nabi.
b. Menjelaskan sejarah penulisan resmi hadits.
c. Menjelaskan periode penyeleksian hadits.
d. Dan menjelaskan periode dimana hadits di hafalkan dan disistematiskan.
Akhirnya, setelah menyelesaikan kegiatan
belajar 6, Anda diharapkan dapat:
a. Mengetahui karya dan kearifan tokoh-tokoh ahli hadits terkemuka.
b. Mencontoh dan menelaah kepribadian para ulama ahli hadits.
c. Dan mengetahui riwayat para ahli hadits.
Dengan pengorganisasian seperti di atas, Anda
diharapkan dapat menguasai materi modul tanpa banyak menghadapi kesulitan.
Selamat belajar.
Kegiatan Belajar
PENGERTIAN HADITS, SUNNAH, KHABAR DAN ATSAR
Hadits, Sunnah,
khabar dan atsar merupakan beberapa nama yang sering digunakan untuk berbagai
perkataan, perbuatan dan penetapan takrir yang disAndarkan pada Nabi Muhammad
Saw. Para ulama hadits periode salaf tidak terlalu mempersoalkan perbedaan
antara nama-nama tersebut, karena kajian mereka senantiasa mengarah hanya untuk
melihat kekuatan dari hadits-hadits Nabi yang sampai kepadanya dengan melihat
pada sanad dan matannya. Namun para mujtahid dalam fiqh islam seringkali
mengklasifikasi antara hadits, Sunnah, khabar dan atsar, atas dasar kepentingan
mereka dalam penetapan hukum bagi persoalan-persoalan yang dihadapinya. Untuk
itulah, kita perlu melihat pengertian dari masing-masing nama tersebut.
A. Pengertian Hadits
Kata hadits yang kini sudah menjadi bahasa Indonesia,
berasal dari Arab yang berarti, perkataan atau pernyataan. Kata hadits untuk
pengertian tersebut digunakan Allah dalam Al-Qur’an. Seperti firman-Nya dalam
Surat An-Nisa ayat 87.
وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللهِ حَدِيْثًا. النساء: 87
Artinya: Dan siapakah yang lebih perkataannya dari pada
Allah
Dan dalam Surat At-Thur ayat 34 yang berbunyi:
فَلْيَأْتُوْا بِحَدِيْثٍ مِّثْلِهِ اِنْ
كَانُوْا صَدِقِيْنَ. الطور: 34
Artinya: Hendaklah mereka datangkan kalimat (perkataan)
yang sama dengan Al-Qur’an, jika mereka orang-orang yang benar.
Selain itu, kata hadits juga berarti baru, kebalikan
dari qadim (terdahulu) yang merupakan sifat dari hakikat Al-Qur’an. Para
ulama yang berpegang pada makna ini beralasan bahwa Nabi Muhammad SAW menamai
perkataannya sendiri dengan hadits, sebagai upaya untuk membedakan perkataannya
dari Al-Qur’an, karena perkataannya itu baru dan mulai muncul pada saat beliau
hendak menjadi Rasul, sedang Al-Qur’an sebagai kalam Allah adalah qadim,
karena telah ada di sisi Tuhan jauh sebelum Nabi Muhammad menjadi Rasul.
Kedua arti di atas sama-sama benar, namun mempunyai
pengertian yang berbeda. Arti pertama lebih berfungsi untuk menunjukkan hadits
itu adalah perkataan dan pernyataan yang disAndarkan pada Nabi saw, sedang arti
kedua berfungsi untuk menunjukkan sifat dari perkataan tersebut, dan
membedakannya dari sifat kalam Allah.
Adapun pengertian hadits menurut istilah yang digunakan
para ula hadits adalah segala sesuatu yang disAndarkan pada Muhammad saw, baik
sebelum maupun sesudah menjadi rasul, baik berupa perkataan, perbuatan,
penetapan maupun sifat-sifat fisik maupun
psikis beliau. Di samping itu, para ulama hadits menambahkan bahwa
perkataan dan perbuatan para sahabat dan tabi’in, juga termasuk hadits. Namun
mereka membedakan dalam penyebutannya. Yang disAndarkan pada Nabi disebut
hadits marfu’, sedang yang disAndarkan pada
sahabat dan tabi’in masing-masing disebut hadits mauquf dan maqthu’.
Kendati demikian, perkataan atau perbuatan mereka tersebut dapat dijadikan
sebagai rujukan dalam bentuk fatwa sahabat atau fatwa tabi’in, dengan
konsekuensi bahwa perkataan dan perbuatan mereka itu tidak mengikat.
Dengan demikian, hadits yang disepakati kekuatannya oleh
ulama adalah yang benar-benar disAndarkan kepada Nabi, baik berupa perkataan,
perbuatan, maupun ketetapannya. Dan atas dasar ini, para ulam membagi hadits
pada tiga bagian, yaitu hadits qauli (yang berbentuk perkataan), hadits fi’li
(yang berbentu perbuatan), dan hadits taqriri (yang berbentuk penetapan).
Hadits perkataan atau yang disebut hadits qauli adalah
perkataan-perkataan Nabi, baik dalam soal akidah, ibadah, akhlak, maupun
hal-hal lain. Seperti sabda beliau :
عَنْ عُمرابْنِ الْخَطَّابِ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ
وَاِنَّمَالِكُلِّ امْرِئٍ مَانَوَى. روه البخارى ومسلم.
Artinya: Dari Umar bin Khatab ra., dia berkata,
Rasulullah saw telah bersabda, bahwa perbuatan seseorang itu sangat tergantung
pada niatnya, dan dia akan memperoleh sesuatu sesuai dengan niatnya itu. (HR.Bukhari
dan Muslim)
Adapun hadits perbuatan (fi’li) adalah segala macam
perbuatan dan tindakan Nabi dalam berbagai lapangan kehidupan, seperti praktek
shalat beliau yang dijadikan patokan dalam
pelaksanaan shalat para sahabatnya, dan diteruskan sampai pada kita sekarang
ini. Bahkan menurut satu riwayat, Nabi pernah sekali waktu melakukan shalat di
atas mimbar, kemudian berujar,
صَلُوْا كَمَا رَاَيْتُمُوْنِيْ اُصَلِّى. رواه البخارى عن مالك بن الحويرث.
Artinya: Lakukanlah shalat sebagai mana kalian melihat
saya melakukannya.
(HR. Bukhari dari Malik bin al-Khuwairits)
Sedang hadits taqriri adalah persetujuan dan penetapan
Rasul terhadap sesuatu yang telah dipaparkan atau diperbuat oleh sahabatnya,
baik dia mendengar dan melihat langsung perkataan atau perbuatannya itu, atau
hanya menerima laporannya. Penetapan nya itu bisa dengan cara yang
bermacam-macam. Ada kalanya beliau diam dengan menampilkan mimik persetujuan,
dan ada kalanya pula menyatakan langsung persetujuannya itu. Seperti sikap
Rasul atas dua perbuatan sahabat yang berbeda satu sama lain dalam satu amaliah
yang sama, yaitu ketika beliau mengutus
para sahabatnya untuk berangkat ke Bani Quraidzah sebagai kelanjutan
dari perang Ahzab. Sebelum para sahabat
itu berangkat, beliau menganjurkan agar mereka melakukan shalat di
wilayah Bani Quraidzah. Sebagian dari mereka memahami perkataan Rasul tersebut
sebagai anjuran untu berjalan cepat, sehingga sore hari saat waktu ashar tiba
mereka telah sampai ke tujuan tersebut. Sementara sebagian dari mereka
memahaminya sesuai teks (bunti redaksinya), sehingga saat waktu shalat ashar
tiba di tengah-tengah perjalanan, mereka tidak melakukan shalat, dan menunggu
sampai tiba di perkampungan Bani Quraidzah. Kedua sikap dan tindakan ini
disampaikan kepada Rasul, dan beliau tidak menolak salah satu dari keduanya.
Penetapan Rasul ini menunjukkan bahwa agama membenarkan usul seseorang dalam
rangka menjalankan ajaran agama, dapat dibenarkan sesuai dengan kemampuan
keilmuannya, dan jangkauan nalarnya.
Adapun hadits
shifati adalah berbagai macam sifat, akhlak, dan kebiasaan-kebiasaan Rasul,
seperti kebiasaan Nabi yang diceritakan oleh ‘Aisyah Ra.,
عَنْ عَائِسَةَ رَضِى اللهُ عَنْهَا قَالَتْ اِنًّهُ مَا خَيْرَ
بَيْنَ اَمْرَيْنِ إِلَّا اخْتَارَ اَيْسَرَهُمَا مَالَمْ يَكُنْ اِثْمًا. روه الترمذى.
Artinya: Dari ‘Aisyah Ra., dia berkata, Rasul tidak
dihadapkan pada dua pilihan, melainkan senantiasa mengambil yang paling ringan,
(sejauh tidak ada resiko dosa.).
(HR. Turmudzi)
B. PengertianSunnah
Dilihat dari sudut kebahasaannya, kata al-Sunnah berarti
jalan, baik jalan yang benar maupun yang sesat. Kata al-Sunnah dalam arti
tersebut telah dipergunakan oleh Rasulullah saw. Dalam salah satu sabdanya,
مِنْ سَنَّ فِىْ الَاِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً
فَلَهُ اَجْرُهَا وَاَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ اَنْ يُنْقَصُ
مِنْ اُجُوْرَهِمْ شَيْءٌ, وَمَنْ سَنَّ فِى الْاِسْلَامِ سُنَّةً سَيِئَّةً فَعَلَيْهِ
وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ اَنْ يُنْقَصَ مِنْ اَوْزَارِهِمْ
شَئٌ. رواه مسلم.
Artinya: Barang siapa yang menciptakan Sunnah
(jalan/tradisi) yang baik maka ia akan
mendapatkan pahalanya, dan pahala orang yang melanjutkannya tanpa dikurangi
sedikitpun. Dan barang siapa yang menciptakan Sunnah (jalan/tradisi) yang
buruk, maka ia akan memperoleh dosanya, dan dosa orang yang mengikutinya tanpa
dikurangi sedikitpun. (HR.Muslim)
Dengan demikian, kata al-Sunnah berarti jalan, tradisi,
dan kebiasaan-kebiasaan Rasul dalam menjalankan ajran-ajaran keagamaanya.
Adapun pengertian al-Sunnahmenurut istilah, dalam pandangan ulama hadits sama
dengan pengertian al-Hadits, karena menurut mereka, Sunnah adalah segala
sesuatu yang diajarkan Nabi saw. Melalui perkataan, perbuatan, penetapan dan
akhlak serta sifat-sifat terpuji. Dan peranan keduanya menurut mereka adala
sama. Akan tetapi para ulama ushul memberikan pengertian yang khusus untuk al-Sunnah,
yaitu segala sesuatu yang keluar dari Nabi saw. Selain Al-Qur’an, baik
perkataan, perbuatan, ataupun ketetapan dan persetujuannya, yang dapat dijadikan
sebagai dalil penetapan hukum.
Sementara hadits dalam pandangan mereka terbatas pada
perkataan-perkataan yang disAndarkan pada Nabi. Dengan demikian, mereka
membedakan pengertian al-Sunnah dari al-Hadits. Dari segi cara pengungkapannya,
al-Sunnah lebih luas dari al-Hadits, tapi dilihat dari segi materinya,
al-Hadits lebih luas dari al-Sunnah.
Perbedaan pendapat antara kedua kelompok tersebut timbul
akibat perbedaan penekanan mereka dalam melihat Rasul. Para ulama hadits
melihat beliau sebagai pimpinan umat yang dapat memberi petunjuk dan nasihat,
dan Allah telah menjadikannya contoh dan teladan bagi umatnya. Sementara ulama
ushul melihat Rasul dari sudut beliau sebagai Syari’ (penetap hukum), yang
menjelaskan norma-norma kehidupan bagi umat manusia. Oleh sebab itu, mereka
cenderung memperhatikan perkataan, perbuatan, dan penetapannya, yang dapat
dijadikan sebagai pegangan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan hukum. Dan
itulah menurut mereka yang disebuta al-Sunnah.
C. Pengertian Khabar dan Atsar
Dilihat dari segi bahasa, kata khabar dan atsar mempunyai
arti yang sama, yaitu berita. Dan para ulama hadits biasa menggunakan kedua
kata ini untuk mengungkapkan pengertian yang sama dengan hadits dan Sunnah,
bahkan mencakup yang marfu’, mauquf dan maqthu’.
Akan tetapi, sebagian muhaddisin membedakan antara hadits
dengan khabar, yaitu hadits untuk yang marfu’ sedangkan khabar untuk
hadits-hadits yang mauquf. Dan ada pula yang membedakannya antara umum dan
khusus, yakni istilah hadits mencaku pengertian khabar, sedang khabar tidak
mencakup pengertian hadits.
Dalam konteks ini, fuqaha Khurasan biasa menggunakan
istilah atsar untuk hadits-hadits yang mauquf, dan istilah khabar untuk
hadits-hadits yang marfu’. Pernyataan ini diangkat oleh Ibnu Shalah, Ibnu Katsir,
dan Imam Nawawi. Namun al-Sayuthi cenderung untuk menyamakan arti atsar dan
khabar dengan pengertian hadits dalam pandangan para muhadisin, seperti yang
dipegang oleh Abu Ja’far al-Thahawi, seorang ulama hadits yang menulis kitab
berjudul Syarah Ma’ani al-Atsar dan Muskil al-Atsar.
Hadits-hadits yang tertuang di dalamnya mencakup hadits-hadits marfu’, mauquf
dan maqthu’.
D. Hadits Qudsi dan Perbedaannya dengan Al-Qur’an dan Hadits Nabi saw.
Hadits Qudsi adalah firman Allah yang disampaikan oleh
Nabi saw, selain Al-Qur’an yang redaksinya beliau susun sendiri. Oleh sebab
itu, beliau senantiasa menyAndarkannya pada Tuhan. Dalam hal ini, Nabi hanya
bertindak sebagai rawi pada tingkat pertama yang menyampaikan pesan-pesan itu
dengan bahasa beliau. Hadits tersebut dinamai Qudsi kerena bersal dari Yang
Maha Suci. Dan dinamai hadits karena redaksinya disusun oleh Nabi.
Tidak ada cara-cara khusus yang tersendiri tentang
turunnya hadits-hadits tersebut pada Nabi. Hadits Qudsi adalah yang turun lewat
malaikat, atau melalui mimpi, dan ada kalanya datang secara tiba-tiba berbeda
dengan Al-Qur’an yang selalu dibawa oleh malaikat Jibril dan redaksi yang
diucapkan oleh Allah sendiri.
Cara-cara periwayatan biasanya dilakukan dengan dua pola,
yaitu:
قال رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: فِيْمَا
يَرْوِيْهِ عَنْ رَبِّهِ عَزَّوَجَلَّ
قال رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: قَالَ
اللهُ تَعَالى اَوْيَقُوْلُ الله تعالى
Ada beberapa hal yang membedakan hadits Qudsi dengan
Al-Qur’an, yaitu:
1. Bahwa Al-Qur’an itu adalah wahyu dari Allah yang langsung disampaikan oleh
Jibril pada Nabi saw., dalam bentuk lafadz dan maknanya. Sedangkan hadits Qudsi
turun pada Nabi hanya dalam bentuk makna dan idenya saja, sementara lafadznya
disusun oleh Nabi sendiri.
2. Al-Qur’an hanya disAndarkan pada Allah, sedang hadits Qudsi disAndarkan
kepada Allah Rasul-Nya.
3. Al-Qur’an secara keseluruhan qath’i al-wurud, karena disampaikan dari satu
generasi ke generasi berikutnya secara muatawatir. Sedangkan hadits Qudsi tidak
semuanya mutawatir, bahkan kebanyakannya ahad.
4. Menurut sementara ulama, Al-Qur’an tidak boleh disentuh oleh orang
berhadats, dan tidak boleh dibaca oleh orang yang junub. Sementara terhadap
hadits Qudsi, ketentuan semacam itu tidak berlaku.
5. Mengingkari Al-Qur’an membawa akibat kekufuran, kerana ia mutawatir.
Sedangkan mengingkari hadits Qudsi tidak akan membawa akibat serupa, selama
perawinya ahad.
Itulah antara lain yang membedakan antara hadits Qudsi
dan Al-Qur’an. Dengan demikian, walaupun keduanya sama-sama berasal langsung
dari Tuhan, tapi karena proses turunnya berbeda, maka menimbulkan perbedaan
karakter yang amat mendasar, sehingga kekuatan keduanya berbeda.
Selain itu, sebagaimana dijelaskan diatas, bahwa redaksi
hadits Qudsi dilakukan oleh Rasul sendiri. Oleh sebab itu, dilihat dari sudut
ini hadits Qudsi diturunkan langsung dari Allah. Sedang ajaran dan muatan
hadits Nabi datang dari Nabi sendiri, yang beliau lakukan dalam rangka
menjelaskan kandungan-kandungan isi Al-Qur’an, atau menyoroti masalah-masalah
yang tidak dimuat secara eksplisit dalam Al-Qur’an.
Para ulama belum menemukan hikmah dibalik turunnya
hadits-hadits Qudsi ini. Mereka hanya melihat ini merupakan salah satu cara
Allah dalam menurunkan ajaran-ajaran-Nya, sebagai bukti kebesaran dan
kekuasaan-Nya, dan sebagai bukti pula akan kekuatan daya tangkap Rasul sebagai
manusia luar biasa yang mampu berkomunikasi dengan sesuatu yang berda diluar
alam materi ini.
Jumlah hadits Qudsi ini amat terbatas. Menurut Ibnu Hajar
al-Haitami hanya berkisar seratus buah lebih sedikit. Sedang menurut al-Mannawi
(seorang ulama hadits abad ke-11) jumlahnya mencapai 272 buah hadits.
Salah satu contoh hadits Qudsi dan pola pengungkapannya
adalah sebagai berikut:
عَنْ أَبِى ذَرِّ اَلْغِفَارِىْ رَضِى اللهُ عَنْهُ
قَالَ: قَالَ النَّبِى صلى الله عليه وسلم فِيْمَا يَرْوِيَةِ عَنْ رَبِّهِ عَزَّوَجَلَّ,
يَا عِبَادِىْ إِنِّى حَرَمْتَ الظُّلْمُ عَلَى نَفْسِىْ وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ
مُحَرَّمًا فَلَا تُظَا لَمُوْا. رواه
مسلم.
Artinya: Dari Abu Dzar al-Ghifari ra., dia berkata,
Rasulullah saw telah menyampaikan apa yang diterimannya dari Tuhannya; wahai
hambaku, aku telah mengharamkan penganiayaan atas diri-Ku, dan aku haramkan
pula itu terjadi antar kalian. Oleh sebab itu, kalian jangan saling zalim
menzalimi. (HR.Muslim)
Untuk menguji penguasaan Anda terhadap materi diatas,
coba kerjakan latihan dibawah ini.
1. Mengapa perkataan dan pernyataan Nabi saw disebut hadits?. Dan apa saja
yang termasuk hadits dalam pandangan ulama hadits?.
2. Mengapa hadits Nabi terseburt juga dinamakan Sunnah, khabar dan atsar?.
3. Mengapa para ulama hadits menyamakan pengertian hadits, Sunnah, khabar dan
atsar?.
4. Mengapa ulama ushul membedakan pengertian hadits dengan Sunnah? Dan apa
perbedaannya menurut mereka?.
5. Mengapa hadits Qudsi disebut hadits Qudsi?. Dan apa perbedaannya dengan
Al-Qur’an dan hadits Nabi?.
Jawaban dari latihan-latihan tersebut terdapat dalam
uraian yang telah Anda baca. Tapi kalau Anda ragu dengan jawaban Anda sendiri,
coba diskusikan dengan teman Anda, kemudian konsultasikan dengan tutor saudara.
Sekedar untuk membimbing Anda menemukan jawaban dari
latihan di atas, berikut ini akan diberikan rambu-rambu petunjuknya.
1. Coba Anda lihat kembali pengertian hadits menurut bahasa, terutama
pengertian yang kedua uang diangkat oleh para ulama hadits. Kemudian Anda lihat
penmgertian hadits menurut istilah.
2. Coba Anda lihat pengertian Sunnah, khabar dan atsar menurut bahasa,
kemudian Anda analisis relevansi arti-arti tersebut terhadap fungsi hadits Nabi
bagi kehidupan umat manusia, dan sampainya hadits tersebut kepada mereka.
3. Coba Anda lihat pandangan ulama hadits tentang fungsi dan peran Nabi bagi
umat manusia. Kemudian analisis serta diskusikan relevansi titik pAndang
tersebut dengan sikap mereka menyamakan pengertian hadits, Sunnah, khabar dan
atsar.
4. Anda lihat titik pAndang ulama ushul tentang funsi dan peran Nabi, kemudian
Anda lihat pengertian al-Sunnah menurut mereka. Setelah itu, lihat oAndangan
mereka tentang arti hadits.
5. Untuk mengetahui jawaban nomor ini, Anda cukup memahami muatan apa yang
terkandung dalam kata hadits, dan muatan apa yang terkandung dalam kata-kata
Qudsi. Dengan memahami ini, Anda akan langsung dapat menangkap perbedaan hadits
Qudsi dari Al-Qur’an dan hadits Nabi.
Setelah Anda merasa puas mengerjakan latihan
ini, coba baca ulang materi kegiatan belajar satu ini secara keseluruhan. Dan
fahamilah materinya secar utuh.
Sekedar untuk membantu Anda memahami materi
ini secara utuh, berikut ini akan diberikan rangkuman sederhana.
Tes Formatif 1
Bubuhkanlah tanda silang (X) di depan jawaban yang Anda anggap paling
tepat!
1) Selain berarti perkataan, kata hadits juga bermakna...
A. Percakapan
B. Pertanyaan
C. Baru/bukan qadim
D. Modern
2) Hadits-hadits Nabi biasanya juga disebut al-Sunnah, yang secara
bahasa bermakna...
A. Jalan
B. Kebiasaan/tradisi
C. Petunjuk jalan
D. Jalan dan kebiasaan/tradisi
3) Hadits menurut istilah adalah segala sesuatu yang disAndarkan kepada
Muhammad perkataan, perbuatan, penetapan, sifat, phisik dan psikis.
Pengertian ini dikemukakan oleh...
A. Para ulama hadits.
B. Para ulama ushul.
C. Para ulama kalam.
D. Para fuqaha.
4) Selain itu, ada pula yang membatasi hadits itu untuk pernyataan-pernyataan
Nabi yang disampaikan dalam bentuk perkataan (hadits qauli). Yang berpendapat
seperti ini adalah?
A. Para fuqaha.
B. Para ulama ushul.
C. Para fuqaha dan ulama ushul.
D. Para ulama hadits.
5) Para ulama ushul membatasi al-Sunnahsebagai segala sesuatu yang keluar
dari Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun penetapannya, yang isi
ajarannya itu...
A. Merupakan kaidah-kaidah hukum.
B. Pantas menjadi dalil hukum.
C. Dapat menjadi dalil hukum.
D. Pantas dan dapat dijadikan sebagai dalil hukum.
6) Hadits juga biasa disebut khabar dan atsar. Dan ketiganya mempunyai
arti yang sama. Pendapat ini antar lain dikemukakan oleh..
A. Imam Nawawi.
B. Abu Ja’far al-Thahawi.
C. Ibnu Katsir.
D. Ibnu Shalah.
7) Hadits Qudsi berbeda dengan hadits Nabi dalam beberapa hal, yaitu...
A. Isi dan sanad.
B. Bahasa dan sanad.
C. Isi dan bahasa.
D. Isi, bahasa dan sanad.
8) Walaupun berasal langsung dari Allah, hadits Qudsi jauh berbeda dengan
Al-Qur’an. Di bawah ini beberapa perbedaannya, kecuali...
A. Pembahasannya.
B. Kesuciannya.
C. Isi ajarannya.
D. Kekuatan wurudnya.
Cocokkanlah jawaban Anda dengan kunci jawaban tes formatif yang terdapat di
bagian akhir modul ini. Hitunglah jumlah jawaban Anda yang benar, kemudian
gunakan rumus di bawah ini untuk mengetahui tingkat penguasaan yang Anda capai.
Rumus:
Jumlah Jawaban Anda yang benar
Tingkat penguasaan = x100
8
Arti tingkat penguasaan yang Anda capai:
90% - 100% = baik sekali
80% - 89% = baik
70% - 79% = cukup
< 69% = kurang
Bila Anda telah mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat
meneruskan kegiatan belajar dua. Great! Tetapi bila tingkat penguasaan Anda
kurang dari 80%, Anda harus mempelajari kembali materi tetang pengertian
Hadits, Sunnah, Khabar dan Atsar ini, terutama bagian yang belum Anda kuasai.
Kegiatan Belajar
KEDUDUKAN HADITS DALAM PENETAPAN HUKUM ISLAM
Dalam
kegiatan belajar pertama Anda telah mempelajari pengertian tentang hadits, Sunnah,
khabar dan atsar, persamaan dan perbedaannya serta perbedaan hadits Nabi dan
Hadits Qudsi. Pemahaman akan pengertian-pengertian tersebut akan punya arti
bila dirangkaikan dengan penjelasan tentang fungsi hadits dalam penetapan
norma-norma keagamaan.
Oleh
sebab itu, kegiatan belajar dua ini akan menguraikan tentang kedudukan hadits
dalam proses tasyriatau penetapan norma-norma keagamaan yang
pemaparannya akan meliputi:
1. Dasar-dasar penggunaan hadits dalam penetapan hukum dan norma-norma
keagamaan lainnya.
2. Fungsi hadits Nabi terhadap Al-Qur’an.
3. Tingkat kekuatan hadits Nabi.
4. Tentang ijtihad Nabi.
A. Dasar-dasar Penggunaan Hadits Nabi dalam Proses Tasyri’
Munculnya hadits dalam jajaran sumber hukum dan ajaran agama erat kaitannya
dengan misi Al-Qur’an yang formulasi ajarannya seringkali menuntut penjabaran
rinci, visualisasi dan penjelasan-penjelasan ulang, agar isi dan pesan-pesannya
itu dapat ditangkap oleh para sahabat Nabi dengan baik. Selain itu, ada pula
persoalan-persoalan hukum yang tidak tersentuh oleh Al-Qur’an, dan diselesaikan
dengan hadis nabi sendiri. Kalau saja nabi tidak memberikan penjelasan-penjelasan
dimaksud, bisa terjadi ajaran-ajaran Al-Qur’an yang menjadi pedoman hidup bagi
segenap umat Islam itu tidak dapat ditangkap dengan baik isinya atau
kandungannya, sehingga ajaran tersebut tidak berintegrasi dalam kehidupan umat
islam.
Inilah alasan logika mengenai kekuatan hadits sebagai dasar dalam penetapan
hukum dan norma-norma agama lainnya. Selain itu terdapat pula ayat-ayat
Al-Qur’an dan Hadits Nabi yang menegaskan hal serupa, yaitu diantaranya firman
Allah dalam surah al-Hasyr ayat 7 yang berbunyi:
4!$tBurãNä39s?#uäãAqߧ9$#çnräãsù$tBuröNä39pktXçm÷Ytã(#qßgtFR$$sù4(#qà)¨?$#ur©!$#(¨bÎ)©!$#ßÏx©É>$s)Ïèø9$#ÇÐÈ
Artinya: Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan
apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Amat keras hukuman-Nya.
Selain itu Allah juga berfirman dalam surat an-Nisa ayat 59 yang berbunyi:
$pkr'¯»ttûïÏ%©!$#(#þqãYtB#uä(#qãèÏÛr&©!$#(#qãèÏÛr&urtAqߧ9$#Í<'ré&urÍöDF{$#óOä3ZÏB(bÎ*sù÷Läêôãt»uZs?Îû&äóÓx«çnrãsùn<Î)«!$#ÉAqߧ9$#urbÎ)÷LäêYä.tbqãZÏB÷sè?«!$$Î/ÏQöquø9$#urÌÅzFy$#4y7Ï9ºs×öyzß`|¡ômr&ur¸xÍrù's?ÇÎÒÈ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan
Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Di samping dua ayat di atas Nabi sendiri telah memberikan ketegasan tentang
keharusan umat Islam untuk merujuk pada Sunnah-Sunnahnya dalam mengkaji,
menelaah dan menyelesaikan persoalan-persoalan keagamaan, di antara
penegasannya itu terdapat dialognya dengan Mu’az bin Jabal pada saat ia akan
mengutusnya untuk menjadi pemimpin Yaman, dalam dialognya itu terdapat ungkapan
yang berbunyi:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لِمُعَاذِ بْنِ
جَبَلٍ كَيْفَ تَقْضِى اِنْ عَرَضَ لَكَ قَضَاء؟
قال اَوّصِنِى بِكِتَابِ اللهِ
قال: فَاِنْ لَمْ يَكُنْ فِى كِتَابِ اللهِ؟
قال, اَوْصِنِى فَبِسُنِه رَسُوْلِ اللهِ.
قال: فَان لَمْ يَكُنْ فِى سُنَةِ رَسُوْلِ
الله؟ قال, اَجْتَهِدْ رَأْيِي وَلَاالُرْ, قال معاذ, فَضْرِب رسول الله صلى الله
عليه وسلم صَدْرِيْ وقال: اَلْحَمْدُ لِلّه اَّلذِي وَقَفَ رَسُولَ, رَسُولِ الله
لِمَايَرْضَى اللهَ وَرَسُوْلُهُ. رواه
ابو داود.
Artinya: Rasulullah bertanya kepada Muaz bin Jabal, bagaimana cara kamu menyelesaikan persoalan jika dihadapkan pada persoalan-persoalan hukum. Mu’az menjawab,
saya akan menyelesaikannya dengan merujuk kitab Allah. Rasul bertanya lagi,
bagaimana kalau ternyata kitab Allah tidak memaparkan hal tersebut? Mu’az
menjawab, saya akan menyelesaikannya dengan Sunnah Rasul Allah. Rasul bertanya
lagi bagaimana kalu Sunnah Rasul juga tidak menerangkan? Mu’az menjawab, saya
akan berijtihad dengan nalarku dan saya tidak akan berpaling sedikitpun.
Berkata Mu’az : Kemudian Rasul menepuk-nepuk dadaku sambil berkata, segala puji
bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada utusan Rasul Allah, pada
sesuatu yang diridhainoleh Allah dan Rasul-Nya. (HR.Abu Dawud)
Inilah antara lain alasan yang mengharuskan kita berpegang pada Sunnah dan
hadits-hadits Nabi baik dalam menyelesaikan persoalan-persoalan hukum, maupun
persoalan-persoalan keagamaan lainnya. Akan tetapi para ulama melihat bahwa itu
berada dalam posisi ke-2 setelah Al-Qur’an, dengan konotasi bahwa rujukan hukum
dan norma-keagamaan yang utama adalah Al-Qur’an, dan hadits dipergunakan
sebagai bahan kajian untuk memahami pesan-pesan Al-Qur’an atau dirujuk setelah
ternyata bahwa Al-Qur’an tidak memberikan penjelasan tekstual tentang masalah
yang dihadapi.
Selain itu, ada pula beberapa perbedaan antara keduanya, yang membawa
perbedaan pada tingkat keaslian dan keutuhannya serta tingkat sakralitasnya
Al-Qur’an diturunkan pada Nabi dalam bentuk makna dan lafadznya dari Tuhan.
Disamping oleh Nabi kepada para sahabat, dan mereka menyampaikannya secara
beruntun pada generasi berikutnya dengan periwayatan yang sama dan dalam jumlah
yang mutawatir, sehingga tidak ada kemungkinan terjadinya kesalahan dan
kekeliruan, sesuai pula dengan janji Allah bahwa Dia akan senantiasa memelihara
dan menjaganya. Firman-Nya dalam surah al-Hijr ayat 9 yang berbunyi:
اِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَاِنَّا لَهُ
لَحَفِظُوْنَ. الحجر : 9
Artinya: Sesungguhnya, Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an, dan Kami
benar-benar memeliharanya. (QS.al-Hijr.9)
Sementara hadis Nabi saw tidak semuanya disampaikan secara mutawatir,
karena ada diantaranya yang masyhur dan bahkan ahad sehingga kemungkinan
kekeliruan dapat saja terjadi.
Di samping itu, dari segi isi dan bahasanya, Al-Qur’an adalah mu’jizat bagi
Nabi di hadapan masyarakatnya, sementara hadits tidak mencapai kekuatan
tersebut, karena ia merupakan urain-urain rinci ilmu yang diterimanya dari
Allah, dan dikomunikasikan oleh Nabi dalam bahasa yang polulis sehingga tidak
memiliki kekuatan sastra sebagaimana Al-Qur’an.
B. Fungsi Hadits Nabi Terhadap Al-Qur’an
Fungsi terbesar hadits Nabi terhadap Al-Qur’an adalah sebagai penafsiran,
penjelasan, dan pelengkap terhadap sumber utama tersebut. Fungsi ini ditegaskan
dalam Al-Qur’an sendiri, surah al-Nahl ayat 44 yang berbunyi:
وَاَنْزَلْنَا اِلَيْكَ الّذِكْرَ لِتُبَيِّنَ
للنَّاسِ مَانُزِّلَ اِلَيْهِمْ.... النحل: 44
Artinya: Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan
kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka, dan supaya mereka
memikirkan. (QS.An-Nahl.44)
Di samping itu, para ulama melihat bahwa Nabi melalui hadits-haditsnya,
juga melakukan penegasan ulang terhadap pernyataan-pernyataan Al-Qur’an dan
bahkan menetapkan norma hukum yang tidak diatur dalam Al-Qur’an, sehingga
fungsi-fungsinya itu mencakup:
a. Sebagai penjelas terhadap pernyataan Al-Qur’an,
b. Sebagai penegas dan penguat terhadap apa-apa yang telah dipaparkan dalam
Al-Qur’an,
c. Sebagai penetap hukum terhadap persoalan-persoalan yang belum diatur dalam
Al-Qur’an.
1. Al-Sunnah sebagai Penjelas Terhadap Al-Qur’an
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa al-Sunnah itu datang dalam
rangka memberikan penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, melalui penjelasan
terhadap ayat-ayata yang mujmal, dan mengikat (qayid) bagi nash-nash yang
mutlak, atau mentakhsis/mengecualikan nash-nash yang umum. Inilah
langkah-langkah yang telah dilakukan Nabi sebagai upaya memenuhi tuntutan surat
al-Nahl ayat 44 di atas.
a. Uraian terhadap Ayat-ayat yang Mujmal
Ayat-ayat yang mujmal (global) adalah
ungkapan-ungkapan Allah yang menuntut penjelasan dan uraian lebih rinci.
Seperti ayat perintah shalat, yang turun hanya dalam bentuk perintah, tanpa
disertai uraian lebih lanjut tentang bagaimana cara-cara melakukannya, pada waktu-waktu
apa shalat dilakukan, dan berapa banyak yang harus dijalani. Demikian pula
dengan perintah zakat, puasa dan ibadah haji. Untuk ini semua, Rasulullah
memberikan uraian dan contoh pelaksanaan dalam bentuk tindakan dan
perbuatan-perbuatan beliau, sehingga perintah tersebut dapat dilaksanakan
dengan baik.
b. Pembatasan (qayid) terhadap Lafadz-lafadz yang Mutlak
Nash-nash yang mutlak adalah ungkapan-ungkapan
Allah yang belum diberikan penjelasan dalam bentuk pembatasan untuk diwujudkan
dalam bentuk pelaksanaan. Seperti perintah hukuman potong tangan bagi pencuri,
yang ditegaskan dalam firman Allah pada surah al-Maidah ayat 38 yang berbunyi:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْا اَيْدِيْهُمَا
جَزَاءً بِمَا كَسَبَا... الماْئدة:38
Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduannya sebagai pembalasan terhadap apa yang mereka kerjakan.(QS.al-Maidah.38)
Tuntutan hukum potong tangan yang terdapat
pada ayat di atas tidak memberikan batas, sampai bagian apa dari tangannya itu
yang harus dipotong. Kemudian Rasul membatasinya sampai pergelangan tangan.
c. Tahkshish Terhadap Lafadz-lafadz Yang Umum
Lafadz-lafadz yang umum adalah lafad-lafadz
yang masih mencakup berbagai afrad tanpa ada pembatasan dalam bentuk
pengkhususan. Seperti halnya aturan tentang norma kewarisan, bahwa semua anak
berhak mendapatkan waris dari kedua orang tuanya, yang Allah tetapkan dalam
firman-Nya surah al-Nisa ayat 11 yang berbunyi:
يُوْصِيْكُمْ اللهُ فِىْ اَوْلَادِ كُمْ لِلذِّكْرِ
مِثْلُ حَظِّ اْلاُنْثَيَيْنِ. النساء:11
Kata: اولاد(anak-anak) berbentuk umum yang
mencakup semua afrad anak. Kemudian Rasul mentakhshish, bahwa anak yang
membunuh orang tuanya sendiri tidak berhak mendapat warisan dari orang tuanya
itu.
2. Al-Sunnah Sebagai Penguat dan Penegas Terhadap Ayat-ayat Al-Qur’an.
Cukup banyak al-Sunnah datang dari Nabi untuk memperkuat dan menegaskan
ulang terhadap hal-hal yang telah diatur secara eksplisit dalam Al-Qur’an.
Dengan demikian hal tersebut diatur oleh dua dasar ajaran, yaitu Al-Qur’an yang
menetapkan hukum, dan al-Sunnah yang memperkuat ketetapan tersebut.
Pada umumnya hal-hal yang ditegaskan ulang oleh al-Sunnah yang memperkuat
ketetapan tersebut yang mengandung ajaran dasar yang amat esensial, dan
dalil-dalil yang masih menyeluruh serta belum terperinci dalam bentuk
bagian-bagian kecilnya. Seperti perintah melakukan shalat, puasa, zakat, dan
Haji. Demikian pula dengan ayat-ayat tentang keharaman riba, minum khamar,
ayat-ayat syirik serta kesaksian palsu.
3. Al-Sunnah Sebagai Penetap Hukum
Selain melakukan dua fungsi di atas, al-Sunnah juga mempunyai kompetensi
untuk menciptakan hukum dalam persoalan-persoalan yang tidak diatir secara
eksplisit dalam Al-Qur’an. Akan tetapi para ulama berlainan pendapat tentang
kemandirian Rasul dalam proses penetapan kukumnya itu. Sebagian dari mereka ada
yang berpendapat bahwa Rasul dapat menciptakan hukum secara mandiri tanpa harus
mengaitkan penetapannya itu dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Mereka beralasan dengan
firman Allah yang menyuruh umat Islam untuk mentaatinya sebagaimana mereka
harus mentaati Allah, dan mengembalikan segala persoalan yang diperselisihkan
pada kedua sumber tersebut.
Selain itu, Rasulullah SAW memang telah menciptakan hukum untuk
persoalan-persoalan yang tidak tersentuh oleh Al-Qur’an. Seperti pengharaman
bagi seorang pria untuk berpoligami terhadap dua orang perempuan yang keduanya
berada dalam garis keturunan bibi dan keponakan, baik dari garis ayah maupun
ibu. Demikian pula dengan pengharaman memakan segala jenis binatang buas yang
mencengkeram. Kesemuanya itu ditetapkan oleh hadits-hadits Nabi tanpa
mengaitkannya dengan ayat-ayat Al-Qur’an.
Sementara itu, sekolompok ulama ialah berpendapat bahwa Al-Sunnah hanyalah
berfungsi memberi penjelasan terhadap Al-Qur’an. Oleh sebab itu, tidak mungkin
ia menciptakan hukum secara mandiri. Dan hukum-hukum yang tercipta lewat
Al-Sunnah menurut mereka adalah hasil proses penafsiran dan penjelasan terhadap
Al-Qur’an atau hasil kajian analogis terhadap hukum-hukum asal yang terdapat
dalam Al-Qur’an.
Selain itu, mereka pun berargumentasi bahwa Al-Qur’an itu menjelaskan
segala sesuatu, dan tidak ada persoalan yang terlepas dari jangkauan Al-Qur’an.
Itulah menurut mereka salah satu ciri kesempurnaan Al-Qur’an. Argumentasi ini
didasarkan pada firman Allah surat An-Nahl ayat 89, yang berbunyi:
وَنَزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ
شَئٍ وَهُدًى وَّرَحْمَةً وَّبُشْرَى لِلْمُسْلِمِيْنَ.{ النحل: 89}
Artinya: Dan kami turunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala
sesuatu, dan petunjuk serta rahmat dan khabar bagi orang-orang yang berserah
diri.(QS.an-Nahl.89)
Surat Al-An’am ayat 38, yang berbunyi :
مَا فَرَضْنَا فِى الْكِتَابِ مِنْ شَئٍ ثُمَّ إِلَي
رَبِّهِمْ يُحْشَرُوْنَ. {الامعام:
37}
Artinya: Tiadalah Kami alpakan satupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada
Tuhanlah mereka semua dikumpulkan.(QS. Al-An’am. 38)
Dan surat Al-Maidah ayat 3, yang berbunyi:
اليَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَأَتْمَمْتُ
عَلَيْكُمْ نِعْمَتِىْ وَرَضِيْتُ لَكُمْ الإِسْلَامَ دِيْنًا. {المائده:3}
Artinya: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam jadi agama bagimu.
(QS. Al-Maidah. 3)
C. Al-Hadits Dilihat Dari Segi Qath’i dan Dzaninya
Sebelum sampai pada taraf pengalaman, Al-Hadits harus ditinjau terlebih
dahulu kekuatannya, yang hal ini amat dipengaruhi oleh kepastian (qath’i) dan
ketidak pastian (dzani) datangnya hadits tersebut dari Nabi, dan begitu pula
dengan makna yang dikandungnya.
Hadits yang pasti kebenarannya bahwa ia datang dari Nabi adalah hadits
mutawatir, karena hadits-hadits tersebut diriwayatkan oleh sejumlah perawi
hadits yang mustahil bersepakat untuk berdusta. Karena kekuatannya, hadits
mutawatir mutlak harus diterima.
Hadits-hadits Nabi diriwayatkan oleh para perawi hadits
yang tidak mencapai jumlah mutawatir dilihat dari segi wurudnya, dikategorikan
yang tidak pasti (dzani). Dan semuanya itu terbagi pada dua tingkatan, yaitu
tingkatan masyhur dan tingkatan ahad. Kendati terkategori hadits-hadits yang
dzani, tapi para ulama fiqh pada umumnya mempergunakan hadits-hadits tersebut
sebagai dalil dalam proses penetapan hukum (berijtihad), Imam Malik lebih
mengutamakan tradisi masyarakat Madinah sepeninggal Rasul dari pada memakai
hadits ahad karena menurutnya, amaliah masyarakat Madinah memiliki akar
keagamaan yang cukup kuat, sebagai warisan Nabi dan para sahabatnya, serta
diwariskan secara mutawatir dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Dilihat dari sudut maknanya, hadits-hadits juga ada yang memberikan makna
pasti (qath’i al-dalalah), dan ada pula yang memiliki makna-makna yang tidak
pasti (dzani al-dalalah). Hadits-hadits yang bermakna pasti adalah
hadits Nabi yang lafadz-lafadznya itu hanya memiliki satu pengertian, dan tidak
mungkin dapat dipahami dengan pengertian lain. Sedang yang tidak pasti adalah
hadits-hadits Nabi yang lafadz-lafadznya itu memiliki makna gAnda. Untuk
hadits-hadits yang bermakna pasti, para ulama dan juga kita semua harus
mengikuti sesuai tuntunan nashnya, sedanh untuk hadits-hadits yang bermakna
tidak pasti, para ulama mujtahid biasanya memegang sesuatu pengertian yang
menurut mereka , pengertian itulah yang paling kuat dan mendekati kebenaran.
Demikian pula sebaiknya kita dalam bersikap terhadap hadits-hadits serupa itu.
D. Tentang Ijtihad Nabi
Ijtihad adalah mengerahkan segala kemampuan untuk melakukan istinbath
(penetapan) hukum dari sumber agama yang terperinci. Perbuatan serupa lebih
banyak dilakukan oleh para ulama mujtahid dalam upaya menyelesaikan
persoalan-persoalan hukum yang dihadapinya, yang hasil ketetapannya itu biasa
disebut fatwa, dan tidak mengikat. Kemudian apakah Rasul SAW dengan kemampuan
keilmuan yang jauh di atas para ulama tersebut, dan tingkat kesucian diri jauh
di atas manusia biasa, juga perlu melakukan ijtihad dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan yang dihadapinya.
Para ulama dari kalangan Asy’ariyah dan Mu’tazilah berpendapat bahwa Rasul
tidak perlu melakukan ijtihad, karena beliau senantiasa dapat menunggu turunnya
wahyu, sedang kekuatan wahyu jauh diatas kekuatan hasil ijtihad, dan wahyu
tidak afa kemungkinan salah, sedang hasil ijtihad, mempunyai kemungkinan yang
sama antara benar dan salah.
Sedang para ulama ahli ushul berpendapat bahwa Nabi juga dituntut untuk
melakukan ijtihad, karena menurut mereka Rasul mempunyai kompetensi yang jauh
di atas para mujtahid, sehingga kalau mujtahid dalam ijtihadnya masih memiliki
kemungkinan salah, maka Rasul tidak mengkin salah. Oleh sebab itu, Rasul saw
menurut mereka amat boleh untuk melakukannya dari pada mujtahid sendiri. Di
samping itu, Rasul SAW adalah orang yang paling mengetahui maksud-maksud
syariah, karena diturunkan lewat dia, disamping bahewa beliau senantiasa
dibimbing oleh Allah SWT. Mereka juga beralasan dengan firman Allah SWT dalam
surat al-Nisa ayat 105 yang berbunyi :
إِنَّااَنْزَلْنَا اِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ
لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا اَرَىكَ اللهُ. النساء:105
Artinya: Sesungguhnya Kami telah menurunkan dengan membawa kebenaran,
supaya kamu mengadili anatara manusia dengan ilmu yang telah Allah berikan
kepadamu.(QS. An-Nisa’. 105)
Pernyataan Allah dalam di atas menunjukkan bahwa Allah sendiri menuntut
Nabi Muhammad untuk melakukan kajian-kajian atau telaah hukum dalam upaya
menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapinya. Implikasi dari perintah ini
adalah ijtihad.
Akan tetapi hasil ijtihad Nabi menurut mereka juga mengikat, karena menjadi
syariah agama, dan senantiasa dalam bimbingan Allah. Oleh karena itu, hasil
ijtihadnya tidak mungkin salah. Dan kalau beliau salah, akan mendapat teguran
langsung oleh Allah lewat wahyunya.
Untuk memantapkan pemahaman Anda terhadap materi-materi di ata, coba
kerjakan latihan di bawah ini :
1. Mengapa hadits itu diperlukan oleh umat Islam dalam menjalankan ajaran
agamanya?
2. Mengapa para ulama fiqh berkesimpulan bahwa al-Sunnah itu berada dalam
posisi kedua setelah Al-Qur’an.
3. Coba Anda jelaskan ketiga fungsi al-Sunnah terhadap Al-Qur’an.
4. Coba jelaskan keterkaitan antara qath’i al-dalalah dan dzani al-dalalah
dengan proses pengambilan hukum.
5. Mengapa para ulama ushul berpandangan bahwa Nabi amat boleh melakukan
ijtihad? Dan apakah hasil; ijtihad Nabi itu mempunyai kekuatan yang sama dengan
hasil ijtihad para ulama.
Jawaban dari latihan-latihan tersebut terdapat dari uraian yang telah Anda
baca. Tapi kalau ragu dengan jawaban sendiri, coba diskusikan dengan teman Anda,
kemudian konsultasikan pada tutor.
Sekedar untuk membimbing Anda
menemukan jawaban dari latihan di atas, berikut ini akan diberikan rambu-rambu
petunjuknya.
1. Untuk menemukan jawaban latihan nomor satu ini, Anda dapat mebaca ulang
butir “A” tentang dasar-dasar aqli dan naqli tentang penggunaan hadits tentang
penggunaan hadits dalam proses pengambilan dan penetapan hukum.
2. Jawaban nomor dua dapat Anda peroleh dalam pembahasan mengenai pandangan
ulama tentang kedudukan al-Sunnah di hadapan Al-Qur’an.
3. Jawaban nomor tiga dapat Anda simpulkan dari pembahasan tentang fungsi
al-Sunnah terhadap Al-Qur’an.
4. Coba Anda lihat arti qaht’i al-dalalah dan dzani al-dalalah, kemudian lihat
pengaruhnya terhadap proses pengambilan dan penetapan hukum.
5. Coba Anda lihat pengertian ijtihad, kemudian lihat argumentasi para ulama
yang membolehkan bagi Nabi untuk berijtihad. Kemudian lihat pula argumentasi
mereka tentang penempatan ijtihad Nabi tersebut.
Setelah Anda merasa puas mengerjakan latihan
ini, coba baca ulang materi kegiatan belajar dua ini secara keseluruhan. Dan
fahamilah materinya secar utuh.
Sekedar untuk membantu Anda memahami materi
ini secara utuh, berikut ini akan diberikan rangkuman sederhana.
Tes Formatif 2
Bubuhkanlah tanda (X) di depan jawaban yang menurut Anda paling tepat.!
1) Al-Qur’an tidak akan dapat dipahami dengan baik tanpa dibantu
penjelasan-penjelasan al-Sunnah, karena...
A. Ayat-ayatnya banyak yang mujmal.
B. Bahasanya amat bersastra.
C. Ayat-ayatnya banyak yang mujmal dan berbentuk umum serta mutlak.
D. Bahasanya bersastra dan fleksibel.
2) Peranan al-Sunnah dalam proses pengambilan dan penetapan hukum bagi para
ulama penting karena...
A. Al-Sunnah sebagai penjabar Al-Qur’an.
B. Al-Sunnah sebagai contoh pelaksanaan petunjuk Al-Qur’an.
C. Al-Sunnah sebagai penjabar dan visualisasi Al-Qur’an.
D. Al-Sunnah sebagai penjabar dan visualisasi Al-Qur’an serta sebagai penetap
hukum
3) Al-Sunnah mempunyai fungsi menegaskan kembali terhadap pernyataan-pernyataan
Al-Qur’an. Dan ini biasanya terjadi pada ayat-ayat...
A. Yang belum tegas ditetapkan oleh Al-Qur’an.
B. Yang menyangkut soal-soal yang amat mendasar.
C. Yang akan diuraikan oleh hadits.
D. Yang menyangkut soal-soal yang mendasar, dan yang akan diuraikan dalam
hadits Nabi.
4) Rasulullah melakukan penetapan hukum, di luar yang telah dinyatakan oleh
Al-Qur’an, karena...
A. Beliau punya kewenangan.
B. Beliau terbimbing wahyu.
C. Beliau punya kewenangan, terbimbing wahyu, dan ada persoalan.
D. Persoalan menuntut penyelesaian hukum.
5) Di antara Nabi, ada yang disebut hadits Mutawatir, yaitu yang mencapai
tingkat Qath’i al-wurud, yakni...
A. Pasti datangnya dari Nabi, dan boleh diikuti.
B. Pasti datangnya dari Nabi, dan boleh diikuti.
C. Hampir pasti datangnya dari Nabi, dan harus diikuti.
D. Yakin datangnya dari Nabi, dan boleh diikuti.
6) Diantara hadits Nabi, ada yang disebut hadits masyhur yang hanya mencapai
dzani al-wurud, yakni..
A. Pasti bersumber dari Nabi.
B. Kemungkinan bersumber dari Nabi.
C. Kemungkinan besar dari Nabi, dan harus diikuti.
D. Yakin datangnya dari Nabi, dan boleh diikuti.
7) Para ulama kalam ( Asy-ariyah dan Mu’tazilah) berpandangan bahwa Nabi tidak
mungkin berijtihad, karena...
A. Nabi bukan seorang ulama ujtahid.
B. Nabi senantiasa dibimbing wahyu.
C. Nabi tidak diperintah untuk berijtihad.
D. Nabi dapat mengeluarkan Sunnah-Sunnahnya kapan dia perlu.
8) Para ulama ushul melihat perlunya Nabi berijtihad, karena...
A. Banyak persoalan-persoalan sosial.
B. Nabi amat menguasai syariah.
C. Nabi yang menerima syariah.
D. Nabi terbimbing oleh wahyu.
Cocokkanlah jawaban Anda dengan kunci jawaban tes formatif yang terdapat di
bagian akhir modul ini. Hitunglah jumlah jawaban Anda yang benar, kemudian
gunakan rumus di bawah ini untuk mengetahui tingkat penguasaan yang Anda capai.
Rumus:
Jumlah Jawaban Anda yang benar
Tingkat penguasaan = x100
8
Arti tingkat penguasaan yang Anda capai:
90% - 100% = baik sekali
80% - 89% = baik
70% - 79% = cukup
< 69% = kurang
Bila Anda telah mencapai tingkat penguasaan
80% atau lebih, Anda dapat meneruskan kegiatan belajar dua. Great! Tetapi bila
tingkat penguasaan Anda kurang dari 80%, Anda harus mempelajari kembali materi
tetang Kedudukan Hadits dalam Penetapan Hukum Islam ini, terutama bagian yang
belum Anda kuasai.
Kegiatan Belajar
ILMU HADITS RIWAYAH
Pada kegiatan belajar dua Anda telah
mempelajari kedudukan hadits dalam proses penetapan hukum, yang satu sisi
menggambarkan bahwa penggunaan hadits tersebut amat dipengaruhi oleh kualitas
para perawinya, serta jumlah mereka pada setiap tabaqatnya. Dan kajian tentang
hal ini terdapat dalam pembahasan Ilmu Hadits, yang secara garis besar terbagi
menjadi dua, yaitu Ilmu Hadits Riwayah dan Ilmu Hadits Dirayah.
Kegiatan
belajar ketiga ini akan mencoba mengangkat secara sederhana tentang Ilmu Hadits
Riwayah, yang pembahasannya mencakup,
1. Pengertian Ilmu Hadits
2. Pengertian Ilmu Hadits Riwayah
3. Kriteria perawi hadits
4. Cara-cara penyampaian dan penerimaan hadits
5. Lafadz yang dipergunakan dalam periwayatan hadits
6. Periwayatan hadits dalam bentuk makna
A. Pengertian Ilmu Hadits
Ilmu hadits
adalah yang membahas berbagai macam kaidah yang dapat menentukan diterima atau
tidaknya sebuah hadits. Oleh sebab itu, dalam ilmu hadits dipelajari proses
penyampaian dan penerimaan hadits, cacat atau tidaknya sebuah hadits,
penyelesain matan-matan yang satu sama lain tampak bertentangan, nasakh dan
mansukh, dan tentang hal-hal lain yang membuat hadits itu cacat. Selain itu
dalam ilmu hadits juga dipelajari tentang pendekatan pemahaman lafadz-lafadz
hadits yang tergolong asing dan langka.
Dalam pemaparan
lengkap tentang ilmu-ilmu tersebut, para ulama hadit membaginya menjadi dua
bagian besar, yaitu ilmu riwayah dan ilmu hadits dirayah, yang satu sama lain
saling berkaitan pada saat dilakukan penilaian terhadap sebuah hadits.
B. Ilmu Hadits Riwayah
Ilmu hadits
riwayah adalah ilmu yang membahas proses penyampaian hadits dari seorang perawi
kepada yang lainnya. Kajian ini sangat penting terutama untuk melihat keaslian
lafadz-lafadz yang sedang diteliti.
Dalam satu periwayatan hadits terlibat dua pihak, perawi dan penerima
hadits. Para ulama hadits membedakan kriteria perawi dan penerima hadits
tersebut. Mereka berpendapat, bahwa penerima hadits tidak dibatasi oleh
kriteria-kriteria yang ketat. Selain orang dewasa yang normal dan cerdas,
hadits juga dapat diterima oleh anak kecil yang seudah mengerti apa yang
diterimanya. Dan bahkan hadits juga dapat diterima oleh orang-orang yang belum
beraga Islam, karena hadits itu perlu disebar luaskan, dan tidak semua penerima
hadits punya kewajiban untuk menyampaikan kembali hadits-hadits yang
diterimanya itu kepada orang lain.
Lain halnya dengan penyampai hadits (perawi). Hadits-hadits yang mereka
sampaikan itu dapat diterima bila mereka itu memasuki kriteria-kriteria sebagai
berikut:
1. Beragama Islam. Para ulama sepakat bahwa periwayatan hadits dari orang kafir todak
dapat/boleh diterima, karena mereka itu benci, tidak senang, dan paling tidak,
tak punya rasa memiliki terhadap Islam, sehingga penyampaian mereka diragukan
karena dikhawatirkan palsu. Selain itu, Allah juga telah mengisyaratkan hal
serupa lewat firman-Nya yang berbunyi:
$pkr'¯»ttûïÏ%©!$#(#þqãZtB#uäbÎ)óOä.uä!%y`7,Å$sù:*t6t^Î/(#þqãY¨t6tGsùbr&(#qç7ÅÁè?$JBöqs%7's#»ygpg¿2(#qßsÎ6óÁçGsù4n?tã$tBóOçFù=yèsùtûüÏBÏ»tRÇÏÈ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu
orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak
menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang
menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS.Hujarat.6)
Kalau berita dari orang fasiq harus diteliti dengan seksama agar tidak
menyesatkan masyarakat, maka lebih-lebih jika berita itu datang dari orang
kafir. Dan para ulama hadits sepakat bahwa berita mereka tidak dapat diterima,
karena kemungkinan menyesatkannya lebih besar.
2. Baligh dan berakal. Selain perawi itu harus beragama Islam, menurut para
ulama hadits, mereka juga harus sudah baligh dan berakal sehat, sehingga mereka
mengerti apa yang disampaikannya, dan sadar akan akibat-akibat yang akan timbul
jika mereka berdusta. Oleh karena itu penyampaian riwayat dari anak kecil tidak
dapat diterima, karena mereka belum takut berbohong, dan sadar akan
akibat-akibat yang mungkin timbul dari suatu kebohongan dalam periwayatan
hadits. Kemudian agama pun belum memberikan penilaian perbuatan mereka,
sebagaimana ditegaskan dalam hadits Nabi saw yang berbunyi:
عن عمر رضى الله عنه قال: قال رسول الله صلى
الله عليه وسلم . رفع القلم عن ثلاثة عن المجنون حتى يبرأ وعن النائم حتى يستيقظ
وعن الصبى حتى يحتلم. رواه
احمد وابوداود.
Artinya: Dari Umar ra., dia berkata. Rasulullah saw telah
bersabda, tidak dilakukan pencatatan amal terhadap tiga hal, yaitu terhadap
orang gila sampai ia sembuh, terhadap orang tidur sampai ia terjaga, dan
terhadap anak kecil sampai dia dewasa (balig).
(HR.Ahmad dan Abu Daud)
Selain itu, agama tidak membebani anak-anak
kecil (yang belum balig) untuk mengurusi persoalan-persoalan kehidupannya
sendiri. Mereka senantiasa di bawah pengawasan pengasuhan dan tanggung jawab
walinya. Kalau dalam masalah dunia saja mereka tidak punya tanggung jawab
terhadap diri dan tahtanya, lebih-lebih terhadap persoalan-persoalan agama.
3. Adil yaitu sifat dan karakter baik yang mencerminkan ketakwaan terhadap Allah,
dan punya rasa malu terhadap anggota masyarakat lain di lingkungan sosialnya,
sehingga karakter tersebut menimbulkan kepercayaan orang lain terhadap dirinya.
Setidaknya seseorang dapat dikatakan adil apabila dia tidak pernah
melakukan dosa besar, dan tidak selalu melakukan dosa kecil, serta menjauhi
perbuatan-perbuatan yang tidak sesuai norma etik masyarakatnya, sekalipun
perbuatan tersebut halal dilihat dari sudut pAndang agama. Seperti makan dan
minum sambil berjalan-jalan, buang air kecil sambil berdiri ditempat terbuka,
atau yang lain-lainnya.
4. Cerdas, yaitu kecepatan menangkap dan memahami berita yang didengarnya, serta
tetap lekat didalam benaknya sejak ia menerima hadits itu sampai meriwayatkan
kembali kepada oran lain. Indikasi yang biasa digunakan ulama hadits untuk
mengukur kecerdasan seorang perawi adalah dengan menguji hadits-hadits yang
dibawanya itu melalui hadits-hadits yang sama yang diriwayatkan oleh perawi
lain, yang menurut kebanyakan ulama perawi-perawi tersebut dhabit. Kalau
ternyata hadits-hadits yang dibawanya itu sama, baik dalam lafadz maupun dalam
makna, maka ia dapat dikategorikan sebagai orang cerdas (dhabit) pada zamannya.
C. Cara-Cara Penyampaian dan Penerimaan Hadits
Ada beberapa cara yang biasa dilakukan para
ulama dalam penyampaian/penerimaan hadits dari seorang perawi kepada orang
lain. Cara-cara tersebut adalah:
1. Sima’i (pendengaran), yaitu seorang ulama ahli hadits membacakan hadits-hadits
yang ia hafal, atau hadits-hadits yang ia tulis, sementara murid-muridnya yang
hadir di hadapan dia mendengarkannya secara seksama, sambil mencatat apa-apa
yang didengarnya itu. Menurut para ulama ahli hadits, penyampaian semacam ini
merupakan cara penyampaian terbaik, karena kemungkinan kekeliruan dalam
penerimaan dan penyampaiannya kembali amat kecil, sebab di samping hafalan
terdapat data-data tertulis dalam catatan.
2. Pembacaan seorang perawi dihadapan seorang guru ahli hadits, yakni perawi
hadits membacakan hadits yang ia hafal atau ia tulis di hadapan seorang ulama
ahli hadits, untuk memperoleh kritik, koreksi atau perbaikan-perbaikan lainnya.
Dalam hal ini, ulama hadits tadi hanya
diam dan menyimak bacaannya itu sambil membetulkan bacaan-bacaannya yang
keliru. Cara semacam ini dapat di kategorikan sebagai model periwayatan hadits,
dan guru yang menyimak bacaannya itu menjadi perawi terhadap hadits-hadits yang
dibacakan muridnya itu. Namun murid tersebut harus faham benar apa-apa yang ia
bacakan itu, dan gurunya juga harus menguasai benar hadits-hadits yang
dibacakan muridnya itu, sehingga ia dapat membetulkan bacaannya jika terdapat
kekeliruan.
Sebagian ahli hadits ada yang menyamakan
kekuatan model periwayatan nomor dua ini dengan model periwayatan nomor
pertama, karena antara guru dan murid terjadi dialog yang baik. Sementara
sebagian ulama berpandangan bahwa cara kedua ini setingkat di bawah cara
pertama, karena bisa saja bahwa guru kurang faham terhadap hadits-hadits yang
dibacakan muridnya itu, sehingga kesalahan-kesalahannya tidak terkoreksi.
Selain itu, bisa pula terjadi bahwa muridnya itu tidak mau membantah terhadap
komentar-komentar gurunya karena rasa hormat dan takdzim kepadanya, walaupun ia
lihat bahwa komentar-komentarnya itu keliru, bila dibanding dengan
periwayatan-periwayatan lain yang berasal dari perawi yang dhabit. Oleh sebab
itu, kebanyakan ulama haduts tetap berpendirian, bahwa cara periwayatan ini setingkat
di bawah cara yang pertama.
3. Ijazah, yakni pemberian kuasa seorang guru terhadap muridnya untuk meriwayatkan
hadits-hadits yang telah ia kumpulkan, walaupun muridnya itu belum mempelajari
hadits-hadits tersebut sama sekali. Dalam periwayatan lewat ijazah ini terdapat
berbagai persyaratan yang ditetapkan para ulama, yaitu bahwa buku hadits yang
diriwayatkannya itu harus jelas judulnya, serta identitas lain yang lekat pada
buku tersebut. Kemudian, harus jelas pula identitas murid yang ditujunya, atau
yang ditunjuk untuk meriwayatkan hadits-hadits koleksinya itu.
Proses pelaksanaan ijazah itu juga harus jelas
dan terucap di hadapan murid yang akan diberi ijazah, atau paling tidak, dalam
bentuk tulisan sebagai pengganti ucapannya.
4. Al-Munawalah (penyerahan), yakni pemberian sejumlah koleksi hadits
dari seorang ulama kepada muridnya, tanpa ikatan untuk meriwayatkannya kembali
kepada orang lain, sebagaimana pada proses ijazah. Seperti seorang guru
menyampaikan sejumlah hadits yang telah terhimpun dalam buku koleksi haditsnya
terhadap murid dia sendiri, dalam bentuk tulisan sebagai pengganti ucapannya.
(ini sebagian dari hadits-haditsku), tanpa
menyebutkan kata-kata ikatan untuk meriwayatkan kembali, selain itu ada kalanya
periwayatan lewat munawalah ini dibarengi dengan ikatan sebagaimana pada
ijazah. Seperti seorang guru mengatakan pada muridnya, ini hadits-haditsku yang
saya peroleh dari si Fulan, ambil dan terimalah serta sampaikanlah
kepada orang lain. Cara semacam ini dipAndang oleh para ulama hadits sebagai
periwayatan yang baik dan berada pada posisi ketiga setelah pola nomor satu dan
nomor dua. Bahkan ada ulama hadits yang meletakkannya sejajar dengan pola nomor
satu, namun pandangan ini terlalu berani.
5. Periwayatan melalui tulisan, yakni seorang ulama ahli hadits menyampaikan sebagian
dari koleksi haditsnya kepada orang lain, lewat tulisannya sendiri atau lewat
tulisan muridnya atas suruhan dia, untuk disampaikan kepada muridnya yang lain,
baik yang ada di hadapannya atau di luar majlisnya, kemudian tulisan itu
diantarkan oleh orang yang dapat dipercaya.
Cara semacam itu ada kalanya dibarengi dengan
pengijazahan yang berimplikasi tuntutan untuk disampaikan kembali kepada orang
lain, dan adakalanya pula tanpa tuntutan tersebut. Kedua cara periwayatan ini
tidak memiliki pengaruh apa-apa tentang kesahan periwayatan tersebut untuk
diriwayatkan kembali kepada orang lain, hanya saja cara-cara pertama lebih baik
dari yang kedua. Mereka beralasan bahwa penyampaian hadits tersebut, kendati
tidak dibarengi perkataan/kata-kata ijazah telah menunjukkan keridhaan guru
untuk meriwayatkan kembali oleh muridnya itu.
6. Periwayatan lewat pemberitahuan belaka, yakni pemberitahuan seorang ulama haidts
terhadap muridnya, bahwa hadits-hadits yang terhimpun dalam tulisannya, atau
hadits-haduts yang baru dibacakannya itu adalah hadits-haditsnya yang ia
peroleh dari seseorang bernama.....(dia sebutkan namanya). Namun dia tidak
menyertai pernyataannya itu dengan tuntutan periwayatan kembali kepada orang lain.
Para ulama ahli hadits berpendapat bahwa cara-cara seperti itu sudah dapat
dianggap proses periwayatan, dan tidak hanya layak untuk diterima, tapi juga
untuk diriwayatkan kembali pada orang lain, karena pemberitahuan tersebut sudah
mencerminkan keridhaannya untuk periwayatan berikutnya. Tapi jika ia melarang
periwayatan ulang, maka periwayatan berikutnya menjadi tidak sah, karena
gurunya sendiri masih ragu tentang kesahihan hadits tersebut.
7. Periwayatan lewat wasiat, yakni seorang ulama hadits berwasiat pada seseorang
sebelum ia berangkat melakukan perjalanan jau atau sebelum meninggal dunia,
agar orang yang diberikan wasiat itu meriwayatkan kembali hadits-hadits yang
berada dalam koleksinya. Cara-cara seperti ini merupakan periwayatan yang
paling lemah, sehingga para ulama hadits berpendapat bahwa penerima wasiat
tersebut sebaiknya tidak meriwayatkan ulang hadits-hadits yang diterimanya itu.
Dan ulama yang membolehkannyapun menekankan adar dalam periwayatan ulangnya itu
perawi menyebutkan proses penerimanya yang melalui proses wasiat itu.
8. Penemuan, yakni seseorang menemukan sejumlah hadits dari sebuah catatan, tanpa ia
mendengarnya langsung, apalagi penyerahan dan pengijazahan dari pemiliknya.
Kendati demikian penemuan tersebut dapat diterima sebagai proses penerimaan
hadits, jika penemunya mengenal betul siapa penulisnya, dan kedua orang itu
berasal dari satu generasi, serta penulisnya itu terkenal sebagai orang yang
dhabit dan adil, sehingga periwayatannya dapat dipercaya. Selain itu boleh juga
penulis itu berasal dari generasi sebelumnya, yang orangnya itu terkenal
sebagai orang yang dhabit dan adil. Namun penemunya harus yakin benar tulisan
itu berasal dari orang yang dimaksudnya itu, baik melalui rekomendasi ahli
sejarah, atau memang telah amat populer di masyarakat bahwa, naskah tersebut
milik dia.
Kalau proses penemuannya itu memenuhi kreteria
ini, penemunya dapat meriwayatkan hadits-hadits temuannya itu dengan
menjelaskan dari mana hadits-haditsnya itu ia peroleh.oleh sebab itu
hadits-hadits tersebut tidak dapat diriwayatkan dengan kata-kata tetapi harus
dengan kata-kata (saya temukan dalam tulisan “Fulan” ini...ini..ini...).
D. Bentuk-Bentuk kata dalam Penyampaian Hadits Nabi
Kata-kata yang digunakan untuk periwayatan
hadits amat tergantung pada proses penerimaan hadits yang diriwayatkannya itu.
Hadits yang diperoleh seorang rawi lewat pendengaran langsung dari guru atau
ulama hadits yang ditemuinya, biasanya mereka meriwayatkan kembali pada orang
lain dengan menggunakan kata-kata سَمِعْتُ(saya mendengar), حَدَثَنَا(ia telah menyampaikan kepada
kami), خَبَرَنَا(dia telah memberitahu pada
kami). Tiga kata ini yang sering digunakan dalam periwayatan hadits yang
diperoleh perawinya lewat pendengaran langsung dari perawi sebelumnya. Selain
itu, terkadang digunakan pula kata-kata قَالَ(dia berkata), atau ذَكَرَلِى(dia menuturkan kepadaku).
Sedangkan kata yang digunakan dalam
periwayatan hadits yang diperoleh lewat pembacaan di hadapan seorang ulama ahli
hadits adalah قَرَأْتُ عَلَى فُلَان (saya telah membacakannya di
hadapan syaikh “Fulan”), atau قرئ على فلان وأناأسمع(dibacakan oleh syaikh “Fulan”
dan saya mendengarnya). Terkadang untuk menyatakan makna yang sama, para perawi
hadits menggunakan kata-kataاخبرنا قرأة عليه (dia telah menyampaikan padaku
melalui pembacaan dihadapannya).
Para perawi hadits jarang sekali menggunakan
kata-kata عنuntuk hadits-hadits yang diperoleh lewat pendengaran
langsung dari gurunya, atau pembacaan di hadapan dia, karena kata عنsering digunakan untuk menyembunyikan cacatnya
periwayatan. Oleh sebab itu, periwayatan hadits dengan kata-kata حدثنا فلان, قال, حدثنا فلانjauhlebih tinggi tingkat kesahihannya,
daripada penyampaian dengan kata-kata حدثنا فلان,عن فلان. Namun penilaian berlaku pada
kebiasaan periwayatan di tingkat sanad. Sedang pada tingkat perawi hadits yang
terakhir, mereka lebih banyak menggunakan kata-kata عنterutama bagi hadits-hadits yang disampaikan oleh para
perawi, yang sudah diketahui bahwa antara yang dengan yang lainnya benar-benar
berjumpa, atau orang-orang yang terlibat dalam periwayatan hadits itu, dikenal
secara umum sebagai orang-orang yang jujur dan tidak pernah menipu atau
berbohong dalam menyampaikan hadits-haditsnya.
Adapun kata yang bisa digunakan dalam
periwayatan hadits lewat pengijazahan (الإجازة) dan pemberian semata (المناولت), adalahاخبرنا فلان إجازة (Syaikh “Fulan” telah
menyampaikan kepada kami melalui pengijazahan), atau فيما اجازنى فلان (sesuai dengan
apa yang diijazahkan syaikh “Fulan” padaku). Sedangkan untuk hadits yang
diperoleh lewat مناولةadalah اخبرنامناولة(dia telah menyampaikan pada kami
lewat pemberian semata), atau dengan kata فيما ناولنى(sesuai dengan apa yang ia telah
berikan kepadaku).
Kemudian, lafadz yang biasa digunakan dalam
penyampaian hadits lewat tulisan adalah كتب الى فلان وقال:(Syaikh
“Fulan” telah menuliskan buatku dan dia berkata). Sedang penyampaian hadits
yang diperoleh lewat pemberitahuan rinci tentang asal-usul hadits tersebut
adalah فيما أعملنى شيخى(sesuai dengan apa yang telah
diberitahukan kepadaku oleh guru saya). Adapun penyampaian hadits yang
diperoleh lewat wasiat adalah أوصى الى فلان(Syaikh “Fulan” telah berwasiat
kepadaku), atau أخبرنى فلان بالوصية(Syaikh “Fulan” telah
menyampaikan pada saya melalui wasiat), dan terkadang disampaikan pula dengan
kata-kata (Syaikh “Fulan” telah berwasiat kepadaku bahwa seseorang telah
menyampaikan hadits kepada saya yang berbunyi...)
Adapun kata-kata yang biasa digunakan dalam periwayatan
hadits yang diperoleh lewat penemuan adalahوجدت في كتاب فلان(saya temukan dalam kitab Si
“Fulan”).Semua lafadz, yang digunakan dalam periwayatanini amat penting artinya
bagi para perawi hadits pada jajaran terakhir, pada saat mereka melakukan
kajian terhadap hadits-hadits yang sampai pada mereka, karena simbol-simbol
kata yang digunakan para perawi hadits yang menjadi sanad itu memiliki bobot
tersendiri yang berbeda satu sama lain.
E. Periwayatan Hadits Dalam Bentuk Makna
Pada dasarnya seorang perawi hadits harus menyampaikan hadits-hadits Nabi
itu dengan lafadz asli sesuai yang ia terima dari perawi sebelumnya. Dan para
muhadisin senantiasa memelihara hal itu dalam penyampaian hadits-haditsnya
kepada orang lain. Mereka telah berupaya menyampaikan hadits-hadits Nabi tanpa
ada perubahan baik dalam makna maupun lafadz-lafadznya.
Akan tetapi para ulama pun menyadari betapa
sulitnya melakukan itu, sehingga kebanyakan muhadisin dapat menerima
periwayatan dalam bentuk makna serta adanya perubahan-perubahan dalam pengungkapannya.
Namun untuk ini, mereka menetapkan beberapa persyaratan, yaitu:
1. Perawi hadits itu harus menguasai bahasa Arab dengan baik.
2. Mereka juga harus menguasai makna-makna lafadz hadits dan memahaminya
dengan baik.
3. Mereka juga harus dapat mengantisipasi pergeseran makna jika haidts itu
diungkapkan dalam redaksi yang berbeda dari aslinya.
Lebih jauh Imam al-Syafi’i menekankan bahwa
periwayatan makna itu dapat diterima jika perawinya memenuhi beberapa
persyaratan, yaitu:
1. Perawi tersebut tergolong orang yang dapat dipercaya dalam sikap
keagamaannya.
2. Dia itu terkenal sebagai orang yang jujur dan tidak pernah berdusta dalam
menyampaikan hadits-haditsnya.
3. Perawi tersebut harus terkenal sebagai orang yang cerdas dan senantiasa
terlihat memiliki pemahaman yang cukup baik terhadap apa yang diriwayatkannya.
4. Perawi tersebut harus menguasai bahasa Arab dengan baik, sehingga dapat
mengantisipasi pergeseran makna dalam perubahan pengungkapannya.
5. Dia juga harus orang yang dikenal biasa menyampaikan hadits dengan lafadz
yang sama seperti yang ia terima dari perawi sebelumnya.
6. Perawi tersebut juga harus tergolong orang yang kuat hafalannya dan biasa
menyampaikan hadits dari koreksi hafalannya itu.
Dengan demikian, terkesan dari paparan Imam
Syafi’i ini bahwa periwayatan dengan makna itu semata-mata dilakukan dalam
keadaan dia terlupa, sementara dia sendiri sebenarnya bukan seorang pelupa,
bahkan tergolong seorang perawi yang shahih. Dan dia menyampaikan
hadits-haditsnya itu dengan perubahan pembahasan semata-mata dalam rangka
menghindari sikap menyembunyikan ajaran-ajaran agama.
Untuk memantapkan penguasaan Anda terhadap
materi di atas, coba kerjakan latihan di bawah ini:
1. Coba Anda jelaskan pengertian Ilmu Hadits dan Ilmu Hadits Riwayah.
2. Mengapa seorang perawi hadits harus beragama Islam, balig dan berakal,
cerdas dan adil?
3. Mengapa cara-cara periwayatan melalui sima’i dan pembacaan di depan guru dipAndang yang terbaik? Dan apa
lafadz-lafadz yang bisa digunakan para muhadisin untuk meriwayatkan hadits-hadits yang
diterimanya lewat dua cara di atas?
4. Mengapa hadits-hadits hasil temuan seseorang atau poemberian seorang ahli
hadits sudah cukup sah untuk diriwayatkan kembali, dengan menyAndarkannya pada
penulis naskah temuannya itu dan pemberi hadits-haditsnya itu?
5. Mengapa perawi hadits berani melakukan perubahan bahasa dalam meriwayatkan
hadits-hadits Nabi?, dan apa syarat-syarat kebolehannya itu dalam melakukan pandangan
Imam al-Syafi’i?
Semua Jawaban dari latihan-latihan tersebut
terdapat dari uraian yang telah Anda baca. Tapi kalau ragu dengan jawaban
sendiri, coba diskusikan dengan teman Anda, kemudian konsultasikan pada tutor.
Sekedar
untuk membimbing Anda menemukan jawaban dari latihan di atas, berikut
ini akan diberikan rambu-rambu petunjuknya.
1. Jawaban nomor satu dapat Anda temukan dengan mudah pada subjudul A dan B.
Coba pelajari kembali dengan baik kedua pengertian di atas, dan lihat
perbedaannya.
2. Jawaban nomor dua bisa Anda dapatkan pada paparan kriteria perawi hadits.
Pelajari uraian dan argumentasinya.
3. Coba Anda lihat kembali pembahasan cara-cara penyampaian dan penerimaan
hadits. Pelajari uraian dan argumentasinya. Kemudian pelajari kembali
lafadz-lafadz yang biasa digukan untuk periwayatan hadits yang diperoleh lewat
dua pola di atas.
4. Petunjuk untuk nomor ini sama dengan petunjuk untuk nomor tiga.
5. Jawaban nomor lima bisa Anda dapatkan dengan mempelajari kembali latar
belakang terjadinya perubahan pembahasan dalam periwayatan tersebut, dan untuk
apa mereka melakukannya. Kemudian pelajari kembali kriteria-kriteria yang
diangkat oleh Imam Syafi’i tentang periwayatan dalam bentuk makna.
Setelah Anda merasa puas mengerjakan latihan
ini, coba baca ulang materi kegiatan belajar tiga ini secara keseluruhan. Dan
fahamilah materinya secar utuh.
Sekedar untuk membantu Anda memahami materi
ini secara utuh, berikut ini akan diberikan rangkuman sederhana.
Tes Formatif 3
Bubuhkan lah tanda silang (X) di depan jawaban yang menurut Anda paling
benar dan tepat.
1. Ilmu hadits riwayah adalah ilmu yang mempelajari tentang...
A. Kualitas para perawi hadits.
B. Kualitas para perawi hadits pada setiap thabaqat.
C. Proses periwayatan hadits.
D. Cara-cara periwayatan hadits.
2. Seorang perawi hadits dapat diterima periwayatannya jika memenuhi beberapa
persyaratan, yaitu...
A. Islam, balig, cerdas dan adil.
B. Islam, cerdas, adil dan telah Mukallaf.
C. Islam, balig dan berakal, cerdas dan adil.
D. Islam, cerdas, adil dan bertaqwa kepada Allah.
3. Para ulama menetapkan bahwa seorang perawi itu harus cerdas dalam rangka...
A. Menjaga kebohongan.
B. Menjaga pemalsuan hadits.
C. Menjaga kekeliruan dan kesalahan.
D. Menjaga kealpaan.
4. Dan para ulama menetapkan bahwa seorang perawi itu harus seorang muslim
yang taat adalah dalam rangka...
A. Menghindari kebohongan dan pemalsuan hadits.
B. Menghindari penipuan dalam periwayatan hadits.
C. Menghindari kekeliruan.
D. Menghindari kesalahan.
5. Periwayatan yang dilakukan سمعتdenganاخبرنا dan menunjukkan bahwa perawinya
memperoleh hadits tersebut melalui...
A. Pemberian belaka.
B. Sima’i
C. Pembacaan di hadapan guru.
D. Pencatatan.
6. Periwayatan yang dilakukandengan قرأت على فلانmenunjukkan bahwa perawinya memperoleh hadits
tersebut melalui...
A. Munawalah.
B. Kitabah (tulisan)
C. Ijazah.
D. Qiraah (pembacaan di hadapan guru).
7. Para perawi terkhir ada juga menggunakan kata عنdalam menyampaikan hasil kajiannya karena...
A. Untuk memudahkan penyebutan.
B. Kajian riwayat telah usai.
C. Kata عنsudah cukup mewakili.
D. Butir B dan C.
8. Perubahan pembahasaan dalam periwayatan dengan tetap menjaga makna
diperbolehkan oleh para ulama hadits dalam keadaan...
A. Perawi lalai pada bahasa asli.
B. Perawi ingin memperbarui bahasanya.
C. Perawi terlupa pada bahasa asli.
D. Perawi ingin mempermudah pembahasaan.
Cocokkanlah jawaban Anda dengan kunci jawaban tes formatif yang terdapat di
bagian akhir modul ini. Hitunglah jumlah jawaban Anda yang benar, kemudian
gunakan rumus di bawah ini untuk mengetahui tingkat penguasaan yang Anda capai.
Rumus:
Jumlah Jawaban Anda yang benar
Tingkat penguasaan = x 100
8
Arti tingkat penguasaan yang Anda capai:
90% - 100% =
baik sekali
80% - 89% =
baik
70% - 79% =
cukup
< 69% =
kurang
Bila Anda telah mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat
meneruskan kegiatan belajar dua. Great! Tetapi bila tingkat penguasaan Anda
kurang dari 80%, Anda harus mempelajari kembali materi tetang Ilmu Hadits
Riwayah ini, terutama bagian-bagian yang belum Anda kuasai.
Kegiatan Belajar
ILMU HADITS DIRAYAH
Pada
kegiatan belajar 3 Anda telah mempelajari materi tentang ilmu hadits riwayah
yang penekanan kajiannya pada proses penyampaian sebuah hadits dari seorang
rawi pada yang lainnya. Ilmu hadits riwayah amat penting untuk melihat tingkat
kekuatan kebeneran hadits serta kemungkinan-kemungkinan terjadinya kekeliruan
serta kesalahan dari sisi proses periwayatannya.
Selain
itu, untuk melihat lebih jauh tentang kesahihan sebuah hadits, para ulama
mengkaji para perawi dengan melakukan telaah terhadap biografi mereka
masing-masing, untuk melihat kriteria-kriteria yang telah ditetapkan yang harus
ada pada setiap perawi hadits. Disamping itu, merekapun mengkaji lafadz-lafadz
hadits tentang keaslian dan kepalsuannya. Ilmu yang mempelajari dua hal yang
amat penting ini disebut ilmu hadits dirayah. Dan inilah yang akan dipaparkan
pada kegiatan belajaran empat ini, dengan cakupan pembahasannya meliputi:
1. Pengertian Ilmu Hadits Dirayah
2. Al-Jarah wa al-Ta’dil
3. Ilmu qharib al-Hadits
4. Hadits-hadits Mukhtalaf
5. Nasikh dan mansukh
A. Pengertian Ilmu Hadits Dirayah
Ilmu hadits dirayah adalah ilmu hadits yang membahas tentang kaidah-kaidah
untuk mengetahui diterima atau ditolaknya sebuah hadits melalui kajian terhadap
keadaan para perawi hadits dan matan hadits yang mereka riwayatkan.
Dengan demikian, penekanan kajian ilmu hadits dirayah adalah pada diri
perawi hadits yang menjadi sanad (sAndaran) para ulama hadits untuk menentukan
apakah lafadz haditsnya benar-benar dari Nabi, sehingga lafadz tersenut dapat
diterima, atau tidak berasal dari Nabi sehingga lafadz-lafadz tidak dapat
diterima. Kemudian kajian dalam ilmu hadits dirayah juga ditekankan pada
pengamatan matan tentang keaslian atau kepalsuannya, lewat kajian terhadap
matan itu sendiri.
B. Al-Jarh wa al-Ta’dil
Salah satu bagian terpenting dalam ilmu hadits adalah Al-Jarh wa
al-Ta’dilyakni pengkajian dan pembahasan tentang cacat dan adilnya para
perawi hadits dalam upaya menentukan apakah periwayatannya itu dietrima atau
ditolak. Sasaran kajian diarahkan pada tingkat عدالة(keadilannya), dan kedhabitannya
yaitu kecepatan menangkap, menghafal dan memahami hadits-hadits yang
diterimanya, serta mempertahankan hafalannya sampai pada saat dia meriwayatkan
ulang hadits-hadits yang dihafalnya itu (dhabit).
Secar umum kriteria keadilan seorang rawi bisa dilihat dari dua segi, yaitu
pertama dari segi ketaatannya terhadap norma-norma keagamaan sebagai perwujudan
dari tuntutan keyakinan akidahnya, baik berupa perbuatan-perbuatan ubudiah
ritualseperti shalat, puasa, zakat dan haji, maupun perbuatan-perbuatan di
luar lingkup ubudiah mahdhahdengan menghindari tindakan-tindakan yang
tidak diridhai Allah seperti berdusta, menipu, dan berkhianat kepada orang
lain, dan berbagai perbuatan yang tergolong dosa besar. Kedua, dari segi
ketaatannya terhadap norma-norma etik yang berlaku dimasyarakat, yang telah
menjadi kesepakatan bersama dan tidak bertentangan dengan agama, bahkan mungkin
berjalan dengan tuntutan agama tersebut.
Adapun kriteria kedhabitan seorang perawi yang biasa digunakan dalam kajian
terhadap para perawi hadits periode salaf adalah, tingkat kecepatan menangkap,
menghafal, dan memahami apa-apa yang ia dengar dari gurunya (perawi
sebelumnya),, serta kekuatan mempertahankan hafalan dan pemahamannya sampai ia
meriwayatkannya pada orang lain, jika periwayatannya itu bersumber dari
hafalannya. Dan ia tahu benar terhadap hadits tersebut jika ia meriwayatkannya
dalam bentuk makna, serta tetap dapat memelihara tulisannya dan berbagai
kesalahan dan kekeliruan, jika periwayatannya itu bersumber dari cacatannya
sendriri.
Lacakan terhadap keadilan dan kedhabitan seseorang dilakukan dengan dua
pendekatan, yaitu menyerap informasi yang berkembang dikalangan ulama, dan
melakukan interview pada ulama-ulama tertentu yang dipAndang mempunyai
kompetensi untuk memberikan informasi, sekaligus penilainnya terhadap perawi
hadits yang sedang dipelajarinya. Pendekatan pertama yang biasanya digunakan
untuk menentukan عدالة(keadilan)
dan kedhabitan orang-orang yang telah amat poluler dalam dunia hadits, seperti
Malik bin Anas, Sofyan al-Tsauri, Syu’bah bin al-Hajjaj, Imam Ahmad, dan
lain-lainnya. Sedang pendekatan kedua biasanya digunakan untuk mempelajari para
perawi hadits yang belum punya popularitas dalam periwayatan hadits, sehingga
informasi tentang dirinya amat terbatas. Oleh sebab itu, data-data tentang
dirinya itu harus digali lewat wawancara dengan tokoh-tokoh yang mempunyai
kompetensi untuk memberikan informasi serta penilaian terhadap diri seorang
perawi yang sedang dipelajarinya itu. Khusus untuk menguji kedhabitan perawi,
para ulama hadits-hadits yang diriwayatkannya itu terhadap hadits-hadits yang
sama yang diriwayatkan oleh tokoh-tokoh yang sudah dikenal sebagai perawi yang
dhabit.
Kemudian penentuan orang yang diwawancarai juga harus selektif. Setidaknya
mereka itu harus orang yang memiliki ketaatan beragama dengan baik, senantiasa
berkata jujur dan benar, war’, memiliki wawasan keilmuan yang cukup luas,
banyak mencurahkan waktunya untuk mempelajari hadits-hadits Nabi, dan
mengetahui benar kriteria-kriteria keadilan dan kedhabitan seseorang perawi
hadits. Informasi-informasi yang datang dari orang-orang yang tidak memiliki
kriteria-kriteria di atas, tidak dapat dipertimbangkan dalam rangka mengambil
keputusan untuk menilai seseorang perawi hadits.
Kemudian, kalau informasi yang diserap itu bertentangan satu sama lain,
yakni yang satu mengtakan adil dan dhabit lengkap dengan argumentasinya
sementara yang lainnya menyatakan sebaliknya dengan argumentasi yang lengkap
pula, maka kebanyakan ulam hadits bersikap mengambil informasi dengan menyatakan
ketidakadilan dan kedhabitan (menolak) perawi tersebut, dengan beranggapan
bahwa orang yang memberi informasi menolak mengetahui lebih banyak data-data
orang yang sedang dipelajarinya itu, dari pada orang yang hanya memberi
informasi keadilan dan kedhabitannya saja. Dan mereka tetap berpegang pada
prinsip ini sekalipun informasi yang mendukung jauh lebih besar dari pada yang
menolak.
Selain itu, hasil kajian para ulama hadits juga dapat diterima jika mereka
itu memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Jujur dan bersih dalam melakukan penilaian terhadap seorang rawi. Mereka
mengkaji para perawi hadits apa adanya, terlepas dari sentimen pribadi, etnis
atau lainnya, karena kalau penilaian dipengaruhi oleh sentiment-sentimen
tersebut, hasilnya akan kurang objektive.
2. Kajian tentang para perawi hadits cukup menyeluruh dan mendalam. Mereka
harus melakukan penilaian dengan melihat segala segi kehidupannya yang terkait
dengan kedhabitan dan keadilannya sebagai seorang perawi hadits itu. Dan mereka
juga tidak melihat para perawi hadits dari sisi negatifnya saja, tapi juga dari
segi-segi positifnya.
3. Menjaga etik penilaian rawi, dan menyatakan hasil penilaiannya itu dengan
ungkapan yang baik. Umpamanya pernyataan dia bukan orang yang lurus
perkataannya lebih baik daripada pernyataan dia itu pendusta.
4. Memberikan alasan-alasan rinci ketika memberikan penilaian negatif terhadap
seseorang karena untuk pernyataan tersebut perlu data-data yang benar yang
dapat meyakinkan orang lain, dan dapat pula diterima oleh pihak-pihak lain yang
ingin mempertahankannya, serta masih mungkin dapat dipaparkan keseluruhannya.
Sedang untuk pernyataan positif cukup dengan beberapa argumentasi global saja,
karena tidak mungkin segala kebaikan orang-orang tersebut dapat diuraikan
secara rinci.
Inilah berbagai hal tentang al-Jarh wa al-Ta’dil sebagai suatu cara untuk
menilai suatu hadits lewat pendekatan sanad. Kajian hadits lewat sanad ini
sudah cukup untuk mengambil suatu keputusan diterima atau ditolaknya sebuah
hadits, selama persambungan sanadnya mulus tanpa cacat apa-apa, dan matannya
tidak berilat serta tidak rancu.
Kajian lewat pendekatan al-Jarh wa al-Ta’dil ini dapat menentukan kategori
hadits, apakah tergolong hadits shahih, hasan, atau dhaif. Pembahasan rinci
tentang istilah-istlah tersebut terdapat pada ilmu musthalah hadits.
C. Ilmu Gharib al-Hadits
Ilmu Gharib al-Haditsadalah ilmu yang membahas lafadz-lafadz hadits
yang arti dan maksudnya amat samar, asing dan sukar difahami. Para ulama hadits
menganggap cukup penting ilmu ini, karena setiap perawi hadits harus faham
benar terhadap matan-matan hadits yang diriwayatkannya. Dan kalau mereka kurang
memahaminya akan menghadapi berbagai kesulitan, dan besar kemungkinan mereka
akan membuat kesalahan-kesalahan besar yang dalam periwayatan hadits-hadits
Nabi.
Langkah pertama untuk dapat memahami hadits-hadits Nabi secar utuh dalah
memahami arti-arti dari semua kosa kata yang digunakan dalam hadits-hadits Nabi
tersebut. Berbagai kosa kata yang dipAndang asing oleh perawi hadits itulah
yang dikaji dalam ilmu Gharib al-Hadits.
Menculnya kesulitan-kesulitan dalam memahami kosa kata dari matan-matan
hadits itu disebabkan berkembangnya (bahasa) kebudayaan manusia, sementara
bahasa yang digunakan Nabi di hadapan masyarakatnya amat dipengaruhi oleh
budaya mereka, dengan simbol-simbol bahasa yang berlaku dalam tradisi kehidupan
sosialnya. Sementara budaya masyarakat dari satu generasi ke generasi
berikutnya senantiasa mengalami perkembangan dan perubahan. Dengan demikian,
bahasa yang merupakan simbol dari sebuah budaya juga mengalami perubahan dan perkembangan.
Dilihat dari sisi ini, ilmu Gharib al-Hadits belum berkembang pada masa
awal-awal Islam, karena di dalam masyarakat belum terjadi perubahan makna-makna
semantik yang menyolok, sehingga para perawi hadits dapat dengan mudah memahami
lafadz-lafadz hadits tersebut. Dan inilah yang terjadi dalam sejarah. Akan
tetapi pada masa-masa berikutnya, ilmu ini dikembangkan, sebagai upaya memahami
arti dan maksud dari hadits-hadits Nabi yang mereka pelajari dan sebar-luaskan
kepada masyarakat.
Hal ini yang melatar-belakangi Abu Hasan al-Nadhar (w.203 H) untuk menulis
buku yang berjudul Gharib al-Hadits, yang isinya meberikan penjelasan tentang
arti dan maksud dari berbagai kosa kata yang terdapat dalam matan-matan hadits,
yang dianggap cukup sulit untuk difahami secara benar. Tokoh-tokoh ulama lain
yang bergerak dalam bidang yang sama setelah generasi Abu Hasan al-Nadhar juga
cukup banyak, di antaranya Abu al-Qasim Ja’far Allah Muhammad bin Umar
al-Zamarkhsyari (w. 538H), dengan karyanya berjudul al-Faiq fi Gharib
al-Hadits. Kemudian Majid al-Din Abu Sa’adah al-Mubarak bin Muhammad al-Jaziri
(w.606H), dengan karya berjudul al-Nihayah fi Gharib al Hadits al-Atsar.
D. Ilmu Mukhtalaf al-Hadits
Bidang keilmuan ini secara khusus membahas cara-cara penyelesaian
hdits-hadits Nabi yang secara zahir matannya bertentangan satu sama lain.
Matan-matan hadits yang nampak bertentangan tersebut dikaji segi-segi yang
mungkin dapat mempertemukan keduanya, sehingga dapat diketahui makna dan maksud
masing-masing tanpa saling menggugurkan. Karena sukarnya kajian ini, para ulama
sering menamai bidang keilmuan ini dengan sebutan musykil al-hadis
(hadits-hadits yang sukar difahami). Dan ada pula yang menyebutnya dengan Ikhtilaf
al-Hadits(hadits-hadits yang bertentangan), Ta’wil al-Hadits
(hadits-hadits yang perlu penjabaran). Nama-nama ini dipergunakan untuk
menyebutkan satu bidang yang sama yaitu Ilmu Mukhtalaf al-Hadits.
Pendekatan yang biasa dipergunakan para ulama dalam menyelesaikan
hadits-hadits yang bertentangan tersebut adalah pendekatan ilmu ushul al-Fiqh,
apakah melalui pendekatan takhshish, taqyid atau pun ta’wil dengan melihat
konteks hadits-hadits yang bertentangan tersebut. Jalan terakhir yakni kalau
tidak dapat menyelesaikan dengan pendekatan-pendekatan di atas para ulama biasa
melakukan pendekatan nasakh, dengan melihat hadits mana yang datang belakangan,
itulah yang diberlakukan hukumnya.
Keahlian semacam ini amat diperlukan oleh mereka yang menekuni ilmu-ilmu
keagamaan, terutama ulama hadits yang tertarik untuk membidangi ilmu fiqh dan
ushul al-Fiqh, karena di samping mereka menghafal hadits-hadits Nabi, juga
mempergunakannya sebagai dasar dalam berfatwa.
Pendekatan semacam ini telah banyak dilakukan oleh para ulama sejak zaman
sahabat. Dan kian hari kian berkembang kajian-kajian semacam itu, sehingga para
ulama tertarik untuk menulis buku khusus tetang hadits-hadits yang bertentangan
tersebut beserta langkah-langkah penyelesaiannya, dan hadits-hadits yang sukar
dipahami beserta pendekatan pemahamannya. Tokoh pemula kajian ini adalah
Muhammad bin Idris al-Syafi’i (w.204H) dengan karyanya yang berjudul Ikhtilaf
al-Hadits (hadits-hadits yang bertentangan).
E. Nasikh dan Mansukh
Selain hal-hal di atas, ada bagian lainnya yang perlu mendapat perhatian
dalam rangka membawa hadits-hadits Nabi pada taraf pengalaman dan penyelesaian
persoalan-persoalan hukum, yaitu nasakh. Dalam pengertian ulama Ushul, nasakh
itu adalah penghapusan suatu hukum oleh Syari’ (Allah dan Rasul-Nya), diganti
oleh hukum baru yang datang kemudian dengan dasar yang berlainan.
Para ulama hadits dan ushul melihat bahwa Nabi saw melakukan hal tersebut
untuk hadits-haditsnya, karena pernyataan-pernyataan Nabi yang amat dipengaruhi
oleh faktor sosio-kultural yang mengitarinya, sehingga ketika terjadi
perubahan-perubahan sosiologis yang amat menonjol, Nabi merubah ketetapan
hukumnya itu sesuai dengan dinamika masyarakatnya. Salah satu contoh yang dapat
dikemukakan di sini adalah sabda Nabi saw tentang ketentuan ziarah kubur, yang
berbunyi:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم. كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ
عَنْ زِيَارَةِ القُبُوْرِ اِلَافَزُوْرُهَا فَاِنَّهَا تَذْكُرْكُمْ الأَ خِرَةِ. رواه مسلم وابوداود والنسائ
Artinnya: Rasulullah saw. Bersabda, saya telah melarang kalian untuk
berziarah ke pekuburan. Tapi sekarang, berziarahlah kalian semua kepekuburan
tersebut, karena akan mengingatkanmu terhadap kehidupan akhirat.
(Riwayat Muslim, Abu Daud dan Nasai)
Menurut satu keterangan, bahwa larangan Nabi kepada para sahabat beliau
untuk berziarah mengingat kontak kultural mereka dengan tradisi masa-masa
pra-Islam masih belum putus sama sekali, sementara tradisi masyarakat jahiliah
dalam ziarah kubur mencerminkan sikap kemusyrikan, sehingga untuk mencegah
kembalinya mereka pada tradisi lama tersebut, Nabi melarang meraka untuk
berziarah ke pekuburan. Di samping itu yang mereka ziarahi juga adalah
pekuburan tokoh-tokoh jahiliah dan masyarakat musrik lainnya.
Setelah kemungkinan-kemungkinan tersebut terlihat kecil, karena keimanan
mereka sudah kian kuat dan penghuni pekuburannya adalah ummat Islam serta para
syuhada’. Nabi justru menyuruh mereka untuk melakukan ziarah ke pekuburan
tersebut, sebagai upaya mengingatkan mereka akan kehidupan di balik kehidupan
dunia fana ini.
Contoh ini meyakinkan para ulama bahwa Nabi melakukan penghapusan (Nasakh)
terhadap pernyataan-pernyataan sebelumnya, dan diganti dengan pernyataan baru
dengan hukum yang baru pula. Akan tetapi, mereka serta merta sampai pada
kesimpulan tersebut sebelum melakukan kajian-kajian seksama tentang teks-teks
hadits yang bertentangan itu. Mereka sampai pada kesimpulan nasakh bagi dua
teks yang bertentangan setelah gagal mengkompromikan keduanya, apakah lewat
takhshish, taqyid atau pun ta’wil dengan melihat konteks sosiologisnya.
Pengetahuan tentang nasakh ini, yakni hadits-hadits yang ternasakh dan
hadits-hadits yang menaskhkannya, amat penting terutama bagi para mujtahid
dalam penetapan hukum, karena dalam kegiatannya, seseorang mujtahid senantiasa
berhubungan dengan hadits-hadits Nabi. Dan kalau dia tidak mengenal
hadits-hadits yang ternasakh serta yang menasakhnya, hasil ijtihadnya kan
dianggap kurang valid, karena argumentasi dan pandangannya kurang komprehensif.
Mengingat pentingnya pengetahuan ini, sejak dini para ulama telah
menghimpun hadits-hadits yang ternasakh beserta yang menasakhnya. Yang pertama
melakukan kajian ini adalah Qatadah bin Du’amah al-Sadusy (w.118H) dari
kalangan Tabi’in, dengan karyannya yang berjudul al-Nasikh wa al-Mansyukh. Penerus beliau adalah Abu Bakar Ahmad bin
Muhammad al-Atsran (w.261H), dengan karyannya yang berjudul Nasikh al-Hadits
wa Mansukhuhu.
F. Ilmu Ilal al-Hadits
Ilal artinya adalah penyakit atau cacar. Ilmu ilal al-Hadits adalah ilmu
yang membahas tentang sebab-sebab yang membuat hadits itu cacat. Seperti hadits
munqathi diformulasikan sebagai mauquf, atau hadits mauquf diformulasikan
sebagai hadits marfu’. Demikian pula dengan tindakan perawi hadits yang menyelipkan
ide-idenya sendiri pada hadits-hadits yang ia riwayatkan. Kajian seperti ini
diperlukan untuk memelihara kemurnia hadits Nabi.
Pembahasan ini banyak dilakukan oleh para ulama lewat pendekatan pengujian
hadits-hadits yang diragukannya dengan para ulama ahli hadits, baik melalui
dialog, menanyakan langsung, atau membacakannya di hadapan mereka sambil
menunggu komentarnya.
Kajian ilat harus dilakukan pada sanad dan matan hadits. Penelitian
terhadap sanad lebih difokuskan untuk melihat kebenaran rangkaiannya, dan
nama-nama tokoh yang terlihat dalam periwayatan hadits tersebut. Sedangkan
penelitian terhadap matan lebih difokuskan untuk menjaring kata-kata sempalan
yang mungkin diselipkan oleh para perawi hadits, baik sengaja atau pun tidak.
Para ulama telah menaruh perhatian besar pada bidang ini, karena kalu
tidak, para ulama hadits yang kemudian bergerak di lapangan fiqh dan ushul fiqh
akan sesat dan mengeluarkan fatwa dengan dasar pegangan yang salah. Salah satu
karya besar di abad ke-3 H dalam bidang ini adalah Tarikh wa al-Ilal, buah
karya Yahya bin Mu’in (w.233 H). Kemudian Ilal al-Hadits karya Ahmad bin Hambal
(w.241H).
Untuk mengkaji penguasaan Anda terhadap materi yang baru dipelajari ini,
coba Anda kerjakan latihan di bawah ini:
1. Apa yang Anda ketahui tentang ilmu hadits dirayah, dan bidang apa saja yang
dipelajari di dalamnya?
2. Dalam rangka menentukan shahih atau tidaknya sebuah hadits, proses al-Jarh
wa al-Ta’dil amat memegang peranan mengapa?
3. Dalam rangka al-Jarh wa al-Ta’dil tersebut seorang ulama hadits meneliti
keadilan dan kedhabitan seorang perawi. Coba Anda jelaskan kriteria-kriteria
umum tentang keadilan dan kedhabitan tersebut, dan bagaimana cara memperoleh
kesimpulannya.
4. Untuk dapat menampilkan kemurnian hadits, para ulama mengkaji ilat-ilat hadits
yang mungkin terdapat pada sanad dan matan. Coba Anda jelaskan apa yang
dimaksud dengan ilat tersebut, beserta fokus-fakus kajiannya.
5. Untuk sampai pada taraf pengalaman dan pemahaman hadits-hadits Nabi,
seorang ulama mujtahid harus menguasai ilmu gharib al-hadits, ilmu mukhtalif
al-hadits dan Nasakh. Mengapa demikian?
Kalau sudah dapat mengerjakan semua soal dalam latihan ini dengan baik,
berarti Anda telah menguasai materi kegiatan belajar 4 secara baik pula. Tapi,
kalau Anda masih ragu dengan jawaban-jawaban Anda sendiri, diskusikan kembali
dengan teman dan tutor Anda, atau diskusikan dengan teman lain di luar kelompok
belajar Anda, yang sekiranya dia dapat membantu menyempurnakan pemahaman Anda.
Sekedar untuk membantu menemukan jawaban darim soal-soal latihan diatas, di
bawah ini kami berikan rambu-rambu petunjukknya. Ingat pertunjuk ini bukan jawaban soal!
1. Jawaban nomor satu ini bisa Anda dapatkan dengan mudah pada subpokok
bahasan pengertian ilmu hadits dirayah. Sedang bidang-bidangnya bisa Anda
dapatkan pada pengantar dari kegiatan belajar 4 ini.
2. Jawaban nomor dua bisa Anda dapatkan pada pembahasan tentang pengertian
al-Jarrah wa al-ta’dil dan fokus kajiannya.
3. Jawaban nomor tiga juga dapat Anda temukan dalam pembahasan al-Jarrah wa
al-ta’dil juga, dalam paparan tentang kriteria-kriteria adil dan dhabith.
4. Jawaban nomor empat ini bisa Anda temukan pada pembahasan tentang ilat-ilat
hadits beserta fakus kajiannya.
5. Jawaban nomor lima ini relatif panjang, karena sekaligus Anda harus
menampilkan tiga persoalan yang berbeda tapi saling mendukung dalam upaya
pemahaman hadits-hadits Nabi. Pertama Anda harus telaah ulang apa yang dimaksud
dengan gharib al-hadits, dan pa relevansinya terhadap upaya pemahaman hadits.
Kedua anada juga harus menelaah ulang apa yang dimaksud dengan mukhtalif
al-hadits dan bagaimana cara-cara penyelesaiannya. Dan ketiga Anda harus
menelaah ulang tentang Nasakh, beserta koonsekuensinya.
Setelah Anda merasa puas mengerjakan latihan ini, coba baca ulang materi
kegiatan belajar 4 ini secara keseluruhan. Dan fahamilah materinya secar utuh.
Sekedar untuk membantu Anda memahami materi
ini secara utuh, berikut ini akan diberikan rangkuman sederhana.
Komentar
Posting Komentar