Analisis kajian teologia : Salafiyyah doktrin dan historis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Dalam sejarah teologi islam muncul berbagai
aliran-aliran, mapun dokrin yang mewarnai perkembangan keilmuan teologis itu.
Antara lain Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Maturiddiyah, Asy‘ariyah, Wahabbi
dan lain sebagainya, termasuk aliran Salaffiyah; aliran Salaf terdiri dari
orang-orang Hanabilah yang muncul pada abad ke-4 Hijriyah dengan mempertalikan
dirinya dengan pendapat-pendapat Imam Ahmad bin Hambal (169-241 H), yang
dipandang oleh mereka telah menghidupkan dan mempertahankan pendirian ulama
salaf. Karena pendapat para ulama salaf ini menjadi motif berdirinya, maka
orang-orang Hanabilah menamakan dirinya “aliran Salaf” atau yang lebih familiar
dengan sebutan Salafiyah.
Terjadinya
persaingan dan konflik antara orang-orang Hanabilah dengan golongan Asy’ariyah
secara fisik, bahkan golongan Hanabilah memandang mereka sebagai kafir.
Masing-masing melakukan truth claim bahkan dirinyalah yang lebih berhak
mewarisi ulama salaf.
Pada
abad VII Hijriayah, gerakan salaf memperoleh kekuatan baru, dengan munculnya
Ibnu Taimiyah (661-728 H) di Syiria dan gerakan Wahabi (1115-1201 H) di Saudi
Arabia. Menjadi suntikan semangat baru atau power injektion dalam
gerakan dan doktrinal meraka yang memantapkan keyakinan mereka tentang dogma
yang diusung (dibawa) golongan hanabilah sejak abad IV H silam, sebagai
penyelamat dan pewaris ulama salaf yang berusaha terus menghidupkan dan
mempertahankan pendirian ulama salaf. Bahkan banyak orientalis dewasa ini
mengadopsi pemikiran para imam Salafiyyah, bahkan Ibn Taimiyyah belakangan
disebut sebagai bapak doktrinal tajdid al-Islamy, seperti yang di utarakan oleh
Nurchalis Madjid dalam disertasinya, maupun Fazlur Razi.[1]
Aliran
Salafiyyah ini menarik untuk diamati melalui semboyan kembali kepada ulama
salaf atau sekarang diadopsi lewat tajdid mereka bisa berkembang hingga
sekarang walaupun tidak berbentuk sebagai golongan atau ormas namun lebih pada
pemikiran dan doktinalnya, yang dulu digunakan sebagai respon atas proses
mihnah (iquisition) oleh muktazilah atau lebih mengrucut pada persoalan akidah
yang di sebarkan muktazilah (yang terlalu rasional). Untuk itu dalam makalah
ini akan dijelaskan secara mendetail mengenai karakteristik, doktrinal, dan
histories singkatnya melalui sudut pandang deduktif, supaya lebih menyeluruh
dalam memberikan pemahaman.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Asal Usul Berdirinya Golongan Salaf
Paham
atau golongan salaf pertama kali muncul pada abad ke-4/IV H yang kesemuanya
adalah pengikut mazhab Hambali (Hanabilah). Mereka beranggapan bahwa Imam Ahmad
ibn Hambal (169-241 H) telah menghidupkan dan mempertahankan pendirian
ulama-ulama salaf. Karena pemikiran keagamaan ulama-ulama salaf menjadi
motivasi gerakannya, maka golongan Hanabilah itu menamakan gerakannya sebagai paham
atau aliran salaf.
Terjadinya
persaingan dan konflik antara golongan hanabilah dengan golongan Asy’ariyah
secara fisik, bahkan orang-orang Hanabilah memandang mereka sebagai kafir.
Masing-masing melakukan klaim kebenaran bahwa dirinyalah yang lebih berhak
mewarisi ulama salaf. Pada abad VII Hijriyah, gerakan salaf memperoleh kekuatan
baru, dengan munculnya Ibnu Taimiyah (661-728 H) di syiria dan gerakan Wahabi
(1115-1201 H) di Saudi Arabia.
Selain
itu, pada masa khalifah al-Ma’mun dari bani Abbas yang dimana aliran mu’tazilah
mencapai puncaknya, pada masa itu aliran mu’tazilah mengkampanyekan pemikiran
“Al-Qur’an adalah makhluk”, semua rakyat dan ulama’ dipaksa untuk mengikuti
pemikiran tersebut melalui Inquisition kepada mereka. Namun ada
salah satu ulama’ yang menentang dengan tegas pendapat tersebut, dia adalah
imam Ahmad ibn Hanbal. Akibat penentangan tersebut, beliau kerap kali disiksa
dan masuk penjara. Pemikiran-pemikiran imam Ahmad Ibn Hanbal kemudian
melahirkan sebuah aliran teologi baru yaitu aliran Salaf.
Aliran salaf merupakan aliran yang
muncul sebagai kelanjutan dari pemikiran Imam Ahmad ibn Hanbal yang kemudian
pemikirannya diformulasikan secara lebih lengkap oleh imam Ahmad Ibn Taimiyah.
Sebagaimana aliran Asy’ariyah, aliran Salaf memberikan reaksi yang keras
terhadap pemikiran-pemikiran ekstrim Mu’tazilah
2.1.1 Pengertian Salaf
Kata salaf secara etimologi dapat
diterjemahkan menjadi "terdahulu" atau "leluhur". Menurut Thablawi Mahmud Sa’ad, Salaf artinya ulama
terdahulu. Salaf terkadang dimaksudkan untuk merujuk generasi sahabat, tabi’in,
tabi’ tabi’in, para pemuka abad ke-3 H.[2]
Dan para pengikutnya pada abad ke-4 yang terdiri dari atas para muhadditsin dan
lainnya. Salaf berarti pula ulama-ulama saleh yang hidup pada tiga abad pertama
Islam (masa tabiit-tabi’in).[3]
Sedangkan menurut terminologi terdapat banyak
difinisi yang dikemukakan oleh para pakar mengenai arti salaf, diantaranya
adalah:
Menurut As-Syahrastani, ulama salaf adalah yang tidak menggunakan ta’wil (dalam menafsirkan ayat-ayat mutasabbihat) dan tidak mempunyai faham tasybih.[4] Mahmud Al-Bisybisyi menyatakan bahwa salaf sebagai sahabat, tabi’in, dan tabi’ tabi’in yang dapat diketahui dari sikapnya menampik penafsiran yang mendalam mengenai sifat-sifat Allah yang menyerupai segala sesuatu yang baru untuk mengagungkan dan mensucikan Allah.[5]
Menurut As-Syahrastani, ulama salaf adalah yang tidak menggunakan ta’wil (dalam menafsirkan ayat-ayat mutasabbihat) dan tidak mempunyai faham tasybih.[4] Mahmud Al-Bisybisyi menyatakan bahwa salaf sebagai sahabat, tabi’in, dan tabi’ tabi’in yang dapat diketahui dari sikapnya menampik penafsiran yang mendalam mengenai sifat-sifat Allah yang menyerupai segala sesuatu yang baru untuk mengagungkan dan mensucikan Allah.[5]
Asal penamaan Salaf dan penisbahan diri
kepada manhaj Salaf adalah sabda Nabi Muhammad S.A.W kepada putrinya Fatimah
az-Zahra:
فَإِنَّهُ نِعْمَ السَّلَفُ أَنَا لَك
فَإِنَّهُ نِعْمَ السَّلَفُ أَنَا لَك
Artinya:
“karena sesungguhnya sebaik-baik salaf bagimu adalah saya”.[6]
Pada zaman modern, kata Salaf memiliki dua makna
(definisi) yang kadang kala berbeda. Seperti yang digunakan akademisi dan
sejarawan, merujuk pada “aliran pemikiran yang muncul pada paruh kedua abad XIX
sebagai reaksi penyebaran ide-ide dari Eropa,” dan “orang-orang yang mencoba
memurnikan kembali ajaran yang telah dibawa Rasulullah serta menjauhi berbagai
ke bid’ahan, khurafat, syirik dan tahayul dalam agama islam”.[7]
2.1.2 Karakteristik Aliran Salaf
Berbeda dengan aliran mu’tazilah yang cenderung
menggunakan metode pemikiran rasional, aliran salaf menggunakan metode tekstual
yang mengharuskan tunduk dibawah naql dan membatasi wewenang akal pikiran dalam
berbagai macam persoalan agama termasuk didalamnya akal manusia tidak memiliki
hak dan kemampuan untuk menakwilkan dan menafsirkan al-Qur’an. Kalaupun akal
diharuskan memiliki wewenang, hal ini tidak lain adalah hanya untuk
membenarkan, menela’ah dan menjelaskan sehingga tidak terjadi ketidak-cocokan
(ambiguitas) antara riwayat yang ada dengan akal sehat.[8]
Namun dalam penerapannya di
kalangan para tokoh aliran ini sendiri, metode ini tidak selalu membuahkan
hasil yang sama. Hal ini disebabkan mereka tidak luput dari pengaruh situasi
kultural dan struktural pada masanya. Misalnya, di kalangan aliran salaf ada
golongan yang disebut al-Hasyawiyah, yang cenderung kepada anthropomorfisme
dalam memformulasikan sifat-sifat Tuhan, seperti mereka berpandangan bahwa
ayat-ayat al-Qur’an dan hadits yang bersifat mutasyabbihat harus difahami
menurut pengertian harfiyahnya. Akibatnya ada kesan bahwa Tuhan memiliki
sifat-sifat seperti bertangan, bermuka, datang, turun, dan sebaginya.[9]
W. Montgomery Watt
menyatakan bahwa gerakan salafiyah berkembang terutama di Bagdad pada abad
ke-13. Pada masa itu terjadi gairah menggebu-gebu yang diwarnai fanatisme
kalangan kaum Hanbali. Sebelum akhir abad itu terdapat sekolah-sekolah Hanbali
di Jerusalem dan Damaskus. Di damaskus, kaum Hanbali makin kuat dengan
kedatangan para pengungsi dari Irak yang disebabkan serangan Mongol atas Irak.
Diantara para pengungsi itu terdapat satu keluarga dari Harran, yaitu keluarga
Ibn Taimiyah. Ibnu Taimiyah adalah seorang ulama’ besar penganut imam Hanbali
yang ketat.[10]
Aliran salaf mempunyai beberapa karakteristik seperti
yang dinyatakan oleh Ibrahim Madzkur sebagai berikut;
1.
Mereka lebih mendahulukan
riwayat (naqli) daripada dirayah (aqli).
2.
Dalam persoalan pokok-pokok
agama dan persoalan cabang-cabang agama hanya bertolak dari penjelasan al-Kitab
dan as-sunnah
3.
Mereka mengimani Allah
tanpa perenungan lebih lanjut (Dzat Allah) dan tidak mempunyai faham
anthropomorphisme (menyerupakan Allah dengan makhluk).
4.
Mengartikan ayat-ayat
Al-Quran sesuai dengan makna lahirnya dan tidak berupaya untuk mentakwilnya.
Apabila melihat karakteristik yang dikemukakan Ibrahim
Madzkur di atas, tokoh-tokoh berikut ini dapat dikatagorikan sebagai ulama
salaf, yaitu Abdullah bin Abbas (68 H), Abdullah bin Umar (74 H), Umar bin
Abdul Al-Aziz (101 H), Az-Zuhri (124 H), Ja’farAhs-Shadiq (148 H), dan
para imam mazhab yang empat (Imam Hanafi, Maliki, Syafi,i, dan Ahmad bin
Hanbal).[11]
Menurut Harun Nasution, secara kronologis salafiyah bermula dari Imam Ahmad bin
Hanbal. Lalu ajarannya dikembangkan Imam Ibn Taimiyah, kemudian disuburkan oleh
Imam Muhammad bin Abdul Wahab, dan akhirnya berkembang di dunia Islam secara
sporadis.[12]
Bila Salafiyah muncul pada abad ke-7 H, hal ini bukan
berarti tercampuri masalah baru. Sebab pada hakikatnya mazhab Salafiyah ini
merupakan kelanjutan dari perjuangan pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal. Atau
dengan redaksi lain, mazhab Hanbalilah yang menanamkan batu pertama bagi
pondasi gerakan Salafiyah ini. Atas dasar inilah Ibnu Taimiyah mengingkari
setiap pendapat para filosof Islam dengan segala metodenya. Pada akhir pengingkarannya
Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa tidak ada jalan lain untuk mengetahui aqidah dan
berbagai permasalahannya hukum baik secara global ataupun rinci, kecuali dengan
Al-Qur’an dan Sunnah kemudian mengikutinya. Apa saja yang diungkapkan dan
diterangkan Al-Qur’an dan Sunnah harus diterima, tidak boleh ditolak.
Mengingkari hal ini berarti telah keluar dari agama.[13]
2.2 Tokoh-tokoh Aliran Salaf
Dalam literatur ketokohan aliran Salafiyyah umumnya
selalu merujuk kepada dua ulama besar beda generasi yaitu; Ahmad ibn Hanbal
(169-241 H) dan Ibnu Taimiyah (661-728 H) sebelum akhirnya di teruskan oleh
Muhammad bin Abdul Wahab (1115-1201 H) dengan gerakan tajdid-nya yang dikenal
gerakan Wahabi di Saudi Arabia.[14]
Disini akan kami jelaskan riwayat singkat ke-dua ulama yang pertama disebut,
karena pengaruhnya yang mendasar sehingga disebut sebagai landasan mindset-nya
gerakan Salaf, bahkan Ibnu taimiyah disebut sebagai bapak doktrinal ulama dan orientalis
modern.[15]
2.2.1 Ahmad ibn Hanbal
Ia dilahirkan di Baghdad pada tahun
164 H/780 M dan meninggal pada tahun 241 H/855 M. Ia sering dipanggil Abu
Abdillah karena salah satu anaknya bernama Abdillah, namun ia lebih dikenal
dengan nama Imam Hanbali karena merupakan pendiri madzhab Hanbali. Ibunya
bernama Shahifah binti Maimunah binti Abdul Malik bin Sawadah bin Hindur
Asy-Syaibani, bangsawan Bani Amir. Ayahnya bernama Muhammad bin Hanbal bin
Hilal bin Anas bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin Auf
bin Qasit bin Mazin bin Syaiban bin Dahal bin Akabah bin Sya’ab bin Ali bin
Jadlah bin Asad bin Rabi Al-Hadis bin Nizar. Di dalam keluarga Nizar Imam Ahmad
bertemu keluarga dengan nenek moyangnya Nabi Muhammad Saw.[16]
Ilmu yang pertama beliau
kuasai adalah al-Quran sehingga beliau hafal pada usia 15 tahun. Lalu beliau mulai berkonsentrasi belajar Ilmu Hadits
pada awal usia 15 tahun pula. Pada usia 16 tahun ia memperluas wawasan ilmu
al-Quran dan ilmu agama lainnya kepada ulama-ulama Baghdad. Lalu mengunjungi
ulama-ulama terkenal di Khufah, Basrah, Syam, Yaman, Mekah dan Madinah.[17]
Diantara guru-gurunya ialah Hammad bin
Khalid, Ismail bin Aliyyah, Muzaffar bin Mudrik, Walid bin Muslim, Muktamar bin
Sulaiman, Abu Yusuf Al-Qadi, Yahya bin Zaidah, Ibrahim bin Sa’id, Muhammad bin
Idris Asy-Syafi’i, Abdur Razaq bin Humam dan Musa bin Tariq. Dari
guru-gurunya Ibnu Hanbal mempelajari ilmu fiqh, hadits, tafsir, kalam, ushul
dan bahasa Arab.[18]
Ibnu Hanbal dikenal sebagai
seorang yang zahid, teguh dalam pendirian, wara’ serta dermawan. Karena
keteguhannya, ketika khalifah Al-Makmun mengembangkan madzhab Mu’tazilah, Ibnu
Hanbal menjadi korban mihnah (inquisition).[19] Karena tidak mengakui bahwa Al-Quran adalah
makhluk. Akibatnya pada masa pemerintahan Al-Makmun, Al-Mu’tasim dan Al-Watsiq
ia harus mendekam dipenjara. Namun setelah Al-Mutawakkil naik tahta Ibnu Hanbal
memperoleh kebebasan, penghormatan dan kemuliaan.[20]
A.
Pemikiran teologi Imam Ahmad ibn
Hanbal
1.
Tentang Ayat-ayat Mutasyabihat dan status Al-Qur’an
Dalam memahami ayat
Al-Quran Ibnu Hanbal lebih suka menerapkan pendekatan lafdzi (tekstual) daripada
pendekatan ta’wil. Dengan demikian ayat Al-Quran yang mutasyabihat diartikan
sebagaimana adanya, hanya saja penjelasan tentang tata cara (kaifiat) dari ayat
tersebut diserahkan kepada Allah SWT. Ketika beliau ditanya tentang penafsiran
surat Thaha ayat 5 berikut ini :
ß`»oH÷q§9$# n?tã ĸöyèø9$# 3uqtGó$# ÇÎÈ
Artinya: yaitu yang Maha
Pengasih Yang Bersemayam di atas Arsy (Q.S. Thaha:5)[21]
Dalam
hal ini, Ibn Hambal menjawab;
إِسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ كَيْفَ شَآءَ وَكَمَا شَآءَ بِلاَ حَدٍّ وَلاَصِفَةٍ
يُبْلِغُهَا وَاصِفٌ
Artinya: Istiwa di atas Arasy terserah kepada Allah dan bagaimana saja Dia kehendaki dengan tiada batas dan tiada seorang pun yang sanggup menyifatinya.[22]
Artinya: Istiwa di atas Arasy terserah kepada Allah dan bagaimana saja Dia kehendaki dengan tiada batas dan tiada seorang pun yang sanggup menyifatinya.[22]
Salah satu persoalan teologis yang dihadapi Ibn Hanbal, yang kemudian membuatnya dipenjara beberapa kali, adalah tentang status al-Qur’an, apakah diciptakan (mahluk) yang karenanya hadits (baru) ataukah tidak diciptakan yang karenanya qodim? Faham yang diakui oleh pemerintah, yakni Dinasti Abbasiyah dibawah kepemimpina khalifah Al-Makmun, al-Mu’tasim, dan al-Watsiq, adalah faham Mu’tazilah, yakni al-Qur’an tidak bersifat qodim, tetapi baru dan diciptakan. Faham adanya qodim disamping Tuhan, berarti menduakan Tuhan, sedangkan menduakan Tuhan adalah Syirik dan dosa besar yang tidak diampuni Tuhan.
Ibn Hanbal tidak sependapat dengan
faham tersebut di atas. Oleh karena itu, ia kemudian diuji dalam kasus mihnah
oleh aparat pemerintah. Pandangan tentang status Al-Qur’an dapat dilihat dari
dialognya dengan Ishaq bin Ibrahim, gubernur irak:
Ishaq
bertanya: Bagaimana pendapatmu tentang Al-Qur’an?
Ahmad
ibn Hanbal : Ia adalah kalam Allah.
Ishaq
: Apakah ia makhluk?
Ibn
Hanbal : Ia dalah kalam Allah, aku tidak menambahnya lebih dari itu.
Ishaq
: Apakah arti bahwa Allah itu Maha Mendengar dan Maha Melihat?
Ibn
Hanbal : Itu seperti apa yang Dia sifatkan kepada diri-Nya.
Ishaq
: Apakah maksudnya?
Ibn
Hanbal : Aku tidak tahu, Dia seperti apa yang dia sifatkan kepada diri-Nya.[23]
Ibn Hanbal, berdasarkan dialog diatas,
tidak mau membahas lebih lanjut tentang status Al-Qur’an. Ia hanya mengatakan
Al-Qur’an tidak diciptakan. Hal ini sejalan dengan pola pikirnya yang
menyerahkan ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat Allah kepada Allah dan
Rasul-Nya.[24]
Bagi Ahmad bin Hanbal, iman adalah perkataan
dan perbuatan yang dapat berkurang dan bertambah, dengan kata lain iman itu
meliputi perkataan dan perbuatan, iman bertambah dengan melakukan perbuatan
yang baik dan akan berkurang bila mengerjakan kemaksiatan.[25]
2.2.2
Ibnu Taimiyah
Nama lengkap beliau adalah Ahmad
Taqiyudin Abu Abbas bin Syihabuddin Abdul Mahasin Abdul Halim bin Abdissalam
bin Abdillah bin Abi Qasim Al Khadar bin Muhammad bin Al-Khadar bin Ali bin
Abdillah, Nama Taimiyah dinisbatkan kepadanya karena moyangnya yang bernama
Muhammad bin Al-Khadar melakukan perjalanan haji melalui jalan Taima’.[26]
lahir di Haman, wilayah Irak, 10 Rabiul Awal 661 H/22 Januari 1263 M dan
meninggal pada 20 Dzul Qa’dah 728 H/26 September 1328 M. Dia dibesarkan oleh
keluarga yang taat beragama dan berguru kepada Syaikh Ali Abd. Al-Qawi, ulama
terkenal pada zamannya.
Beliau mempelajari Al-Qur’an,
al-Hadist, bahasa dan sastra arab, matematika, sejarah kebudayaan, logika,
filsafat dan hukum. Keluarga dan leluhurnya merupakan tokoh terkemuka dalam
mazhab Hambali. Ibn Taimiyah hidup di era kemunduran Islam, ketika Baghdad
dihancurkan oleh tentara Mongolia dibawah panglima Hulako (1258 M). Pada saat
berusia tujuh belas tahun , kegiatan ilmiahnya sudah mulai tampak, dan ketika
berusia 21 tahun ia mulai mengarang dan mengajar. Karena keberanian
mengeluarkan pendapat-pendapatnya, serta terkenal oleh ilmu dan amal,
sifat-sifatnya yang baik, pada tahun 691 H beliau di beri gelar “Muhyis sunnah”
(Pembangun/penghidup as-Sunnah), padahal umurnya belum genap 30 tahun.[27]
Pemikiran-pemikiran ibnu Taimiyah
memang terkesan radikal dalam karya-karya yang ia tulis dengan tujuan berusaha
membersihkan masyarakat dari akidah dan kepercayaan yang sesat, memperbaiki
kehidupan sosial masyarakat, dan memurnikan kehidupan beragama. Yang mana pada
masanya pemikira Ibnu taimiyah seringkali bersebrangan mazhab resmi pemerintah,
pada waktu itu yang berkuasa adalah Bani Buwaihi yang terkenal bermazhab
Syafi’i dalam fiqh dan Asy’ariyah dalam lapangan kalam.
A.
Pemikiran teologis ibn Taimiyah
Pemikiran Ibn Taimiyah seperti
dikatakan Ibrahim Madzkur, adalah sebagai berikut:
1. Sangat berpegang teguh
pada Nash (Al-Qur’an dan Al-Hadits).
2. Tidak memberi ruang
gerak kepada Akal (Ra’y).
3. Berpendapat bahwa
Al-Qur’an mengandung semua ilmu agama.
4. Di dalam Islam yang
diteladani hanya tiga generasi saja (sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in).
5. Allah memiliki sifat
yang tidak bertentangan dengan tauhid dan tetap mentanzihkan-Nya.
Ibnu Taimiyah mengkritik Imam Hanbali
yang mengatakan bahwa kalamullah itu qadim, menurut Ibnu Taimiyah jika
kalamullah qadim maka kalamnya juga qadim. Ibnu Taimiyah adalah seorang
tekstualis oleh sebab itu pandangannya oleh Al-Khatib Al-Jauzi sebagai
pandangan tajsim Allah (antropomorpisme) yakni menyerupakan Allah dengan
makhluk-Nya. Oleh Karena itu, Al-Jauzi berpendapat bahwa pengakuan ibn Taimiyah
sebagai Salaf perlu ditinjau kembali.[28]
1.
Percaya sepenuh hati terhadap sifat-sifat Allah yang
disampaikan oleh Allah sendiri atau rasul-Nya. Sifat-sifat dimaksud adalah:
a.
Sifat Salabiyyah, yaitu qidam, baqa’, mukhalafatul
lil hawaditsi, qiyamuhu binafsihi dan wahdaniyyat.
b.
Sifat Ma’ani, yaitu : qudrah, iradah, ilmu, hayat,
sama’, bashar dan kalam.
c.
Sifat khabariah (sifat yang diterangkan Al-Qur’an
dan Al-Hadits walaupun akal bertanya-tanya tentang maknanya), seperti
keterangan yang menyatakan bahwa Allah ada di langit; Allah di Arasy; Allah
turun ke langit dunia; Allah dilihat oleh orang yang beriman di surga kelak;
wajah tangan, dan mata Allah.
d.
Sifat Idhafiah, yaitu sifat Allah yang disandarkan
(di-Idhafat-kan) kepada makhluk seperti rabbul ‘alamin, khaliqul kaun dan
lain-lain.
2.
Percaya sepenuhnya terhadap nama-nama-Nya, yang Allah dan
rasul-Nya sebutkan seperti Al-Awwal, Al-Akhir dan lain-lain.
3.
Menerima sepenuhnya sifat dan nama Allah tersebut dengan:
a.
Tidak merubah maknanya kepada makna yang tidak
dikehendaki lafadz (min ghoiri tashrif [tekstual]).
b.
Tidak menghilangkan pengertian lafadz (min ghoiri
ta’thil).
c.
Tidak mengingkarinya (min ghoiri illhad)
d.
tidak menggambar-gambarkan bentuk Tuhan, baik dalam
fikiran atau hati, apalagi dengan indera (min ghairi takyif at-takyif).
e.
tidak menyerupakan (apalagi mempersamakan)
sifat-sifat-Nya dengan sifat makhluk-Nya (min ghairi tamtsili rabb ‘alal
‘alamin).[30]
Berdasarkan alasan diatas,
Ibn Taimiyah tidak menyetujui penafsiran ayat-ayat Mutasyabihat. Menututnya,
ayat atau hadits yang menyangkut sifat-sifat Allah harus diterima dan diartikan
sebagaimana adanya, dengan catatan tidak men-tajsim-kan, tidak menyerupakan-Nya dengan Makhluk., dan
tidak bertanya-tanya tentangnya.
Dalam masalah perbuatan
manusia Ibnu Taimiyah mengakui tiga hal:
1.
Allah pencipta segala sesuatu termasuk perbuatan manusia.
2.
Manusia adalah pelaku perbuatan yang sebenarnya dan
mempunyai kemaun serta kehendak secara sempurna, sehingga manusia bertanggung
jawab atas perbuatannya.
3.
Allah meridhai perbuatan baik dan tidak meridlai
perbuatan buruk.
Dikatakan oleh Watt bahwa pemikiran
Ibn Taimiyah mencapai klimaksnya dalam masalah sosiologi politik yang mempunyai
dasal teologi. Masalah pokoknya terletak pada upayanya untuk membedakan antara
manusia dengan Tuhan yang mutlak, oleh sebab itu masalah Tuhan tidak dapat
diperoleh dengan metode rasional, baik metode filsafat maupun teologi. Begitu
juga keinginan mistis manusia untuk menyatu dengan Tuhan adalah suatu hal yang
mustahil.[31]
2.3
Pemikiran dan Doktrin Aliran Salaf
Pokok ajaran
dari ideologi dasar Salafi adalah bahwa Islam telah sempurna dan selesai pada waktu masa Muhammad SAW
dan sahabat-sahabatnya, oleh karena itu tidak dikehendaki inovasi yang telah
ditambahkan pada abad nanti karena material dan pengaruh budaya. Paham ideologi Salafi
berusaha untuk menghidupkan kembali praktik Islam yang lebih mirip agama
Muhammad selama ini.[32]
Salafi sangat berhati-hati dalam agama, apalagi
urusan aqidah dan fiqh. Salafi sangat berpatokan kepada as salafus
sholeh. Bukan hanya masalah agama saja mereka perhatikan, tetapi masalah
berpakaian, salafi sangat suka mengikuti gaya berpakaian seperti zaman as
salafus sholeh seperti memakai sorban atau gamis bagi laki-laki atau
memakai celana-celana menggantung, dan juga memakai cadar bagi kebanyakan
wanita salafi.
Ibnu Taimiyyah dalam bukunya Minhaj as-sunnah dengan
tegas menolak metode rasional Mu’tazilah yang menetapkan adanya harmoni
(kesesuaian) naql (transferensi) dengan ‘aql (nalar). Apabila
terjadi kontroversi antara keduanya, maka yang digunakan adalah nalar dengan
melakukan interpretasi alegoris (ta’wil) terhadap naql (transferensi).
Ibnu Taimiyyah menawarkan metode alternatif, yaitu harmonitas rasional yang
jelas dengan periwayatan yang valid. Maka, jika terjadi kontraversi diantara
nalar dan naql, ia menyerahkan (penyelesaian) pada naql karena
yang mengetahuinya hanyalah Allah semata.
Epistemologi Ibnu Taimiyyah tidak mengizinkan terlalu
banyak intelektualisasi, termasuk menolak interpretasi (ta’wil), sebab
baginya dasar ilmu pengetahuan manusia terutama ialah fitrahnya. Dengan fitrah-nya itu manusia
mengetahui tentang baik dan buruk, dan tentang benar dan salah.
Fitrah yang merupakan asal kejadian manusia, yang menjadi
satu dengan dirinya melalui intuisi, hati kecil, hati nurani, dan lain-lain,
diperkuat oleh agama yang disebut sebagai fitrah yang diturunkan, maka
metodologi kaum kalam baginya adalah sesat.
Adapun 3 pokok Ajaran Salaf seperti yang di jelaskan
berbagai sumber sebagai berikut:
1.
Keesaan dzat
dan sifat Allah, Salaf menegaskan bahwa sifat-sifat, nama-nama, perbuatan dan
keadaan Allah adalah seperti yang tersebut dalam Al-qur’an dan hadis dimaknai
sebagaimana arti lahiriyahnya (tapi menghindari penafsiran secara indrawi)
dengan batasan, keadaan-Nya berbeda dengan makhluk-Nya (mukhalafatu lil
khawaditsi ), karena Tuhan itu suci dari sesuatu yang ada pada
makhluknya. Dengan
arti lain, bahwa pemahaman yang digunakan ialah diantara “ta’thil” (peniadaan
sifat) sama sekali dan “tasybih” (penyerupaan Tuhan dengan makhluknya).
2.
Keesaan penciptaan oleh Allah, bermakna bahwa
segala sesuatu yang diciptakan Allah itu merupakan karya Allah mutlak, tanpa sekutu
dalam penciptaannya, tiada yang merecoki kekuasaannya, segala sesuatu datang
dari pada-Nya, dan segala sesuatu kembali kepada-Nya. Dari kajian ini, maka
timbul persoalan baru apakah perbuatan manusia itu “jabbar”
(determinasi) yang merupakan produk naql dan menolak atas praksis akal,
atau “ikhtiari” (liberasi) yang merupakan produk akal dan interpretasi
alegotis-metaforis terhadap naql (wahyu). Mereka mengambil sikap dan
pemahaman antara paham mu’tazilah dan asy’ariyah .
3.
Keesaan ibadah kepada Allah, dimaksudkan
adalah bahwa ibadah tidak dihadapkan serta dilaksanakan kecuali kepada Allah,
dengan secara ketat mengikuti ketentuan syara’ dan tidak didorong oleh
tujuan lain, kecuali untuk dan sebagai sikap taat serta pernyataan syukur
kepada-Nya. Kajian ibadah tidak dimasudkan untuk melihat sah-batalnya dan tidak
pula dalam tinjauan rukun dan syaratnya, tetapi yang dikehendaki adalah ada
tidaknya jiwa tauhid didalam ibadah (ritual) itu.
Konsekwensi dimasukkan ibadah dalam kajian teologi kaum
salaf melahirkan tindakan praksis yaitu: pelarangan mengangkat manusia
(hidup atau mati) sebagai perantara (wasilah) kepada Tuhan atau dengan kata
lain dilarang bertawassul, larangan memberi nazar kepada kuburan atau
penghuninya atau penjaganya, dan larangan ziarah kubur orang saleh dan para
nabi.[33]
2.4 Perkembangan
Salafiyyah di Indonesia
Perkembangan salafiyah di Indonesia di awali
oleh gerakan-gerakan persatuan Islam (persis), atau Muhammadiyah.
Gerakan-gerakan lainnya, pada dasarnya juga dianggap sebagai gerakan ulama
salaf, tetapi teologinya sudah di pengaruhi oleh pemikiran yang dikenal dengan
istilah logika. Sementara itu, para ulama yang menyatakan diri mereka sebagai
ulama salaf, mayoritas tidak menggunakan pemikiran dalam membicarakan masalah
teologi (ketuhanan).
Dalam perkembangan berikutnya,
sejarah mencatat bahwa salafiyah tumbuh dan berkembang pula menjadi aliran
(mazhab) atau paham golongan, sebagaimana Khawarrij, Mu’tazilah, Maturidiyah,
dan kelompok-kelompok Islam klasik lainnya. Salafiyah bahkan sering dilekatkan
dengan ahl-sunnah wal jama’ah, di luar kelompok syiah.[34]
Selain itu, Salafi di
Indonesia banyak dipengaruhi oleh ide dan gerakan pembaruan yang dilancarkan
oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab di
kawasan Jazirah Arabia. Menurut Abu
Abdirrahman al-Thalibi, ide pembaruan ibn ‘Abd al-Wahhab diduga pertama kali
dibawa masuk ke kawasan Nusantara oleh beberapa ulama asal Sumatra Barat pada
awal abad ke-19. Inilah gerakan salafiyah pertama di tanah air yang
kemudian lebih dikenal dengan gerakan padiri. Yang salah satu tokoh utamanya
adalah Tuanku Imam Bonjol. Gerakan ini sendiri berlangsung dalam kurun waktu
1803 hingga sekitar 1832. Tapi, Ja’far Umar Thalib mengklaim, dalam salah satu
tulisannya, bahwa gerakan ini sebenarnya telah mulai muncul bibitnya pada masa
Sultan Aceh Iskandar Muda (1603-1673).
Ditahuan 80-an, dengan maraknya gerakan
kembali kepada islam di berbagai kampus di Tanah air- mungkin dapat dikatakan
sebagai tonggak awal kemunculan gerakan Salafi di Indonesia. Adalah Ja’far Umar
Thalib salah satu tokoh utama yang berperan dalam hal ini.
Disamping Ja’far Thalib, terdapat beberapa tokoh lain
yang dapat dikatakan sebagai penggerak awal gerakan salfi di Indonesia,
seperti: Yazid Abdul Qadir Jawwaz (Bogor), Abdul Hakim Abdat (Jakarta),
Muhammad Umar As-Sewed (Solo), Ahmad Fais Asifuddin (solo), dan Abu Nida
(Yogyakarta). Nama-nama
ini bahkan kemudian tergabung dalam dewan redaksi Majalah As-Sunnah majalah
gerakan Salafi Modern pertama di Indonesia, sebelum mereka kemudian mereka
berpecah beberapa tahun kemudian.
BAB III
KESIMPULAN
Dalam perkembangan teologi Islam
Salafiyyah termasuk aliran yang mempunyai andil besar dalam sejarah kalamiyyah
juga sebagai tonggak pemisah antara ulama ra’y (menempatkan rasio lebih dulu,
walaupun tidak meninggalkan nas secara menyeluruh) dengan ulama tekstual yang
mereka sebut Salafiyyah ini, walaupun pada saat yang sama juga ada
aliran yang lebih moderat (As’ariyyah).
Berdirinya salafiyyah karena para pengikut mazhab
Hanabilah atau pengikut imam Ahmad ibn Hanbal mengembalikan pemikiran salaf
dalam hal ini sebagai respon terhadap perkembangan aliran rasional yang
digawangi Muktazilah. Perkembangan selanjutnya, aliran salaf lebih berkiblat
pada pemikiran Ahmad Taqiyuddin bin Abbas (Ibn Taimiyyah) 661 H-728 H dan
seterusnya di Arab Saudi oleh Muhammad ibn Abdul Wahab (1115-1201 H).
Paham ideologi Salafi berusaha untuk
menghidupkan kembali praktik Islam yang lebih mirip agama Muhammad selama ini. Dalam
mindset paham salafi doktrinal mereka dapat di rumuskan sebagai berikut:
1.
Kemutlakan
akidah dan wahyu yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad Saw, dan menganggap
metode ahli filsafat yang mengedepankan logika sebagai hal yang salah dan
sesat.
2.
Apa yang
telah ditetapkan oleh Al-Qur’an dan dijelaskan oleh Sunnah Nabi harus diterima
dan tidak boleh ditolak.
3.
Akal pikiran
tidak mempunyai kekuasaan untuk menakwilkan Al-Qur’an atau menafsirkannya
ataupun menguraikannya, kecuali dalam batasan-batasan yang diizinkan oleh
kata-kata (bahasa) dan dikuatkan pula oleh hadits-hadits.
Selain itu,
salafiyyah juga melarang ziarah kubur bilamana dengan tujuan untuk meminta
berkah atau mendekatkan diri kepada Allah, yang boleh dan bahkan dianjurkan
bila dengan tujuan mencari keteladanan (al-‘idhah) dan nasihat (i’tibar),
yang terakhir mereka mengharamkan tawassul.
[19] Dalam sejarah Islam, mihnah dijalankan oleh pemerintahan
Al-Ma’mun untuk menguji keyakinan para ulama Hadits mengenani hakikat
Al-Qur’an, apakah diciptakan (makhluk), atau bukan. Menurut Watt, mihnah adalah kebijakan politis
yang muncul dari ketegangan antara blok-blok otokratik dan konstitusionalis.
Yang dimaksud dua kelompok yang bertetangan itu adalah tokoh-tokoh ortodoksi
yang menyatakan keqadiman Al-Qur’an dan kelompok Mu’tazilah-dengan dukungan
khalifah yang berkuasa- yang menyatakan terciptanya Al-Qur’an. Namun, Watt
keliru karena hanya melihat kasus mihnah dari sisi politik saja, satu
pennilaian yang menditkriditkan Mu’tazilah tanpa melihat sisi lain yang lebih
penting, yaitu doorongan misi suci untuk melaksanakan amar ma’ruf dan nahi
mungkar. Lihat W. Montgomerry Watt, Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh
Orientalis. Terj. Hartono Hadi Kusumo, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), hal.
61-62
[33] http://id.wikipedia.org/wiki/Salafiyah#cite_note-KepelJihad-7,
diakses pada tanggal 13
April 2014
Komentar
Posting Komentar