sebuah telaah : dilema politik indonesia ( kritik KPU Lampung)
Dilema politik
Dewasa ini kita disuguhkan dengan panggung
politik yang acak-adult gak jelas , bahkan di era reformasi ini yang didapat
oleh bangsa yang paling multikultural didunia hanya satu kata “kebebasan” yang
menurut yuzril izha mahendra kebebasan tanpa disertai komitmen terhadap etik.
Maka tidak heran bilamana platform politik negeri ini Cuma memunculkan seorang
politikus bukannya seorang negarawan. Menilik hasil reformasi kita, seharusnya
sudah menjadi keperihatinan bersama bagaimana satu dekade terakhir kita tidak
berubah seperti yang diharapkan. Kurs rupiah bahkan semakin anjlok belum lagi
gap ekonomi antara si-kaya dan miskin semakin lebar, tak ayal konflik pun
terjadi dimana-mana, penyebabnya satu hilangnya semangat kesejahteraan dari
pemerintah alias pemerintah benar-benar lepas tangan terhadap nasib rakyatnya,
bahkan yang lebih riskan saat ini begitu jelas pemerintah berpihak pada
pengusaha atu bahkan pengusaha sendiri yang jadi pemimpin dinegeri ini.
Ironi sebuah suara tuhan
KPU adalah komisi yang paling bertanggung jawab atas
dosa-dosa yang dilakukan pemerintah karena mereka yang bertindak sebagai dewa
penentu calon yang maju (nyaleg. Red). Bagaimana tidak, bilamana KPU tidak
benar-benar mem-filtrasi calon yang maju, tidak heran yang jadi pemimpin orang
yang rusak moralnya?. belum lagi andaikata terjadi pelanggaran dalam pemilihan
umum, berarti KPU juga menanggung dosa besar (menyeleweng suara rakyat)
meminjam dari terminologi Abraham Lincolt “Hail to state !, vote of civil is
voice of God”. Suara sipil berarti suara tuhan!.
Asa terhadap pilpres
Asa terhadap pilpres
2014 merupakan penentuan nasib negeri ini
selama 5 tahun mendatang, apakah Indonesia akan mampu menerawang mimpi indah
tentang kesejahteraan. Atau benar-benar mengubur mimpi dalam tumpukan pasir
kehinaan? Kita tunggu saja. Calon presiden mana yang menurut kita baik, jelas
visi-misinya, kuat komitmenya terhadap negeri, mari kita pilih sesuai nurani
kita, jadi jangan golput!
Sebuah telaah
Menyinggung
Indonesia kini, sangat jelas kita wajib prihatin (terlepas dari beberapa
prestasi Indonesia yang lain) bukan sedang pesimis atau skeptis, namun kita
juga harus mengevaluasi apa yang telah kita hasilkan selama ini, lebih
ekplisitnya muhasabah atau intropeksi diri. Entah disadari atau tidak,
Indonesia sejujurnya Negara yang paling kaya sumberdaya dan energi dengan keindahan
yang disebut-sebut zamrud khatulistiwa. Menerima anugerah seperti itu apa yang
kita lakukan? Menjadikannya benar-benar bermanfaat sebagai wujud syukur? Atau
malak sebaliknya?. Mari kita perhatikan apa yang kita perbuat, Indonesia
menerima penghargaan dari guines book sebagai negara yang tercepat menggunduli
hutan alias pembalakan liar kita no. 1 di dunia, layaknya malu kita sebagai
bangsa yang besar. Belum lagi, masalah krisis energi yang menurut hemat penulis
mustahil untuk terjadi bila kita benar-benar menggunakan SDA kita sebagai
anugerah tuhan.
Indonesia
terjebak jaring kapitalisme sebagai imbas globalisasi kuasi liberal terlalu
dalam, yang menyebabkan pemerintah tidak “berdaya” menuruti tawaran para
pemilik modal. Dan berkembang menjadi demokrasi transaksional atau
tawar-menawar. Wacana terbaru patologi menilik Indonesia negara dengan
transaksional kewenangan tinggi, sungguh menyesalkan.
korporasi terlalu ikut campur dalam pemerintah, bayangkan ketika pengusaha, makelar, joki, mampu mengendalikan pemerintahan? Adalah sangat mungkin kebijakan maupun regulasi pemerintah sangat eksploitatif. Yang mengerikan apabila semua itu dilakukan atas kesadaran dan restu istana? Mau apa lagi?.
korporasi terlalu ikut campur dalam pemerintah, bayangkan ketika pengusaha, makelar, joki, mampu mengendalikan pemerintahan? Adalah sangat mungkin kebijakan maupun regulasi pemerintah sangat eksploitatif. Yang mengerikan apabila semua itu dilakukan atas kesadaran dan restu istana? Mau apa lagi?.
Korupsi
sebagai warisan terbesar mentalitas penguasa dari setiap era, sebagai tindak
lanjut dari sikap feodalism-partikularism dan primordialism. Penulis kira semua
sudah faham seperti apa keadaan negeri kita? Sangat disayangkan korupsi begitu
sistematis, bahkan Busro muqoddas sampai bisa merumuskan; ambil-simpan-lawan.
Ambil duitnya, simpan asetnya, kalau terbongkar buat lawan hukum yang
menghadang (tipikor).
BUMN
yang terkesan mandul dan sebagai barang jualan, penulis begitu muskil, saat
semua aset yang paling menjanjikan profit selalu diposisikan terdepan untuk dijual.
Belum lagi bayangkan jika semua Badan Usaha Milik Negara diakusisi swasta? Wah
gawat, bisa-bisa masyarakat tidak punya apa-apa lagi, toh segalanya sudah
menjadi milik pribadi-pribadi rakus.
Terlalu
lunak pada asing, terakhir regulasi bea cukai impor untuk kakao di kisaran 0%,
yang begitu-sangat tidak manusiawi bagi lokal. Bayangkan jika masyarakatnya
sendiri di jarah lewat pencekikan PPN 10% , tetangga malah digratisin. Mau apa
coba?. Yah semoga kedepannya kita akan sadar dan menjadi lebih baik.
Komentar
Posting Komentar