Modul 2 Al-Qur'an Hadits: Sambungan

Tes Formatif 4
Bubuhkanlah tanda silang (X) di depan jawaban yang menurut Anda paling benar dan tepat.
1.      Ilmu hadits dirayah membahas kaidah-kaidah untuk mengetahui diterima atau ditolaknya sebuah hadits melalui kajian terhadap...
A.    Keadilan seorang rawi.
B.     Kedhabithan seorang rawi.
C.     Keshahihan matan.
D.    Keadaan para perawi dan matan hadits.
2.      Kajian terhadap keadilan dan kedhabithan seorang rawi disebut...
A.    Ilmu gharib al-Hadits.
B.     Al-Jarh wa al-Ta’dil.
C.     Ilmu Mukhtalif al-Hadits.
D.    Ilmu Ilat al-Hadits.
3.      Kajian terhadap keadilan seorang rawi dilakukan melalui penilaian terhadap...
A.    Keta’atan terhadap norma-norma agama.
B.     Kecerdasannya.
C.     Ketaatannya terhadap norma-norma sosial yang sesuai dengan ajaran agama.
D.    Butur A dan C.
4.      Analisis kedhabitan seorang rawi dilakukan melalui kajian terhadap...
A.    Kekuatan daya hafalnya.
B.     Kecepatan daya tangkap dan kekuatan daya hafalnya.
C.     Pemahamannya.
D.    Kecerdikannya.
5.      Penyelesain hadits-hadits yang mukhtalif dilakukan melalui berbagai pendekatan...
A.    Takhshish dan Taqyid.
B.     Taqyid dan Ta’wil.
C.     Takhshish, Taqyid dan Ta’wil.
D.    Takhshish, Taqyid, Ta’wil dan Nasakh.
6.      Ilmu gharib al-hadits mengkaji persoalan-persoalan...
A.    Kosa kata yang terdapat dalam matan hadits.
B.     Kosa kata yang samar.
C.     Kosa kata yang sukar difahami.
D.    Lafadz hadits yang samar arti dan maksudnya.
7.      Apabila ada dua matan hadits yang bertentangan dan tidak dapat dipertemukan, maka kasus seperti ini sebut...
A.    Nasakh.
B.     Ilmu Mukhtalif al-Hadits.
C.     Ilmu Musykil al-Hadits.
D.    Ilmu talfiq al-Hadits.
8.      Ilmu ilal al-hadits mengkaji...
A.    Cacat perawi hadits.
B.     Cacat keutuhan sanad.
C.     Sempalan ide dalam matan.
D.    Cacat sanad dan cacat matan.

Cocokkanlah jawaban Anda dengan kunci jawaban tes formatif yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jumlah jawaban Anda yang benar, kemudian gunakan rumus di bawah ini untuk mengetahui tingkat penguasaan yang Anda capai.
Rumus:
Jumlah Jawaban Anda yang benar
Tingkat penguasaan =                                                                 x 100
                                                               8
Arti tingkat penguasaan yang Anda capai:
90%       -           100%   = baik sekali
80%       -           89%     = baik
70%       -           79%     = cukup
               <          69%     = kurang
Bila Anda telah mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan kegiatan belajar dua. Great! Tetapi bila tingkat penguasaan Anda kurang dari 80%, Anda harus mempelajari kembali materi tetang Ilmu Hadits Dirayah ini, terutama bagian-bagian yang belum Anda kuasai!


8-Point Star: 5Kegiatan Belajar
SEJARAH PERTUMBUAHAN AL-HADITS
            Pada kegiatan pembelajaran 4 Anda telah di suguhi pembahasan tentang pengertian Ilmu Hadits Dirayah yang titik penekanannya ada pada kajian mengenai kaidah-kaidah untuk mengetahui diterima atau ditolaknya sebuah hadits, lewat tinjauan terhadap keadaan perawi hadits dan matan hadits yang mereka riwayatkan. Ditambah dengan sub judul atau materi yang terkandung pada Ilmu hadits dirayah antara lain, Al-Jarh wa al-Ta’dil (kajian tentang cacat dan adilnya perawi hadits), Ilmu Gharib al-Hadits (hadits-hadits yang asing atau sukar untuk difahami baik lafadz maupun makna), Ilmu Mukhtalaf al-Hadits (ilmu tentang menyelesaikan hadits-hadits yang saling bertentangan), Nasikh dan Mansukh dan terakhir Ilmu ilal al-Hadits.
Setelah mempelajari pembahasan pada kegiatan belajar 4, untuk nambah pengetahuan Anda tentang hadits dan sejarahnya, pada kegiatan belajar lima ini akan dipaparkan mengenai:
1.      Periode periwayatan hadits dengan lisan
2.      Sistem meriwayatkan Hadits
3.      Perintis dan jejarah membukukan Hadits
4.      Periode Penyaringan Al-Hadits dari fatwa-fatwa sahabat
5.      Periode menghafadh dan mengisnadkan Hadits
6.      Periode mengklasifikasikan dan sistematisasi susunan kutub Al-Hadits
A.    Periode Periwayatan Dengan Lisan
1.      Larangan menulis Al-Hadits
Di masa Rasulullah masih hidup, Al-Hadits belum mendapat pelayanan dan perhatian sepenuhnya seperti Al-Qur’an. Para sahabat yang mempunyai tugas istimewa, selalu mencurahkan tenaga dan waktunya untuk mengabadikan ayat-ayat Al-Qur’an di atas alat-alat yang mungkin dapat dipergunakannya. Tetapi tidak demikian halnya terhadap Al-Hadits. Kendatipun para sahabat sangat memerlukan petunuk-petunjuk dan bimbingan Nabi dalam menafsirkan Al-Qur’an, mereka belum membayangkan bahaya yang dapat mengancam generasi mendatang selama Al-Hadits belum diabadikan dalam tulisan. Apalagi pada mulanya Nabi Muhammad saw melarang penulisan Al-Haditsnya. Nabi bersabda:
لَاتَكْتُبُوْا عَنِّى شَيْئًا إِلَّااْلقُرْاَنَ, وَمَنْ كَتَبَ عَنِّى شَيْئًا غَيْرِالْقُرْأَنِ, فَلْيَمْحُهُ وَحَدِّثُوْا عَنِّى وَلَا حَرَجَ, وَمَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأُ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ. رواه مسلم.
Artinya: Janganlah kamu tulis sesuatu yang telah kamu terima dariku selain Al-Qur’an. Barang siapa menuliskan yang ia terima dariku selain Al-Qur’an hendaklah ia hapus. Ceritakan saja yang kamu terima dariku, tidak mengapa. Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia menduduki tempat duduknya di neraka.(HR. Muslim)

Hadits tersebut dia atas, di samping menganjurkan agar meriwayatkan hadits dengan lisan, juga memberi ultimatum kepada seseorang yang membuat riwayat palsu.
            Larangan penulisan hadits tersebut, ialah untuk menghindarkan adanya kemungkinan sebagian sahabat penulis wahyu memasukkan Al-Hadits ke dalam lembaran-lembaran tulisan Al-Qur’an. Karena dianggapnya segala yang dikatakan Rasulullah saw. Adalah wahyu semuanya. Lebih-lebih bagi generasi yang tidak menyaksikan zaman tanzil (turunnya wahyu), tidak mustahil adanya dugaan bahwa seluruh yang tertulis adalah wahyu semuanya, hingga bercampur aduk antara Al-Qur’an dengan Al-Hadits.
2.      Perintah menulis Al-Hadits
Di sampingRasulullah saw. Melarang menulis Al-Hadits, beliau juga memerintahkan beberapa orang sahabat tertentu, untuk menulis Al-Hadits. Misalnya hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. menerangkan bahwa sesaat ketika kota Mekah telah dikuasai kembali oleh Rasulullah saw., beliau berdiri berpidato di hadapan para manusia. Di waktu beliau berpidato, tiba-tiba seorang laki-laki yang berasal dari Yaman yang bernama Abu Syah berdiri dan bertanya kepada Rasulullah saw., ujarnya:
يَارَسُوْلَ اللهِ, اُكْتُبُوالِى, فَقَالَ: اُكْتُبُوالُهُ
“Ya Rasulullah! Tulislah untukku!” Jawab Rasul: “tulislah oleh kamu sekalian untuknya!”
Menurut Abu ‘Abdi Rahman bahwa tidak ada satu pun riwayat tentang perintah menulis hadits yang lebih sah, selain hadits ini. Sebab Rasulullah dengan tegas memerintahkannya. Sejarah telah mencatat adanya beberapa naskah tulisan Al-Hadits yang bersifat pribadi dari beberapa sahabat dan tabi’in. Para sahabat yang mempunyai naskah hadits, antara lain:
1)      ‘Abdullah bin Amr bin Ash r.a.
Abdullah bin Amr bin Ash r.a. (7 sebelum Hijriah -65 H.), adalah seorang sahabat yang selalu menulis apa yang pernah didengarnya dari Nabi Muhammad saw. Tindakan ini pernah ditegur oleh orang-orang Quraisy, ujarnya: “Kautulislah semua apa-apa yang telah kaudengar dari Nabi? Sedang beliau itu sebagai manusia, kadang-kadang berbicara dalam suasana suka dan kadang-kadang berbicara dalam suasana duka?” Atas teguran tersebut, ia segera menanyakan tentang tindakannya kepada Rasulullah saw. Jawab Rasulullah:
أُكْتُبْ! فَوَالّذِىْ نَفْسِى بِيَدِهِ, مَايَخْرُجُ مِنْهُ اِلَّاحَقٌّ. رواه ايودود.
“Tulislah! Demi Dzat yang nyawaku ada di tangan-Nya, tidaklah keluar daripada-Nya, selain hak.” (HR. Abu Daud sanad yang shahih)
Rasulullah saw., mengizinkan kepada Abdullah bin Amr bin Ash r.a. untuk menulis apa-apa yang didengarnya dari beliau, dikarenakan ia adalah salah seorang penulis yang baik.
Naskah Abdullah bin Amr bin Ash r.a dinamai dengan “Ash-Shahifah Ash-Shadiqah”, karena ditulisnya secara langsung dari Rasulullah saw. Yang merupakan sebenar-benarnya atau yang diriwayatkan daripadanya.
       Naskah hadits Ash-Shadiqah berisikan hadits sebanyak 1000 hadits, dan dihafal serta dipelihara oleh keluarganya sepeninggal penulisnya. Cucunya yang bernama ‘Amr bin Syu’aib meriwayatkan hadits-hadits tersebut sebanyak 500 hadits.
       Bila naskah Ash-Shadiqah tidak sampai kepada kita menurut bentuk aslinya, maka dapatlah kita temukan secara kutipan pada kitab Musnad Ahmad, Sunan Abu Dawud, Sunan An-Nasa’iy, Sunan At-Turmudzy dan Sunan Ibnu Majah. Uraian terperinci tentang jumlah hadits ‘Abdullah bin Amr bin Ash yang dikutip oleh kitab Musna dan Sunan-sunan tersebut dapat di periksa dalam kitab As-Sunnah Qabla’t-tadwin, Muh. Al-‘Ajjaj Al-Khathib, hal.349.
2)      Jabir bin ‘Abdullah Al-Anshary r.a. (16 H.-73 H.)
Naskah hadits Jabir bin Abdullah Al-Anshary dinamai “shahifah Jabir”. Qatadah bin Da’amah As-Sudusy memuji naskah Jabir ini dengan katanya: “Sungguh Shahifah ini lebih kuhafal daripada surat Al-Baqarah”. Di antara tabi’in yang mempunyai naskah Al-Hadits ialah: Humam bin Munabbih (40-131 H.). ia adalah seorang tabi’in yang alim yang berguru kepada sahabat Abu Hurairah r.a. dan mengutip hadits Rasulullah saw. daripadanya banyak sekali. Hadits-hadits tersebut kemudian dikumpulkannya dalam satu naskah yang dinamai “Ash-Shahifah ash-Shahihah”. Naskah Ash-Shahifah Ash-Shahihah berisikan hadits sebanyak 138 hadits.
Imam Ahmad di dalam musnadnya menukil hadits-hadits Humam bin Munabbih keseluruhannya. Dan imam Bukhari banyak sekali menukil hadits-hadits tersebut ke dalam kitab shahihnya, terdapat dalam beberapa bab.
          Ketiga buah kitab hadits tersebut di atas adalah di antara sekian banyak tulisan hadits yang ditulis secara pribadi oleh para sahabat dan tabi’in yang muncul pada abad pertama. Nash-nash yang melarang menulis hadits di satu pihak dan yang mengizinkan di pihak lain, bukanlah merupakan nash-nash yang saling bertentangan satu sama lain, akan tetapi nash-nash itu dapat dikompromikan sebagai berikut:
1.      Bahwa larangan menulis hadits itu adalah terjadi di awal-awal Islam untuk memelihara agar hadits itu tidak tercampur baur dengan Al-Qur’an. Tetapi setelah jumlah kaum muslimain semakin banyak dan telah banyak mengenal Al-Qur’an, maka hukum larangan menulisnya telah dinasakhkan dengan perintah yang membolehkan adalah boleh.
2.      Bahwa larangan menulis hadits itu adalah bersifat umum, sedang perizinan menulisnya bersifat khusus bagi orang yang mempunyai keahlian tulis-menulis, hingga terjaga dari kekeliruan dalam menulisnya dan tidak dikhawatirkan akan salah, seperti Abdullah bin Amr bin Ash.
3.      Bahwa larangan menulis hadits ditujukan kepada orang yang lebih kuat hafalannya daripada menulisnya, sedang perizinan menulisnya diberikan kepada orang yang tidak kuat hafalannya, seperti Abu Syah.

3.      Sistem meriwayatkan hadits
1.    Dengan lafadz yang masih asli dari Rasulullah saw.
2.    Dengan maknanya saja, sedang redaksinya disusun sendiri oleh orang yang meriwayatkannya. Hal itu disebabkan karena mereka sudah tidak ingat betul kepada lafadz aslinnya, di samping mereka hanya mementingkan dari segi isinya yang benar-benar dibutuhkan di saat itu. Sistem meriwayatkan hadits makna saja, tidak dilarang oleh Rasulullah saw. Berlainan meriwayatkan Al-Qur’an, susunan bahasa dan maknanya sedikitpun tidak boleh diubah, baik dengan mengganti lafadz muradlif (sinonim)-nya yang tidak mempengaruhi isinya, teristimewa kalau sampai membawa perbedaan makna. Hal itu disebabkan karena lafadz dan susunan kalimat Al-Qur’an itu merupakan mukjizat Allah Ta’ala.
B.     Menulis dan Membukukan Al-Hadits Secara Resmi (abad ke-II)
1.      Perintis dan Sejarah (motif) Membukukan Al-Hadits
Setelah Agama Islam tersiar dengan luas di masyarakat, dipeluk dan dianut oleh penduduk yang bertempat tinggal di luar Jazirah Arabia, dan para sahabat mulai berpencar di beberapa wilayah bahkan tidak sedikt jumlahnya yang telah meninggal dunia, maka terasalah perlunya Al-Hadits diabadikan dalam bentuk tulisan dan kemudian dibukukan dalam dewan hadits. Urgensia ini menggerakkan hati Khalifah ‘Umar bin Abdul Aziz seorang khalifah bani Umaiyah yang menjabat khalifah antara tahun 99-101 H untuk menulis dan membukukan (mendewankan) Al-Hadits.
Motif utama khalifah Umar bin Abdul Aziz berinisatif demikian:
a.       Kemauan beliau sendiri yang kuat untuk tidak membiarkan Al-Hadits seperti waktu yang sudah-sudah. Karena beliau khawatir akan hilang dan lenyapnya Al-Hadits dari perbendaharaan masyarakat, disebabkan belum didewakannya dalam dewan hadits.
b.      Kemauan beliau yang keras untuk membersihkan dan memelihara Al-Hadits dari hadits-hadits maudlu’ yang dibuat oleh orang-orang untuk mempertahankan idiologi golongannya dan mempertahankan mazhabnya, yang mulai tersiar sejak awal berdirinya kekhalifahan Ali bin Abi Thalib r.a.
c.       Alasan tidak terdewannya Al-Hadits secara resmi di zaman Rasulullah saw. dan Khulafaur Rasyidin, karena adanya kekhawatiran bercampur aduknya dengan Al-Qur’an, telah hilang, disebabkan Al-Qur’an telah dikumpulkan dalam satu mush-haf dan telah merata di seluruh pelosok. Ia telah dihafal di otak dan diresapkan di hati sanubari beribu-ribu orang.
d.      Kalau di zaman Khulafaur Rasyidin belum pernah dibayangkan dan terjadi peperangan antara orang Muslim dengan kaum Kufar, demikian juga peperangan saudara orang-orang Muslim, yang kian hari kian menjadi-jadi, yang sekaligus berakibat berkurangnya jumlah ulama hadits, maka pada saat itu konfrontasi tersebut benar-benar terjadi.
Untuk menghilangkan kekhawatiran akan hilangnya Al-Hadits dan memelihara Al-Hadits dari bercampurnya dengan hadits-hadits palsu, beliau menginstruksikan kepada seluruh pejabat dan ulama yang memegang kekuasaan di wilayah kekuasaannya untuk mengumpulkan Hadits. Instruksi itu berbunyi:
اُنْظُرُوْاحَدِيْثُ رَسُوْلِ اللَهِ صَلْعَمْ فَاَجْمَعُوْا.
“Telitilah hadits Rasulullah saw., kemudian kumpulkan!”
(Riwayat Abu Nu’aim)
Beliau menginstruksikan kepada Walikota Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm (w.117 H.), untuk mengumpulkan hadits yang ada padanya dan pada tabi’in wanita, Amrah binti Abdu’r-Rahman. Bunyi instruksi itu ialah:
اُكْتُبْ اِلَى بِمَاثَبَتَ عِنْدَكَ مِنْ حَدِيْثِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم بِحَدِيْثٍ عَمْرَةُ فَاِنِّى خَشِيْتُ دُرُوْسُ الْعِلْمِ وَذَهَابَهُ. رواه الدارمى.
“Tulislah untukku, hadits Rasulullah saw., yang ada padamu dan hadits Amrah (binti Abdu’r-Rahman). Sebab aku takut akan hilang dan punahnya ilmu.” (Riwayat Ad-Darimy)
Atas instruksi itu, Ibnu Hazm mengumpulkan hadits-hadits, baik yang ada pada dirinya sendiri maupun pada Amrah, tabi’in wanita yang banyak meriwayatkan hadits Aisyah r.a.
Juga beliau menginstruksikan kepada Ibnu Syihab Az-Zuhri seorang imam dan ulama besar di Hijaj dan Syam (...-124 H.). beliau mengumpulkan hadits-hadits dan kemudian ditulisnya dalam lembaran-lembaran dan dikirimkan kepada masing-masing penguasa di tiap-tiap wilayah satu lembar. Itulah sebabnya para ahli tarikh dan ulama menganggap bahwa Ibnu Syihab-lah orang yang mula-mula mendewakan hadits secara resmi atas perintah Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Setelah periode Abu Bakar bin Hazm dan Ibnu Syihab berlalu, muncullah periode pendewanan hadits yang kedua yang disponsori oleh khalifah-khalifah bani Abbasiyah, bangunlah ulama-ulama hadits dalam periode ini seperti: Ibnu Juraij (w.150 H.) dan Imam Malik (w.179 H.) sebagai pendewan hadits di Madinah, Ar-Rabi’ bin Shabih (w.160 H.) dan Hammad bin Salamah (w.179 H.) sebagai pendewan hadits di Basrah. Sufyan as-Tsaury (w.116 H.) sebagai pendewan hadits Kufah, Al-Auza’iy (w.156 H.) sebagai pendewan hadits di Syam, dan lain-lainya.
Oleh karena mereka hidup dalam generasi yang sama, yaitu pada abad kedua Hijriah, sukar untuk ditetapkan siapa di antara mereka yang lebih dahulu. Tetapi yang jelas bahwa mereka itu sama berguru kepada Ibnu Hazm dan Az-Zuhry.
2.      Ciri-ciri kitab hadits yang didewankan pada abad kedua
Terdorong oleh kemauan keras untuk mengumpulkan (mendewankan) hadits sebanyak-banyaknya, mereka tidak menghiraukan atau belum sempat menyeleksi apakah yang mereka dewankan itu hadits Nabi semata-mata ataukah termasuk juga di dalamnya fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in. Bahkan lebih jauh dari itu mereka belum mengklasifikasi kandungan nash-nash Al-Hadits menurut kelompok-kelompoknya.
Dengan demikian karya ulama abad kedua ini masih bercampur-aduk antara hadits-hadits Rasulullah dengan fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in. Walhasil, bahwa kitab-kitab hadits karya ulama-ulama tersebut belum ditapis antara hadits-hadits yang marfu’, mauquf dan maqthu’, dan antara hadits yang shahih, hasan dan dla’if.
Diantara kitab-kitab hadits karya pemuka hadits abad kedua, catatan Ibnu hazm merupakan catatan hadits yang hanya spesifik menghimpun hadits Nabi semata-mata. Mengingat bahwa instruksi Umar bin Abdul Aziz kepadanya hanya membenarkan untuk mencatat hadits-hadits Nabi semata. Kata Umar bin Abdul Aziz dalam instruksinya:
لَاتَقْبَلْ إِلَّاحَدِيْثَ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم
“Jangan kauterima selain hadits Nabi saw. saja.”
Di antar pemuka hadits abad kedua yang sudah mempunyai inisiatif untuk mengklasifikasi Al-Hadits kepada masalah-masalah menjurus, ialah Al-Imam Asy-Syafi’i. Beliau berinisiatif mengumpulkan hadits-hadits yang berpautan dengan masalah talak dalam sebuah kita.
3.      Kitab-kitab hadits yang masyhur
Kitab-kitab hadits yang masyhur karya ulama abad kedua antara lain:
a.       Al-Muwaththa’. Kitab itu disusun oleh Imam Malik pada tahun 144 H, atas anjuran Khalifah Al-Mansyur. Jumlah hadits yang terdapat dalam kitab Al-Muwaththa’ lebih kurang 1720 buah. Kehadirannya dalam masyarakat mendapat sambutan hangat dari pendukung-pendukung Sunnah. Sebagaimana ia disyarahkan dan dikomentari oleh ulama-ulama hadits yang datang kemudian, juga diringkaskannya. As-Suyuthi mensyarahkan kitab tersebut dengan nama Tanwiru’l-Hawalik dan Al-Khaththaby mengikhtisharkannya dengan nama Mukhtasharu’l-Khaththaby.
b.      Musnadu’sy-Syafi’i. Di dalam kitab ini Imam Asy-Syafi’i mencantumkan seluruh hadits yang tersebut dalam kitab beliau yang bernama Al-Umm.
c.       Mukhtalifu’l-Hadits. Karya Imam Syafi’i. Beliau menjelaskan dalam kitabnya, cara-cara menerima hadits sebagai hujjah, dan menjelaskan cara-cara untuk mengkompromikan hadits-hadits yang tampaknya kontradiksi satu sama lain.
C.    Periode Penyaringan Al-Hadits dari Fatwa-Fatwa (abad ke-III)
1.      Perintisnya
Di permulaan abad ketiga para ahli hadits berusaha menyisihkan Al-Hadits dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in. Mereka berusaha membukukan hadits Rasulullah semata-mata. Untuk tujuan yang mulia ini mereka mulai menyusun kitab-kitab Musnad yang bersih dari fatwa-fatwa. Bangunlah ulama-ulama ahli hadits seperti: Musa Al-Abbasy, Musaddad Al-Bashry, Asad bin Musa dan Nu’aim bin Hammad Al-Khaza’iy menyusun kitab-kitab Musnad. Kemudian menyusul pula Imam Ahmad bin Hanbal dan lain-lainnya. Kendatipun kitab-kitab hadits permulaan abad ini sudah menyisihkan fatwa-fatwa, namun masih mempunyai kelemahan, yakni tidak atau belum menyisihkan hadits-hadits dla’if, termasuk juga hadits maudlu’ yang diselundupkan oleh golongan-golongan yang dimaksud hendak menodai agama Islam.
Karena adanya beberapa kelemahan kitab-kitab hadits tersebut, bergeraklah ulama-ulama ahli hadits pertengahan abad ketiga untuk menyelamatkannya. Mereka membuat kaidah-kaidah dan syarat-syarat untuk menentukan suatu hadits itu apakah shahih atau dla’if. Para rawi hadits tidak luput menjadi sasaran penelitian mereka, untuk diselidiki kejujurannya, kehafalannya dan lain sebagainya.
2.      Pendewan-pendewan hadits semata-mata dan kitab-kitabnya
Pendewan-pendewan hadits shahih semata-mata pada pertengahan abad ketiga antara lain dapat dikemukakan:
1.      Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari (194-256 H.) dengan kitabnya yang terkenal Shahihu’l-Bukhari atau Al-Jami’u’sh-Shahih, menurut nama yang beliau berikan.
Menurut penelitian Ibnu Hajar (dalam Manhaj Dzawi’n-Nadhar, At-Tarmusy. 21), kitab shahih itu berisi 8.122 hadits yang terdiri dari 6.397 buah hadits asli dan hadits yang terulang-ulang. Di antara jumlah tersebut terdapat 1.341 hadits mu’allaq (dibuang sanadnya sebagian atau seluruhnya), dan 384 hadits mutabi’ (mempunyai sanad yang lain).
Kitab tersebut merupakan kitab hadits yang shahih (otentik) setelah Al-Qur’an. Di antara sekian banyak syarah Shahihu’l-Bukhary yang paling baik nilainya, luas uraiannya dan banyak tersebar dalam masyarakat ialah “Fathu’l-Bary” karya Ibnu Hajar Al-Asqalany (852 H.). Dan di antara mukhtasharnya ialah At-Tajridush-Sharih dan Mukhtashar Abi Jamrah, masing-masing oleh Ibnu’l-Mubarak dan Ibnu Abi Jamrah.
2.      Imam Muslim bin Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairy (204-261 H.) dengan kitabnya bernama “Shihahu’l-Muslim” atau Al-Jami’u’sh-Shahih, menurut nama aslinya. Kitab tersebut berisi hadits sebanyak 7.273 hadits, termasuk hadits yang berulang-ulang. Jika tanpa hadits yang berulang-ulang hanya berjumlah 4000 buah. Syarah Shahih Muslim yang terkenal “Minhaju’l-Muhadditsin”  hasil karya Muhyiddin Abu Zakariya bin Syaraf An-Nawawi. Di antara Mukhtasharnya ialah Mukhtashar Al-Mundziry.
Di samping kitab-kitab Musnad (yang mengandung segala rupa hadits, baik shahih, hasan maupun dla’if), kitab-kitab Shahih (yang berisikan hadits-hadits shahih saja), muncul pula pada abad ketiga ini kitab-kitab Sunan(yang mencakup seluruh hadits, kecuali hadits yang sangat dla’if dan munkar). Seperti Sunan Abu Dawud, Sunan At-Turmudzy, Sunan An-Nasa’iy dan Sunan Ibnu Majah.
D.    Periode Menghafadh dan Mengisnadkan Hadits Mutaqaddimin (abad ke-IV)
Kalau pada abad pertama, kedua dan ketiga, Al-Hadits berturut-turut mengalami periwayatan, penulisan (pendewanan) dan penyaringan dari fatwa-fatwa para sahabat dan tabi’in, dan Al-Hadits yang telah didewankan oleh ulama Mutaqaddimien (ulama abad kesatu sampai tiga) tersebut mengalami sasaran baru, yakni dihafal dan diselidiki sanadnya oleh ulama Muta-akhkhirin (ulama abad keempat dan seterusnya).
Mereka berlomba-lomba untuk menghafal sebanyak-banyaknya hadits-hadits yang telah terdewan itu, hingga tidak mustahil sebagian dari mereka sanggup menghafal beratus-ratus ribu hadits. Sejak periode inilah timbul bermacam-macam gelar keahlian dalam ilmu hadits, seperti gelar keahlian Al-Hakim, Al-Hafidh dan lain sebagainya.
Abad keempat ini merupakan abad pemisah antara ulama Mutaqaddimin, yang dalam penyusunan kitab hadits mereka berusaha sendiri menemui para sahabat atau tabi’in penghafadh hadits dan kemudian menelitinya sendiri, dengan ulama Muta-akhkhirin yang dalam usahanya menyusun kitab-kitab hadits, mereka hanya menukil dari kitab-kitab yang telah disusun oleh ulama Mutaqaddimin.
Kitab-kitab yang masyhur hasil karya ulama abad keempat, antara lain ialah:
1.      Mu’jamu’l-Kabir,
2.      Mu’jamu’l-Ausath ­dan
3.      Mu’jamu’sh-Shaghir, ketiga-tiganya adalah karya Imam Sulaiman bin Ahmad At-Thabarany (w.360 H.).
4.      Sunan Ad-Daruquthny, karya Imam Abdul Hasan Ali bin Umar bin Ahmad Ad-Daruquthny (306-385 H.).
5.      Shahih Abi Auwanah, karya Abu Auwanah Ya’qub bin Is-haq bin Ibrahim Al-Asfarayiny (w.354 H.).
6.      Shahih Ibnu Khudzaimah, karya Ibnu Khudzaimah Muhammad bin Is-haq (w.316 H.)
E.     Periode Mengklasifikasikan dan Mensistematiskan Susunan Kitab-kitab Hadits (abad V dan seterusnya)
Usaha ulama ahli hadits pada abad V dan seterusnya adalah ditujukan untuk meng-klasifikasikan Al-Hadits dengan menghimpun hadits-hadits yang sejenis kandungannya atau sejenis sifat-sifat isinya dalam satu kitab hadits. Di samping itu mereka melakukan pen-Syarah-an (menguraikan dengan luas) dan meng-ikhtishar-kan (meringkas) kitab-kitab hadits yang telah disusun oleh ulama yang mendahuluinya. Oleh karena demikian, lahirlah kitab-kitab hadits hukum; semisal:
1.      Sunanu’l-Kubra, karya Abu Bakar Ahmad bin Husain Ali Al-Baihaqy (384-458 H.).
2.      Muntaqa’-Akhbar, karya Majdudin Al-Harrany (w.652 H.).
3.      Nailu’l-Authar, sebagai syarah kitab Muntaqa’l-Akhbar karya Muhammad bin Ali As-Syaukani (1172-1250 H.).
Kitab-kitab hadits targhib, seperti:
1.      At-Targhib wa’t-Tarhib, karya Imam Zakiyu’ddin Abdul Adhim Al-Mundziry (w.656 H.).
2.      Dalilu’l-Falihin, karya Muhammad Ibnu Allan As-Shiddiqy (w.1057 H.), sebagai syarah kitab Riyadushalihin, karya Imam Muhyiddin Abi Zakariya An-Nawawi (w.676 H.).
Selanjutnya bangkit ulama ahli hadits yang berusaha menciptakan kamus hadits untuk pentakhrij suatu hadits atau untuk mengetahui dari kitab hadits apa suatu hadits didapatkan. Misalnya kitab:
1.      Al-jami’ush-Shaghir fi ahaditsi’l-basyiri’n-nadzir,karya Imam Jalaluddin As-Suyuthi (849-911 H.). kitab yang mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat dalam kitab Enam dan lainnya ini disusun secara alfabetis dari awal hadits dan selesai ditulis pada tahun 907 H.
2.      Dakha-iru’l-Mawarits fi’d-Dalalati ‘ala mawadli’i’l-ahadits, karya Al-Allamah As-Sayyid Abdul Ghani Al-Maqdisy An-Nabulisy. Di dalamnya terkumpul kitab Athraf 7 (Shahih Bukhary-Muslim, Sunan empat dan Muwaththa’).
3.      Al-Mu’jamu’l-Mufahras li’l-afadhi’l-haditsi’n-nabawi, karya Dr.A.J. Winsinc dan Dr.J.F. Mensing, keduanya adalah Dosen bahasa Arab di Universitas Leiden. Kitab kamus hadits yang mengandung hadits-hadits kitab Enam, Musnad Ad-Darimy, Muwaththa’ Malik dan Musnad Ahmad ini selesai dicetak di Leiden pada tahun 1936 M.
4.      Miftah kunuzi’-Sunnah, karya Dr.Winsinc, berisikan hadits-hadits yang terdapat dalam 14 macam kitab hadits. Kitab tersebut disalin dalam Arab oleh Ustadz Muhammad Fuad Abdul Baqy dan dicetak di Mesir tahun 1934 M (cet. Pertama).
Untuk mengkaji penguasaan Anda terhadap materi yang baru dipelajari ini, coba Anda kerjakan latihan di bawah ini:
1.      Jelaskan mengapa pada awalnya hadits, dilarang untuk dituliskan sebagaimana Al-Qur’an!
2.      Bagaimana cara mengkompromikan nash-nash yang melarang penulisan hadits dan yang membolehkannya?
3.      Ada dua macam sistem meriwayatkan hadits, sebutkan dan jelaskan keduanya..!
4.      Apa motif utama khalifah Umar bin Abdul Aziz berinisiatif mendewankan (menuliskan) hadits?
5.      Jelaskan perbedaan perkembangan hadits pada abad pertama, kedua, dan ketiga!
Kalau sudah dapat mengerjakan semua soal dalam latihan ini dengan baik, berarti Anda telah menguasai materi kegiatan belajar 5 secara baik pula. Tapi, kalau Anda masih ragu dengan jawaban-jawaban Anda sendiri, diskusikan kembali dengan teman dan tutor Anda, atau diskusikan dengan teman lain di luar kelompok belajar Anda, yang sekiranya dia dapat membantu menyempurnakan pemahaman Anda.
Sekedar untuk membantu menemukan jawaban darim soal-soal latihan diatas, di bawah ini kami berikan rambu-rambu petunjukknya. Ingat  pertunjuk ini bukan jawaban soal!
1.      Jawaban bagi soal nomor satu dapat Anda temukan dengan membaca subjudul A.
2.      Jawaban nomor dua dapat Anda cari pada subjudul A, dalam kisah Jabir.
3.      Jawaban ini dapat Anda paparkan bila anda membaca ulang kisah Jabir bin Abdullah Al-Anshary.
4.      Nomor empat dapat Anda jawab dengan membaca ulang paparan materi pada subjudul B.
5.      Soal ini adalah soal dimana Anda dituntut untuk memberikan deskripsi menurut Anda sendiri, soal ini bisa dicari jawabannya dengan membaca separuh dari keseluruhan subbab (A,B,C).
Setelah Anda merasa puas mengerjakan latihan ini, coba baca ulang materi kegiatan belajar 5 ini secara keseluruhan. Dan fahamilah materinya secara utuh.
Description: Narrow horizontalSekedar membantu meningkatkan pemahaman ulang (repetisi) Anda dalam materi ini, berikut akan disampaikan secara sederhana rangkuman pembahasan materi ini.
Tes Formatif 5
1.      Karya Muhammad bin Ali Ash-Syaukani, sebagai syarah kitab Muntaqa’ Al-Akhbar, adalah kitab...
A.    Sunan Al-Kubra
B.     Al-Akhbar,
C.     Nailul-Authar,
D.    At-Targhib wa at-Targhib.
2.      Al-Mu’jam Al-Mufahras lil-afadhi al-hadits an-Nabawy, adalah kitab kamus hadits karya...
A.    Dr.A.J.Winsinc dan Dr.J.F.Mensing,
B.     Zakariya an-Nawawy
C.     Jalaluddin as-Syuyuti
D.    Mehammad Idris Asy-Syafi’i.
3.      Abdullah bin Amr adalah sahabat Nabi saw yang diperbolehkan secara langsung untuk menulis hadits oleh Nabi, nasakh yang beliau tulis di namai...
A.    Ash-Shadiqah
B.     Ash-Shadiqah wat ash-Sharifah
C.     Shahifah Jabir
D.    Ash-Shahifah Ash-Shadiqah
4.      Ash-Shahifah ash-Shahihah, adalah kitab hadits karya tabi’in bernama..
A.    Jabir bin Abdullah al-Anshari
B.     Abu Dawud
C.     Humam bin Munabbih
D.    Qatadah bin Da’amah As-Syudusy
5.      Berikut khalifah yang menggemborkan penulisan hadits pada abad ke dua adalah...
A.    Umar bin Abdul Aziz
B.     Umar bin Khattab
C.     Al-makmun
D.    Ibnu Hazm Az-Zuhry
6.      Di antara ulama-ulama hadits pada masa dinasti Abbasiah adalah kecuali..
A.    Ibnu Hazm
B.     Ibnu Juraij
C.     Imam Malik
D.    Ar-rabi’ bin shabih.
7.      Yang termasuk karya Imam Malik pada tahun 144 H adalah..
A.    Tanwiru’l-Hawalik
B.     Mukthasharu’l-Khaththaby
C.     Mukhtalifu’l-Hadits
D.    Al-Muwaththa’
8.      Imam Sulaiman bin Ahmad At-Thabrani (w.360 H.) menulis beberapa kitab hadits di antaranya, kecuali...
A.    Mu’jamu’l-Ausath
B.     Mu’jam Ash-Shagir
C.     Mu’jamu’l Kubra
D.    Mu’jam Al-Kabir.

       Cocokkanlah jawaban Anda dengan kunci jawaban tes formatif yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jumlah jawaban Anda yang benar, kemudian gunakan rumus di bawah ini untuk mengetahui tingkat penguasaan yang Anda capai.
Rumus:
Jumlah Jawaban Anda yang benar
Tingkat penguasaan =                                                                   x 100
                                                                 8
Arti tingkat penguasaan yang Anda capai:
90%          -           100%   = baik sekali
80%          -           89%     = baik
70%          -           79%     = cukup
                 <          69%     = kurang
Bila Anda telah mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan kegiatan belajar dua. Great! Tetapi bila tingkat penguasaan Anda kurang dari 80%, Anda harus mempelajari kembali materi tetang























8-Point Star: 6Kegiatan Belajar


SEJARAH RINGKAS PARA IMAM PENTAKHRIJ HADITS YANG TERNAMA

Pada kegiatan belajar 5, telah dijelaskan sejarah Al-Hadits dari permulaannya sejak Abad pertama atau masa Rasulullah saw hingga perkembangannya, pada abad kedua-kelima dan seterusnya sampai sekarang. Dalam pokok materi kegiatan belajar 5, materi dan sub judul berisi periode-periode yang dialami Hadits sejak dikemukakan Rasul-sampai pentahfidzan (penghafalan), secara runtut dimulai; periode penyebaran hadits secara lisan secara garis besar menjelaskan pelarang penulisan hadits pada mulanya, selanjutnya penulisan hadits oleh sahabat-sahabat yang mendapat izin Rasul saw; periode penulisan, pembukuan resmi hadits setelah di bentuknya pendewanan hadits pada masa ke Khalifahan Umar bin Abdul Aziz dinasti bani Ummayah. Hingga paparan materi mengenai periode penghafadhan dan pen-sisteman hadits di abad kelima sampai saat ini.
Kemudian, pada akhir modul ini yaitu materi ke 6 pada kegiatan belajar enam, akan diberikan sedikit tambahan mengenai sejarah hadits Nabi saw. terutama para ulama terkemuka pentakhrij Al-Hadits. Dan inilah yang akan dipaparkan pada kegiatan belajar terakhir, dengan cakupan pembahasannya meliputi:
1.      Riwayat Imam Malik bin Anas
2.      Riwayat Imam Asy-Syafi’i
3.      Riwayat Imam Ahmad bin Hanbal
4.      Riwayat Imam Bukhari
5.      Riwayat Imam Muslim
6.      Riwayat Imam at-Turmudzi dan lainnya.

A.    Imam Malik bin Anas (93- 179 H./712-798 M.)
       Imam Abu Abdillah Malik bin Anas bin Malik Abu Amir bin Amr bin Al-Harits, adalah seorang Imam Daru’l-Hijrah dan seorang faqih, pemuka mazhab Malikiyah. Silsilah beliau berakhir sampai kepada Ya’kub bin al-Qathan al-Ashbahy.
       Nenek moyang beliau, Abu Amir adalah seorang sahabat yang selalu mengikuti seluruh peperangan yang terjadi pada zaman Nabi, kecuali perang Badar. Sedangkan kakeknya, Malik adalah seorang tabi’in yang besar dan fuqaha kenamaan dan salah seorang dari 4 orang tabi’in yang jenazahnya dihusung sendiri oleh Khalifah Utsman ke tempat pemakamannya.
       Imam Malik bin Anas dilahirkan pada tahun 93 H., di kota Madinah, setelah tak tahan lagi menunggu di dalam rahim ibunya selama tiga tahun.
       Sebagai seorang ulama Muhaddits yang selalu menghormati dan menjunjung tinggi hadits Rasulullah saw., beliau bila hendak memberikan hadits. Berwudlu lebih dahulu, kemudian duduk di atas alas shalat dengan tenang dan tawadlu’. Beliau benci sekali memberikan hadits sambil berdiri, di tengah jalan atau tergesa-gesa.
       Beliau mengambil hadits secara qira’ah dari Nafi’ bin Abi Nua’im ,Az-Zuhry, Nafi’ pelayan Ibnu Umar r.a. dan lain sebagainya. Ulama-ulam yang pernah berguru kepada beliau antara lain: al-Auza’iy, Sufyan ats-Tsaury, Sufyan bin Uyainah, Ibnu al-Mubarak, Asy-Syafi’i dan lain sebagainya.
       Disamping keahliannya dalam bidang ilmu fiqhi, seluruh ulama telah mengakuinya sebagai muhaddits yang tangguh. Seluruh warga negara Hijaz memberikan gelar kehormatan baginya “Sayyidi Fuqahai’l-Hijaz”. Imam Syafi’i memujinya sebagai berikut: “Apabila dibicarakan tentang hadits, maka Imam Malik-lah bintangnya dan apabila dibicarakan soal ke-ulama-an, maka Malik jugalah bintangnya. Imam Bukhari mengatakan bahwa sanad yang dikatakan Ashahhu’l-Asanid, ialah bila sanad itu terdiri Imam Malik, Nafi’ dan Ibnu Umar r.a.
       Beliau terkenal sebagai ulama yang keras dalam mempertahankan pendapatnya, bila dianggap benar. Beliau pernah diadukan oleh orang kepada Khalifah Ja’far bin Sulaiman, paman Ja’far al-Manshur dengan tuduhan tidak menyetujui pembaiatan Khalifah.
       Menurut Ibnu Jauzy, beliau disiksa dengan cambukan 70 kali, sampai ruas lengannya sebelah atas bergeser dari persendian pundaknya. Siksaan ini dilakukan, disebabkan fatwanya tidak sesuai dengan kehendak Khalifah. Akibat dari penyiksaan ini, namanya bukan menjadi pudar, tetapi bahkan menjadi harum dan martabatnya menjadi tinggi dikalangan para ahli ilmu.
Karya-karya Imam Malik
       Karya beliau yang sangat gemilang, dalam bidang ilmu hadits, ialah kitab “Al-Muwatha’” tersebut ditulis pada tahun 144 H. atas anjuran Khalifah Ja’far al-Manshur, sewaktu bertemu di saat-saat menunaikan ibadah haji.
       Menurut penelitian dan perhitungan yang dilakukan oleh Abu Bakar al-Abhary, jumlah atsar Rasulullah saw., sahabat dan tabi’in, yang tercantum dalam kitab Muwatha’ sejumlah 1720 buah, dengan perincian:
       Yang musnad sebanyak 600 buah, yang mursal sebanyak 222 buah, yang mauquf sebanyak 613 buah dan yang maqthu’ sebanyak 285 buah (Jalaluddin as-Suyuthi, dalam Tanwirul Hawalik).
       Para ulama kemudian yang mensyarahkan kitab Muwatha’, antara lain: Abdil Barr, dengan nama “at-Tamhid wa al-Istidkar”; Abul-Walid, dengan nama “Al-Mau’ib”; Az-Zarqaniy dan Ad-Dahlawi dengan nama “Al-Musawwa”.
       Di samping itu banyak juga ulama yang menyusun biografi rawi-rawi Imam malik dan mensyarahkan lafadz-lafadz gharib yang terdapat dalam kitab al-Muwaththa’.
       Beliau wafat pada hari Ahad, tanggal 14 Rabi’ul awwal 169 (sebagian pendapat 179 H.), di kota kelahirannya Madinah dengan meninggalkan 3 orang putera: Yahya, Muhammad dan Hammad.

B.     Imam Asy-Syafi’i (150-204 H./767-820 M.)
       Nama beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris, yang bersanad al-Abbas bin Utsman bin Syafi’i bin as-Saib al-Hasyimy al-Muththaliby al-Quraisy. Kakeknya, Syafi’i pernah bertemu dengan Nabi Muhammad saw., dikala masih muda belia. Nenek moyangnya, Saib, dahulu adalah pembawa panji-panji bani Hasyim di waktu perang Badar. Setelah beliau tertawan oleh orang Islam dan menebus diri, kemudian masuk agama Islam.
       Imam Syafi’i dilahirkan pada tahun 150 H. di Gazzah, suatu kota tepi pantai Palestina Selatan. Ayahnya pergi ke kota tersebut karena ada suatu keperluan. Di kota tersebut ayahnya meninggal dunia beberapa saat setelah kelahiran puteranya, Abu Abdillah Muhammad. Setelah Abu Abdillah berumur dua tahun, ibunya membawanya ke tanah kelahiran orang tuanya, Mekah, dan akhirnya menetap di kota tersebut dalam keadaan yatim, sampai menjadi dewasa.
       Sebagai seorang yang mempunyai perkembangan otak yang lebih cepat daripada pertumbuhan jasmaninya, beliau sudah hafadh Al-Qur’an sejak berumur 7 tahun. Dalam perantauan ilmiahnya, beliau pergi ke Madinah menemui Imam Malik untuk meminta izin agar diperkenankan meriwayatkan hadits-haditsnya. Sebelum Imam Malik mengizinkannya, beliau dites terlebih dahulu untuk membacakan kitab Muwaththa’ di hadapannya.
       Kemudian dibacanya kitab Muwaththa’ di luar kepala. Sang guru merasa heran atas kepandaian muridnya dan sekaligus berkata: “Jika ada orang yang bebahagia, maka inilah pemudanya.”
       Pada tahun 195 H. beliau pergi ke Baghdad, untuk mengambil ilmu dan pendapat-pendapat dari murid Imam Abu Hanifah, bermunadharah dan berdebat dengan mereka. Waktu yang diperlukan berada di Baghdad hanya 2 tahun, kemudian kebali ke Mekah. Tahun 198 H. Beliau pergi lagi ke Baghdad, hanya sebulan lamanya, dan akhirnya pada tahun 199 H. beliau pergi ke Mesir dan memilih kota terakhir ini sebagai tempat tinggalnya untuk mengajarkan as-Sunnah dan al-Kitab kepada khalayak ramai. Jika kumpulan fatwa beliau ketika di Baghdad dulu disebut dengan Qaul al-Qadim, maka kumpulan fatwa beliau selama di Mesir ini diberi nama Qaul al-Jadid.
       Guru-guru beliau dalam hadits, antara lain ialah: Malik bin Anas, Muslim bin Khalid, Ibnu Uyainah, Ibrahin bin Sa’d dan lain-lainnya. Adapun di antara ulama-ulama besar yang pernah berguru kepada beliau, antara lain: Ibnu Hanbal, al-Humaidi, Abu at-Thahir bin al-Buwaithi, Muhammad bin Abdul-Hakam dan lain sebagainya.
       Di samping beliau ahli dalam bidang memahamkan al-Kitab, Ilmu balaghah, Ilmu Fiqhi, ilmu berdebat, juga terkenal sebagai muhaddits. Orang-orang Mekah memberi beliau gelar “Nashiru’l-Hadits” (penolong memahami hadits). Imam Sufyan bin Uyainah bila didatangi seseorang yang meminta fatwa, beliau terus memerintahkannya agar minta fatwa kepada Imam Syafi’i, ujarnya: “Salu hadza’l-ghulama” (bertanyalah kepada pemuda itu).
       Abdullah, putera Ahmad bin Hanbal, pernah bertanya kepada ayahnya, apa sebabnya Ayah selalu menyebut-nyebut dan mendoakan kepada Imam Syafi’i. Atas pertanyaan anaknya ini Imam Ahmad bin Hanbal menjelaskan, bahwa Imam Syafi’i itu adalah bagaikan matahari untuk dunia dan bagaikan kesehatan untuk tubuh dan untuk hal itu tidak ada orang yang sanggup menggantikannya dan tidak ada gantinya (Prof. Hasbi ash-Shidiqi, dalam Ulumul Hadits).
       Kebanyakan ahli ilmu, juga Imam Ahmad, dalam menginterpreter hadits Abu Dawud yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a.: “Sungguh Allah bakal mengutus kepada umat ini, tiap-tiap awal 100 tahun, orang yang bakal memperbarui sitem abad pelaksanaan keagamaan”, menerangkan bahwa mujaddid pada abad pertama ialah Abdul Aziz dan mujaddid pada abad kedua adalah Imam asy-Syafi’i.
       Secara jujur Imam Ahmad mengakui, andai kata tidak ada Imam Syafi’i sungguh aku tidak mengenal cara memahami hadits.
Karya-karya Imam Syafi’i
       Karya-karya Imam Asy-Syafi’i banyak sekali. Di antara karya-karya beliau itu ada yang ditulis sendiri dan dibacakan kepada orang-orang banyak, dan ada pula yang hanya didiktekannya, kepada murid-muridnya yang membukukannya.
Dalam bidang ilmu hadits, beliau menulis kitab-kitab:
1.      Al-Musnad.
2.      Mukhtalifu al-Hadits,
3.      As-Sunan.
Dalam bidang ilmu fiqh dan ushul, beliau menuliskan kitab-kitab:
1.      Al-Umm,
2.      Ar-Risalah.
Beliau wafat pada malam Jum’at, dan dikebumikan setelah shalat asar hari Jum’at, pada akhir bulan Rajab, tahun 204 H. Yang bertepatan dengan tanggal 29 Rajab, 204 H./19 Januari 820 M.
C.    Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H./780-855 M.)
       Imam Abu Abdillah bin Muhammad bin Hanbal Al-Marwazi adalah ulama hadits yang terkenal kelahiran Baghdad. Di samping sebagai seorang muhadditsin, terkenal juga sebagai salah seorang pendiri salah satu mazhab empat yang dikenal orang-orang kemudian, dengan nama mazhab Hanabilah (Hanbali). Beliau dilahirkan pada bulan Rabi’ul awwal, tahun 164 H. (780 M.) di kota Baghdad.
       Dari kota Baghdad inilah beliau memulai mencurahkan perhatiannya belajar dan mencari hadits sekhidmat-khidmatnya, sejak beliau baru berumur 16 tahun. Namun kiranya belumlah cukup ilmu-ilmu yang didapatnya dari ulama-ulama Baghdad ini, hingga beliau harus berkirim surat kepada ulama-ulama hadits di beberapa negeri, untuk kepentingan yang sama yang kemudian diikuti dengan perantauannya ke kota-kota Mekah, Madinah, Syam, Yaman, Basrah dan lain-lainnya.
       Dari perantauan ilmiah inilah, beliau mendapatkan guru-guru hadits yang kenamaan, antara lain: Sufyan bin Uyainah, Ibarahim bin Sa’d, Yahya bin Qaththan. Adapun ulama-ulama besar yang pernah mengambil ilmu dari-padanya antara lain: Imam-Imam Bukhary, Muslim, Ibnu Abid-Dunya dan Ahmad bin Abi al-Hawarimi.
       Beliau sendiri adalah salah seorang murid Imam Asy-Syafi’i yang paling setia. Tidak pernah berpisah dengan gurunya ke mana pun sang guru bepergian.
       Menurut Abu Zur’ah, beliau mempunyai tulisan sebanyak 12 macam yang semuanya sudah dikuasai di luar kepala. Juga beliau mempunyai hafalan matan hadits sebanyak 1.000.000 buah. Imam Asy-Syafi’i di saat meninggalkan kota Baghdad menuju Mesir, memberikan pujian kepada beliau dengan kata-kata yang realis, ujarnya: “Kutinggalkan kota Baghdad dengan tidak meninggalkan apa-apa selain orang yang lebih takwa, dan lebih alim dalam ilmu fiqh yang tiada taranya, ya itu Ibnu Hanbal”. Sebagaimana halnya setiap seseorang itu tidak lepas daripada bencana, beliau pun demikian halnya. Beliau dituduh bahwa beliaulah yang menjadi sumber pendapat, bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, sehingga mengakibatkan penyiksaan dan harus meringkuk di penjatra atas tindakan pemerintah di waktu itu.
Karya-karya Imam Ahmad bin Hanbal
       Di antara karya beliau yang sangat gemilang, ialah Musnad al-Kabir. Kitab musnad ini merupakan satu-satunya kitab musnad terbaik dan terbesar di antara kitab-kitab musnad yang ada.
       Kitab ini berisikan 40.000 buah hadits, yang sepuluh ribu dari jumlah tersebut merupakan hadits ulangan. Sesuai dengan masanya. Maka kitab hadits tersebut belum diatur bab per bab. Sehingga ulama ahli hadits yang terkenal di Mesir, Ahmad Muhammad Syakir, berusaha menyusun daftar isi kitab musnad tersebut dengan nama Fihris Musnad Ahmad.
       Beliau pulang ke rahmatullah pada hari Jumat, bulan Rabi’ul Awwal, tahun 241 H. (855 M.) di Baghdad dan dikebumikan di Marwaz. Sebagian ulama menerangkan bahwa di saat meninggalnya, jenazahnya diantar oleh 800.000 orang laki-laki dan 60.000 orang perempuan dan suatu kejadian yang menakjubkan di saat itu, pula 20.000 orang dari kaum Nasrani, Yahudi dan Majusi masuk agama Islam. Makamnya paling banyak dikunjungi orang.
       Beliau meninggalkan dua orang putra yang ahli ilmu, yakni Shalih, yang menjabat qadli di Isfahan dan wafat pada tahun 266 H., dan yang menjabat seorang lagi bernama Abdullah yang konon ia ikut menambahkan beberapa hadits pada kitab musnad tersebut hingga dalam kitab musnad itu banyak didapati hadits-hadits yang dla’if dan bahkan ada yang maudlu’. Abdullah wafat pada hari Ahad, tanggal 22 Jumadil Awwal tahun 270 H.


D.    Imam Bukhari (194- 252 H./810 – 870 M.)
       Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah, adalah ulama hadits yang sangat masyhur, kelahitran Bukhara, suatu kota di Uzbekistan, wilayah Uni Sovyet, yang merupakan simpang jalan antara Rusia, Persi, Hindia dan Tiongkok. Beliau lebih terkenal dengan nama Bukhari (putera daerah Bukhara). Beliau dilahirkan setelah selesai shalat Jumat, pada tanggal 13 bulan Syawal, tahun 194 H. (810 M.). seorang Muhadditsin yang jarang tandingannya ini, sangat wara’, sedikit makan, banyak membaca Al-Qur’an, baik siang maupun malam, serta gemar membuat kebajikan kepada murid-muridnya. Nenek moyang beliau yang bernama Al-Mughirah bin Bardizbah, konon adalah seorang Majusi yang kemudian menyatakan keislamannya di hadapan Walikota yang bernama Al-Yaman bin Ahnas Al-Ju’fy, yang karena inilah kemudian beliau dinasabkan dengan Al-Ju’fi atas dasar wala-ul-Islam.
       Sejak berumur kurang lebih 10 tahun, sudah mempunyai perhatian dalam ilmu-ilmu hadits, bahkan sudah mempunyai hafalan hadits yang tidak sedikit jumlahnya. Beliau merantau ke negeri Syam, Mesir. Jazirah sampai dua kali, ke Basrah empat kali, ke Hijaz bermukim 6 tahun dan pergi ke Baghdad bersama-sama para ahli hadits yang lain, sampai berkali-kali. Pada suatu ketika, beliau pergi ke Baghdad, para ulama di Baghdad bersepakat menguji ulama muda yang mulai menanjak namanya. Ulama hadits tersebut terdiri dari 10 orang yang masing-masing akan mengutarakan 10 hadits kepada beliau, yang sudah ditukar-tukar sanad dan matannya. Imam Bukhari diundangnya pada suatu pertemuan umum yang dihadiri juga oleh Muhadditsin dari dalam dan luar kota. Bahkan diundang juga ulama hadits dari Khurasan.
       Satu demi satu dari 10 ulama hadits tersebut menanyakan 10 hadits yang telah mereka persiapkan. Jawaban beliau terhadap setiap hadits yang dikemukakan oleh penanya pertama ialah saya tidak mengetahuinya.
       Demikianlah selesai penanya pertama, majulah penanya kedua dengan satu-persatu dikemukakan hadits yang sudah disiapkan dan seterusnya sampai selesai penanya yang kesepuluh dengan hadits-haditsnya sekali, jawabannya pun saya tidak mengetahuinya. Tetapi setelah beliau mengetahui gelagat mereka yang bermaksud mengujinya, lalu beliau menerangkan dengan membenarkan dan mengembalikan sanad-sanadnya pada matan yang sebenarnya satu persatu sampai semuanya. Para ulama yang hadir tercengang dan terpaksa harus mengakui kepandaiannya, ketelitiannya dan kehafalannya dalam ilmu hadits.
       Beliau telah memperoleh hadits dari beberapa hafidh, antara lain Maky bin Ibrahim, Abdullah bin Usman Al-Marwazi, Abdullah bin Musa Al-Abbasy, Abu Ashim As-Syaibani dan Muhammad bin Abdullah Al-Anshary. Ulama-ulama besar yang telah pernah mengambil hadits dari beliau antara lain: Imam Muslim, Abu Zur’ah, At-Turmudzy, Ibnu Khuzaimah dan An-Nasa’iy.
Karya-karya Imam Bukhari
       Karya-karya beliau banyak sekali, antar lain:
1.      Jami’us-Shahih. Yakni kumpulan hadits-hadits shahih yang beliau persiapkan selama 16 tahun lamanya. Beliau sangat berhati-hati menuliskan tiap hadits pada kitab ini, ternyata setiap hendak mencantumkan dalam kitabnya, beliau lebih dulu mandi dan bershalat istikharah, mita petunjuk baik kepada Allah, tentang hadits yang akan ditulisnya. Ini bukanlah satu-satunya cara untuk menentukan keshahihan hadits secara ilmiah, namun lebih dari itu, seluruh ulama Islam di seluruh penjuru dunia, setelah mengadakan sanad-sanadnya mengakui, bahwa seluruh sanadnya adalah tsiqah, walaupun ada beberapa buah saja yang didakwa lemah sanadnya, namun tidak terlalu lemah sama sekali.
Kitab tersebut berisikan hadits-hadits shahih semuanya, berdasarkan pengakuan beliau sendiri, ujarnya: “Saya tidak memasukkan dalam kitabku ini kecuali shahih semuanya”. Jumlah hadits yang dituliskan dalam kitab jami’nya, sebanyak 6.397 buah, dengan terulang-ulang, belum dihitung yang mu’allaq dan mutabi’. Yang mu’allaq sejumlah 1.341 buah, dan yang mutabi’ sebanyak 384 buah (ini khilaf), jadi seluruhnya berjumlah 8.122 buah, di luar yang maqthu’ dan mauquf. Sedang jumlah yang tulen saja, yakni tanpa yang berulang, tanpa mu’allaq dan mutabi’ 2.513 buah (dalam Manhaj-Dzawin-Nadhar, At-Tarmusy, 21)
Kitab ini merupakan seshahih-shahih kitab hadits setelah Al-Qur’an.
2.      Qadlayas-shahabah wat-tabi’in.
3.      At-Tarikhu’l-Kabir.
4.      At-Tarikhu’l-Ausath.
5.      Al-‘Adabu’l-Munfarid.
6.      Birru’l-Walidain.
       Beliau wafat pada malam Sabtu selesai shalat Isya’, tepat pada malam Idul Fitri tahun 252 H. (870 M.), dan dikebumikan sehabis shalat dhuhur di Khirtank, suatu kampung tidak jauh dari kota Samarkand.
E.     Imam Muslim (204- 261 H./820- 875 M.)
       Nama lengkapnya ialah Adul-Husain Muslim bin Al-Hajaj Al-Qusyairy. Beliau dinisbatkan kepada Nisabur, pada tahun 204 H. (820 M.), yakni kota kecil di Iran bagian Timur Laut. Beliau juga dinisbatkan kepada nenek moyangnya Qusyair bin Ka’ab bin Rabi’ah bin Sha-sha’ah suatu keluarga bangsawan besar.
       Imam Muslim rahimatulullah, salah seorang muhadditsin, hafidh lagi terpercaya, terkenal sebagai ulama yang yang gemar bepergian mencari hadits. Beliau kunjungi kota Khurasan untuk berguru hadits kepada Yahya bin Yahya dan Is-haq bin - - - - Rahawaih; didatanginya kota Rey untuk belajar hadits pada Muhammad bin Mahran, Abu Hassan dan lain-lainnya; di Irak ditemuinya Ibnu Hanbal, Abdullah bin Maslamah dan selainnya; di Hijaj ditemuinya Yazid bin Mansur dan Abu Mas’ad, dan di Mesir beliau berguru kepada Amir bin Sawad, Harmalah bin Yahya dan kepada ulama hadits yang lain.
Selain yang telah disebutkan di atas, masih banyak ulama hadits yang menjadi gurunya, seperti Qatadah bin Sa’id, Al-Qanaby, Isma’il bin Abi Uwais, Muhammad bin Al-Mutsana, Muhammad bin Rumhi dan lain-lainnya.
       Ulama-ulama besar, ulama-ulama yang sederajat dengan beliau dan para hafidh, banyak yang bergurau hadits pada beliau, seperti Abu Hatim, Musa bin Haran, Abu Isa At-Turmudzy, Yahya bin Sa’id, Ibnu Khuzaimah, dan Awwannah, Ahmad ibnu’l-Mubarak dan lain sebagainya.
Karya-karya Imam Muslim
       Dalam bidang perhaditsan, beliau banyak menyumbangkan karya-karyanya kepada ummat Islam, antara lain:
1.      Jami’ush-Shahih. Para ulama menyebut kitab shahih ini sebagai kitab yang belum pernah didapati sebelum dan sesudahnya dalam segi tertib susunannya, sistematis isinya, tidaknya. Secara global kitab ini tidak ada bandingannya di dalam ketelitian menggunakan isnad.
telah diakui oleh jumhurul ulama, bahwa Shahih Bukhari adalah seshahih-shahih kitab hadits dan sebesar-besar pemberi faedah, sedang Shahih Muslim adalah secermat-cermat isnadnya dan sekurang-kurang perulangannya, sebab sebuah hadits yang telah beliau letakkan pada satu maudlu’, tidak lagi ditaruh di maudlu’/bab yang lain.
Al-Hafidh Abu Ali An-Nisabury berkata: “Di bawah kolong langit tidak terdapat seshahih kitab hadits selain kitab Shahih Muslim ini.
Kitab shahih ini berisikan sebanyak 7.273 buah hadits, termasuk dengan yang terulang. Kalau dikurangi dengan hadits-hadits yang terulang, tinggal 4.000 buah.
2.      Musnadu’l-Kabir. Kitab yang menerangkan tentang nama-nama rijalu’l-Hadits.
3.      Al-Jami’ul-Kabir.
4.      Kitabu’l-‘ilal wa kitabu auhamil-muhadditsin.
5.      Kitabu’t-Tamyiz.
6.      Kitabu man laisa lahu illa rawin wahidun.
7.      Kitabu’t-thabaqatu’t-tabi’in, dan
8.      Kitabu’l-Muhadlramin.
Beliau wafat pada hari Minggu, bulan Rajab, tahun 261 H. (875 M.), dan dikebumikan pada hari Senin di Nisabur.
F.     Imam Abu Dawud (202- 275 H./817- 889 M.)
       Ialah Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy’ats bin Is-haq As-Sijistan (terletak antara Iran dengan Afganistan). Beliau dilahirkan di kota tersebut, pada tahun 202 H. (817 M.).
       Beliau juga senang merantau mengelilingi negeri-negeri tetangga untuk mencari hadits dan ilmu-ilmu yang lain. Kemudian dikumpulkan, disusun dan ditulisnya hadits-hadits yang telah diterima dari ulama-ulama Irak, Khurasan, Syam dan Mesir.
       Ulama-ulama yang telah diambil haditsnya, antara lain Sulaiman bin Harb, Utsman bin Abi Syaibah, Al-Qa’naby dan Abu Walid At-Thayalisy. Dan ulama yang berguru padanya, antara lain puteranya sendiri Abdullah, An-Nasa’iy, At-Turmudzy, Abu ‘Awwanah, Ali bin Abdu’sh-Shamad dan Ahmad bin Muhammad bin Harun.
Karya-karyanya
       Di antara karyanya yang terbesar dan sangat berfaedah bagi para mujtahid ialah kitab Sunan yang kemudian terkenal dengan nama Sunan Abi Dawud.
Beliau mengaku telah mendengar hadits dari Rasulullah saw. sebanyak 500.000 buah. Dari jumlah itu beliau seleksi dan ditulis dalam kitab Sunannya sebanyak 4.800 buah. Beliau berkata: “Saya tidak meletakkan sebuah hadits yang telah disepakati oleh orang banyak untuk ditinggalkannya. Saya jelaskan dalam kitab tersebut nilainya dengan shahihsemi shahih (yusybihuhu), mendekati shahih (yuqaribuhu), dan jika dalam kitab saya tersebut terdapat hadits yang wahnun syadidun (sangat lemah) saya jelaskan.
       Adapun yang tidak kami beri penjelasan sedikit pun, maka hadits tersebut bernilai shahih dan sebagian dari hadits yang shahih ini ada yang lebih shahih daripada yang shahih ini ada yang lebih shahih daripada yang lain.
       Menurut pendapat Ibnu Hajar, bahwa istilah Shahih Abu Dawud ini lebih umum daripada jika dikatakan bisa dipakai hujjah (al-ijtihah) dan bisa dipakai i’tibar (I’tibar).
       Oleh karenanya, setiap hadits dla’if yang bisa naik menjadi hasan atau setiap hadits hasan yang bisa naik menjadi shahih bisa masuk dalam pengertian yang pertama (lil-ihtijaj), yang tidak seperti kedua itu, bisa tercakup dalam pengertian kedua (lil-i’tibar) dan yang kurang dari ketentuan itu semua termasuk yang dinilai dengan wahnun syadidun.
       Beliau wafat pada tahun 275 H. (889 M.) di Basrah.

G.    Imam At-Turmudzy (200- 279 H./824- 892 M.)
       Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah adalah seorang muhaddits yang dilahirkan di kota Turmudz, sebuah kota kecil di pinggir Utara Sungai Amuderiya, sebelah Utara Iran. Beliau dilahirkan di kota tersebut pada bulan Dzulhijah tahun 200 H. (824 M.). Imam Bukhary dan Imam Turmudzy, keduanya sedaerah, sebab Bukhara dan Turmudz itu adalah satu daerah dari daerah Waraun-nahar.
       Beliau mengambil hadits dari ulama hadits yang kenamaan seperti: Qutaibah bin Sa’id, Is-haq bin Musa, al-Bukhary dan lain-lainnya. Orang-orang yang belajar hadits pada beliau dan diantara sekian banyak muridnya dapat dikemukakan anatara lain Muhammad bin Ahmad bin Mahbub.
Karya-karyanya
       Beliau menyusun satu kitab sunan dan kitab ‘Ilalu’l-hadits. Kitab sunan ini bagus sekali, banyak faedahnya dan hukum-hukumnya lebih tertib. Setelah selesai kitab ini ditulis, menurut pengakuan beliau sendiri, dikemukakan kepada ulama-ulama Hijaz, Irak dan Khurasan, dan ulama tersebut meridlainya, serta menerimanya dengan baik. “Barang siapa yang menyimpan kitab saya ini di rumahnya”, kata beliau, “seolah-olah di rumahnya ada seorang nabi yang selalu bicara”. Pada akhir kitabnya beliau menerangkan, bahwa semua hadits yang terdapat dalam kitab ini adalah ma’mul (dalam diamalkan).
       Beliau wafat di Turmudz pada akhir Rajab tahun 279 H. (892 M.).

H.    Imam An-Nasa’iy (215- 303 H./839- 915 M.)
       Imam Nasa’iy nama lengkapnya ialah Abu Abdi ar-Rahman Ahmad bin Syu’aib bin Bahr. Nama beliau dinisbatkan kepada kota tempat beliau dilahirkan. Beliau dilahirkan pada tahun 215 H. Di kota Nasa yang masih termasuk wilayah Khurasan.
       Seorang Muhaddits putra Nasa yang pintar, wara’, hafidh lagi takwa ini, memilih Mesir sebagai tempat sebagai tempat untuk bermukim dalam menyiarkan hadits-hadits kepada masyarakat. Menurut sebagaian pendapat dari Muhadits, beliau lebih hafidh daripada Imam Muslim.
       Guru-guru beliau anatara lain Qutaibah bin Sa’id, Is-haq bin Ibrahim dan imam-imam hadits dari Khurasan, Hijaz, Irak dan Mesir. Murid-murid beliau antara lain: Abu Nasher ad-Dalaby dan Abdul-Qasim At-Thabary.
Karya-karyanya
       Karya beliau yang utama ialah Sunnanu’l-Kubra; yang akhirnya terkenal dengan nama Sunan An-Nasa’i. Kitab sunan ini adalah Sunan yang muncul setelah shahihain yang paling sedikit hadits dla’ifnya, tetapi paling banyak perulangannya. Misalnya hadits tentang niat, diulangnya sampai 16 kali.
       Setelah Imam An-Nasa’i selesai menyusun Sunan Kubranya, beliau lalu  menyerahkannya kepada Amir Ar-Ramlah. Kata Amir: “Hai, Abu Abdur-Rahman, apakah hadits-hadits yang Saudara tuliskan itu shahih semuanya?” “Ada yang shahih dan ada yang tidak”, sahutnya. “Kalau demikian”, kata Amir, “pisahkanlah yang shahih-shahih saja.” Atas perintah Amir ini maka beliau berusaha menyeleksinya, kemudian dihimpunnya hadits-hadits pilihan ini dengan nama: Al-Mujtaba (pilihan).
       Beliau wafat pada hari Senin, tanggal 13 bulan Shafar, tahun 303 H. (915 M.), di Ar-Ramlah. Menurut suatu pendapat, meninggal di Mekah, yakni di saat beliau mendapat percobaan di Damsyik, meminta supaya dibawa ke Mekah, sampai beliau meninggal dan kemudian dikebumikan di suatu tempat antara Shafa dan Marwa.
I.       Imam Ibnu Majah (207- 273 H./887 M.)
       Ibnu Majah, adalah nama nenek moyang yang berasal dari kota Qazwin, salah satu kota di Iran. Nama lengkap imam hadits yang terkenal dengan sebutan neneknya ini, ialah: Abu Abdillah bin Yazid Ibnu Majah. Beliau dilahirkan di Qazwin pada tahun 207 H. (824 M.).
       Sebagaimana halnya para Muhadditsin dalam mencari hadits-hadits memerlukan perantauan ilmiah, maka beliau pun berkeliling di beberapa negeri, untuk menemui dan bergurau hadits kepada para ulama hadits.
       Dari tempat perantauannya itu. Beliau bertemu dengan murid-murid Imam Malik dan Al-Laits, dan dari beliau-beliau inilah beliau banyak memperoleh hadits-hadits. Hadits-hadits beliau banyak diriwayatkan oleh orang-orang banyak.
Karya-karyanya                                            
       Beliau menyusun kitab Sunan yang kemudian terkenal dengan nama Sunan Ibnu Majah. Sunan ini merupakan salah satu sunan yang empat. Dalam Sunan ini banyak terdapat hadits dla’if, bahkan tidak sedikit hadits yang mungkar.
       Al-Hafidh Al-Muzy berpendapat, bahwa hadits-hadits gharib yang terdapat dalam Sunan ini, kebanyakan adalah dla’if. Karena itulah para ulama mutaqaddimin memandang, bahwa kitab Muwaththa’ Imam Malik menduduki pokok kelima, bukan sunan Ibnu Majah ini.
       Beliau wafat hari Selesai, bulan Ramadhan, tahun 273 H. (887 M.).
       Untuk menguji penguasaan Anda terhadap materi yang baru dipelajari ini, coba kerjakan latihan di bawah in:
1.      Sebutkan gelar yang pernah di berikan warga Hijaz kepada Imam Malik bin Anas.
2.      Al-Muwaththa’ yang ditulis pada tahun 144 H., atas anjuran khalifah Ja’far al-Mansur, kitab tersebut adalah karya? Apa isi kitab tersebut..?
3.      Jelaskanlah apa hubungan antara Imam Asy-Syafi’i  dan Imam Malik, serta Imam Asy-Syafi’i dengan Imam Ahmad bin Hanbal!
4.      Ahmad bin Hanbal merupakan ulama hadits kenamaan di Baghdad, namun beliau pernah di hukum, apa sebab beliau dihukum?
5.      Jelaskan, siapa Al-Mughirah bin Bardizbah? Apa karya cucu beliau dalam ilmu hadits, hingga kitabnya di sebut-sebut seshahih sahihnya kitab hadits.
Petunjuk Jawaban Latihan
       Jawaban dari latihan di atas terdapat uraian materi sebelumnya. Dan kalau Anda mengalami kesulitan dalam menyelesaikan latihan-latihan ini, coba diskusikan dengan teman-teman kelompok belajar Anda.
       Sekedar untuk menemukan jawaban di atas, berikut ini kami berikan rambu-rambunya:
1.      Jawaban nomor satu dapat Anda jawab dengan membaca kembali sejarah tingkas Imam Malik (A)
2.      Pertanyaan nomor dua, masih di tempat yang sama dengan pemabahasan no satu.
3.      Jawaban nomor tiga untuk menguji daya repetisi dan observatif Anda terhadap seluruh rangkaian subjudul, dapat anda temukan jawaban tersebut dengan membaca ketiga sejarah tokoh tersebut.
4.      Nomor empat Anda hanya butuh membaca kembali sejarah ringkas Imam Ahmad bin Hanbal.
5.      Anda dituntut untuk memaparkan kembali siapa Bardizbah dan apa kaitan tersebut dengan karya imam hadits yang di maksud cucunya, Anda hanya perlu membaca kembali materi yang telah dipaparkan di atas tadi.
Description: Narrow horizontalTes Formatif 6
Bubuhkanlah tanda (X) pada jawaban yang benar dan tepat!
1.      Nama lengkap Ibnu Majah yang benar adalah...
A.    Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali
B.     Abu Abdillah bin Yazid Ibnu Majah
C.     Abu Abdul Karim bin Yazid Majah
D.    Abu Abdillah Muhammad bin Idris.
2.      Ibnu Majah wafat pada...
A.    Selasa, Ramadhan 273 H. (887 M.)
B.     Rabu, Rajab 273 H. (887 M.)
C.     Kamis, Ramadhan 273 H. (887 M.)
D.    17 Rajab 273 H.
3.      Berikut ini ulama-ulama yang pernah belajar atau berguru dengan Imam Abu Dawud... kecuali,
A.    An-Nasa’i
B.     At-Turmudzi
C.     Ali bin Abdu ash-Shamad
D.    Abu wahid at-Thayalis
4.      Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy’ats bin Is-haq As-Sijistany, beliau lahir pada tahun 202 H. (817 M.) di Kota..
A.    Iran
B.     Sijistan
C.     Afganistan
D.    Bukhara
5.      Yang termasuk kitab yang ditulis oleh Imam Muslim adalah...
A.    At-Tarikhu’l-Kabir
B.     Jami’ush-Shahih
C.     At-Tarikhu’l-Ausath
D.    Qadlayas-Shahabah wat-Tabi’in
6.      Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah adalah nama lengkap...
A.    Imam Muslim
B.     Imam Bukhari
C.     Imam Ibnu Majah
D.    Imam Ahmad
7.      Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah, ulama Muhadits yang di lahirkan di kota..
A.    Hijaz
B.     Bukhara
C.     Sijistan
D.    Turmudz
8.      Nama asli Imam Nasa’i yang benar adalah...
A.    Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah
B.     Abu Abdi ar-Rahman Ahmad bin Syu’aib bin Bahr
C.     Abu hamid muhammad bin Muhammad Al-Ghazali
D.    Abu Abdillah bin Yazid Ibnu Majah.

Cocokkanlah jawaban Anda dengan kunci jawaban tes formatif yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jumlah jawaban Anda yang benar, kemudian gunakan rumus di bawah ini untuk mengetahui tingkat penguasaan yang Anda capai.
Rumus:
Jumlah Jawaban Anda yang benar
Tingkat penguasaan =                                                                          x100
                                                                        8
Arti tingkat penguasaan yang Anda capai:
90%     -           100%   = baik sekali
80%     -           89%     = baik
70%     -           79%     = cukup
                        <          69%     = kurang

Bila Anda telah mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan kegiatan belajar dua. Great! Tetapi bila tingkat penguasaan Anda kurang dari 80%, Anda harus mempelajari kembali materi tetang pengertian Hadits, Sunnah, Khabar dan Atsar ini, terutama bagian yang belum Anda kuasai.

























Kunci Jawaban Formatif
Formatif 1                                                                  Formatif 6
1.C                  5.C                                                      1.B                  5.B
2.D                  6.B                                                      2.A                  6.B
3.A                  7.C                                                      3.D                  7.D
4.B                  8.B                                                      4.B                  8.B
Formatif 2
1.A                  5.D
2.C                  6.D
3.A                  7.B
4.B                  8.A
Formatif 3
1.C                  5.B
2.C                  6.D
3.C                  7.D
4.A                  8.C
Formatif 4
1.D                  5.C
2.B                  6.D
3.D                  7.B
4.B                  8.D
Formatif 5
1.C                  5.A
2.A                  6.A
3.D                  7.D
4.C                  8.C
 EVALUASI
Tugas 1
Bubuhkanlah tanda (X) pada jawaban yang menurut Anda tepat!
1.      Walaupun berasal langsung dari Allah, hadits Qudsi jauh berbeda dengan Al-Qur’an. Di bawah ini beberapa perbedaannya, kecuali...
A.    Pembahasannya.
B.     Kesuciannya.
C.     Isi ajarannya.
D.    Kekuatan wurudnya.
2.      Para ulama ushul membatasi al-Sunnahsebagai segala sesuatu yang keluar dari Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun penetapannya, yang isi ajarannya itu...
A.    Merupakan kaidah-kaidah hukum.
B.     Pantas menjadi dalil hukum.
C.     Dapat menjadi dalil hukum.
D.    Pantas dan dapat dijadikan sebagai dalil hukum.
3.      Al-Qur’an tidak akan dapat dipahami dengan baik tanpa dibantu penjelasan-penjelasan al-Sunnah, karena...
A.    Ayat-ayatnya banyak yang mujmal.
B.     Bahasanya amat bersastra.
C.     Ayat-ayatnya banyak yang mujmal dan berbentuk umum serta mutlak.
D.    Bahasanya bersastra dan fleksibel.
4.      Di antara Nabi, ada yang disebut hadits Mutawatir, yaitu yang mencapai tingkat Qath’i al-wurud, yakni...
A.    Pasti datangnya dari Nabi, dan boleh diikuti.
B.     Pasti datangnya dari Nabi, dan boleh diikuti.
C.     Hampir pasti datangnya dari Nabi, dan harus diikuti
D.    Yakin datangnya dari Nabi, dan boleh diikuti.
5.      Para ulama ushul melihat perlunya Nabi berijtihad, karena...
A.    Banyak persoalan-persoalan sosial.
B.     Nabi amat menguasai syariah.
C.     Nabi yang menerima syariah.
D.    Nabi terbimbing oleh wahyu.
6.      Ilmu hadits riwayah adalah ilmu yang mempelajari tentang...
A.    Kualitas para perawi hadits.
B.     Kualitas para perawi hadits pada setiap thabaqat.
C.     Proses periwayatan hadits.
D.    Cara-cara periwayatan hadits.
7.      Periwayatan yang dilakukan سمعتdenganاخبرنا dan menunjukkan bahwa perawinya memperoleh hadits tersebut melalui...
A.    Pemberian belaka.
B.     Sima’i
C.     Pembacaan di hadapan guru.
D.    Pencatatan.
8.      Ilmu hadits dirayah membahas kaidah-kaidah untuk mengetahui diterima atau ditolaknya sebuah hadits melalui kajian terhadap...
A.    Keadilan seorang rawi.
B.     Kedhabithan seorang rawi.
C.     Keshahihan matan.
D.    Keadaan para perawi dan matan hadits.
9.      Analisis kedhabitan seorang rawi dilakukan melalui kajian terhadap...
A.    Kekuatan daya hafalnya.
B.     Kecepatan daya tangkap dan kekuatan daya hafalnya.
C.     Pemahamannya.
D.    Kecerdikannya.
10.  Apabila ada dua matan hadits yang bertentangan dan tidak dapat dipertemukan, maka kasus seperti ini sebut...
A.    Nasakh.
B.     Ilmu Mukhtalif al-Hadits.
C.     Ilmu Musykil al-Hadits.
D.    Ilmu talfiq al-Hadits.
11.  Ilmu ilal al-hadits mengkaji...
A.    Cacat perawi hadits.
B.     Cacat keutuhan sanad.
C.     Sempalan ide dalam matan.
D.    Cacat sanad dan cacat matan.
12.  Karya Muhammad bin Ali Ash-Syaukani, sebagai syarah kitab Muntaqa’ Al-Akhbar, adalah kitab...
A.    Sunan Al-Kubra
B.     Al-Akhbar,
C.     Nailul-Authar,
D.    At-Targhib wa at-Targhib.
13.  Al-Mu’jam Al-Mufahras lil-afadhi al-hadits an-Nabawy, adalah kitab kamus hadits karya...
A.    Dr.A.J.Winsinc dan Dr.J.F.Mensing,
B.     Zakariya an-Nawawy
C.     Jalaluddin as-Syuyuti
D.    Mehammad Idris Asy-Syafi’i.
14.  Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah, ulama Muhadits yang di lahirkan di kota..
A.    Hijaz
B.     Bukhara
C.     Sijistan
D.    Turmudz
15.  Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah adalah nama lengkap...
A.    Imam Muslim
B.     Imam Bukhari
C.     Imam Ibnu Majah
D.    Imam Ahmad

Tugas 2 Esai

            Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan deskripsi anda yang sesuai dan selaras dengan isi materi yang dipertanyakan!
1.      Mengapa hadits Qudsi disebut hadits Qudsi?. Dan apa perbedaannya dengan Al-Qur’an dan hadits Nabi?.
2.      Mengapa para ulama ushul berpandangan bahwa Nabi amat boleh melakukan ijtihad? Dan apakah hasil; ijtihad Nabi itu mempunyai kekuatan yang sama dengan hasil ijtihad para ulama.
3.      Mengapa perawi hadits berani melakukan perubahan bahasa dalam meriwayatkan hadits-hadits Nabi?, dan apa syarat-syarat kebolehannya itu dalam melakukan pandangan Imam al-Syafi’i?
4.      Untuk sampai pada taraf pengalaman dan pemahaman hadits-hadits Nabi, seorang ulama mujtahid harus menguasai ilmu gharib al-hadits, ilmu mukhtalif al-hadits dan Nasakh. Mengapa demikian?
5.      Jelaskan perbedaan perkembangan hadits pada abad pertama, kedua, dan ketiga!

Lembar Tugas 3
Perhatikan instruksi tersebut!

1.      Buatlah ringkasan berikut!
a.       Sejarah perkembangan Al-Hadits pada ke-5 periode (Abad pertama sampai Kelima) yang telah diterangkan dalam materi, kemudiakan kemukakan siapa saja tokoh pada proses tersebut yang berpengaruh dalam penulisan Al-Hadits.
2.      Buatlah Artikel tentang riwayat Imama Malik bin Anas, dengan mengumpulkan informasi dari berbagai sumber (Buku teks, Artikel, Website dll).
3.      Tuliskan dan kumpulkan hadits Mauquf, matrukh dan Maqthu’, masing-masing 2 hadits, disertai sanad dan alasan mengapa hadits tersebut di golongkan demikian!

KUNCI JAWABAN EVALUASI
Tugas 1
1.B      6.C      11.D
2.C      7.B      12.C
3.A      8.D      13.A
4.D      9.B      14.C
5.A      10.B    15.B
Tugas 2 Esai
Ini bukanlah suatu jawaban, namun hanya metodologi yang menuntut anda menemukan jawaban soal essai.
1.      Jawaban ini dapat anda cari pada kegiatan belajar 1, Anda cukup memahami muatan apa yang terkandung dalam kata hadits, dan muatan apa yang terkandung dalam kata-kata Qudsi.
2.      Coba anda lihat pengertian ijtihad, kemudian lihat argumentasi para ulama yang memperbolehkan bagi Nabi untuk berijtihad. (lih. Kegiatan belajar 2)
3.      Jawaban nomor lima bisa Anda dapatkan dengan mempelajari latar belakang terjadinya perubahan pembahasan dalam periwayatan tersebut, dan untuk apa mereka melakukannya. Kemudian pelajari kembali kriteria-kriteria yang diangkat oleh Imam Syafi’i tentang periwayatan dalam bentuk makna.
4.      Anda harus menelaah ulang apa yang dimaksud dengan gharib al-hadits, dan apa relevansinya terhadap upaya pemahaman hadits. Kemudian Anda juga harus menelaah ulang apa yang dimaksud dengan mukhtalif al-hadits dan bagaimana cara-cara penyelesaiannya. Terakhir Anda harus menelaah ulang tentang Nasakh, beserta konsekuensinya!
5.      Cukup Anda baca kembali materi ke 5, lalu membuat kesimpulan deskripfif.
Lembar tugas 3 (Praksis)
Jawaban atas dasar tutor atau guru/dosen masing-masing.
REFERENSI
                                                                                                                       
Abu Zahw, Muhammad, al-Hadits wa al-Muhaddisun, Maktabah Misr, Kairo, Tanpa Tahun
Amin, Moh, al, Modul: Qur’an Hadits II, Program Penyetaraan D-II Guru Pendidikan Agama Islam Sekolah Dasar Dan Madrasah Ibtidaiyah Departemen Agama. Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Dan Universitas Terbuka 1998
Rahman, Fatchur, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, PT. Alma’arif-Bandung 1974
Khathib, al, Muhammad Ajjaj, Al-Sunnah Qabl al-Tadwin, Dar al-Fikr, Beirut, 1989
-----------------, Ushul al-Hadits ulummuhu wa Mushthalahuhu, Dar al-Fikr, Beirut, 1989
Khudhari Bik, al, Syaikh, al, Tarikh Tasyri’ al-Islami, Maktabah al-Tirjariyah al-Kubra, Mesir, 1965
Shalih, al, subhi, Ulum al-Hadits wa Mushthalahuhu, Dar al-Malayin, Beirut, 1977


Siba’i, al, Mushthafa, al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islami, al-Dar al-Qaumiyah li al-Thaba’ah wa al-Nasyr.

Komentar

Postingan Populer