bocoran UAS Ushul Fiqh
NAMA: MIFTAH FARID FAKHRUDDIN KELAS:
PAI/C/3
NPM: 1311010151 MATA
KULIAH: USHUL FIQH
1. Jelaskanlah macam-macam dalil ahkam yang disepakati (muttafaqun alaihi) dan
yang tidak disepakati (mukhtalafun bih).
Jawab:
Ø Dalil yang disepakati:
a. Al-Qur’an
Al-Qur’an
adalah wahyu berupa kalamullah yang di
turunkan kepada nabi Muhammad SAW yang diturunkan secara bertahap kemudian
disampaikan kepada umatnya secara mutawatir dan diturunkan secara bertahap
serta bernilai ibadah bagi setiap hambanya yang membacanya. Dijadikan sumber
hukum pertama dalam istinbad/ penggalian hukum. Landasan Al-Qur’an sebagai
sumber hukum adalah surat an-Nisa’ (4):59;
يَاأَيُهَاالَّذِيْنَ اَمَنُوْا أَطِيْعُوْا
اللهِ وَأَطِيْعُوْا الرَّسُوْلَ وَأُلِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ
فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ إِلَي اللهِ وَالرَّسُوْلِ {النساء :59}
“Hai
orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri
diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnah)” QS.An-Nisa’ 4:59
b. As-Sunnah (Hadits)
As-Sunnah atau al-hadits adalah
segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik berupa qaul
(ucapan), fi’il (perbuatan) maupun taqrir (sikap diam tanda setuju) Nabi Saw.Kedudukan-nya
sebagai penguat dan penjelas Al-Qur’an sumber hukum ke-2 setelah Al-Qur’an. Landasan
dalam sunnah adalah percakapan Nabi dengan Muadz bin Jabal sewaktu diutus Nabi
sebagai untuk menjadi penguasa di Yaman.
Nabi berkata, Bagaimana Anda memutuskan seandainya kepada Anda dihadapkan
suatu perkara?” Muadz menjawab, “Saya memutuskan berdasarkan apa yang terdapat
dalam Al-Qur’an”. Nabi bertanya lagi, “seandainya Anda tidak menemukan
pemecahannya dalam Al-Qur’an?” Muadz menjawab, “Saya memutuskan berdasarkan apa
yang saya temukan dalam Sunnah.”...
c. Ijma’
Ijma adalah kesepakatan para imam
mujtahid di antara umat Islam pada suatu masa setelah Rasulullah saw wafat,
terhadap hukum syara tentang suatu masalah.
(#þqãèÏHødr'sùöNä.{øBr&öNä.uä!%x.uà°ur..{يونس:71}
...karena itu buatlah keputusanmu dan
(kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakan aku...(QS. Yunus 10:71)
d. Qiyas
Qiyas adalah menyamakan satu
kejadian yang tidak ada nashnya kepada kejadian lain yang ada nashnya pada
hukum yang telah menetapkan lantaran adanya kesamaan di antara dua kejadian itu
dalam illat hukumnya.
Ø Dalil yang tidak disepakati
(Mukhtalafun bih)
a.
Isthisan
Ikhtisan ialah secara
etimologis berarti “memperhitungkan sesuatu yang lebih baik”, atau “adanya
sesuatu itu lebih baik”. Secara istilahi (terminologis/istilah) salah
satu dari definisinya “Beralih dari penggunaan suatu qiyas kepada qiyas yang
lain yang lebih kuat dari padanya (qiyas pertama). Jadi qiyas adalah meninggalkan
hukum yang telah ditetapkan kepada hukum yang lainnya, pada suatu peristiwa
atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara”.
b.
Istishab
Istisshab secara etimologis “selalu menemani” atau
“selalu menyertai”. Adapun secara istilah salah satu definisinya “Berlakunya
sesuatu pada waktu kedua karena yang demikian pernah berlaku pada waktu pertama
karena tidak ada yang patut untuk mengubahnya”. Jadi istisshabadalah penetapan (keberlakukan)
hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu
telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang mengharuskan
terjadinya perubahan (hukum tersebut)”.
c.
Maslahah mursalah
Maslahah mursalah terdiri dari dua
kalimat yaitu maslahat dan mursalah. Maslahat sendiri secara etimologi didefinisikan
sebagai upaya mengambil manfaat dan menghilangkan mafsadat/madharat.
Dari sini dapat dipahami, bahwa maslahat memiliki dua tema yaitu adanya manfaat
(إجابي) dan menjauhkan
madharat (سلبي). Adapun mursalah
dipahami sebagai sesuatu yang mutlak غير مقيد yaitu
maslahat yang secara khusus tidak dijabarkan oleh nash atau tidak ada perintah
maupun larangan. Dengan tidak adanya qorinah tersebut, maka
maslahat bisa menjadi acuan dalam menentukan suatu hukum.
d.
Ur’f (tradisi)
Ur’fadalah sesuatu yang yang telah
saling dikenal oleh manusia dan mereka menjadikan tradisi.
e.
Madzhab Shahabi
Adalah fatwa penjelasan tentang hukum syara’ yang dihasilkan melalui usahaijtihad yang dikemukakan
sahabat secara perorangan. Secara sederhana dapat dirumuskan:
هُوَ فَتْوَى
الصَّحَابَةِ بِانْفِرَادِهِ
Madzhab shahabi adalah fatwa sahabat secara perorangan.
f.
Syar’u Man Qablana (syari’at sebelum kita)
Syar’u man Qablana adalah
hukum-hukum yang telah disyaria’atkan untuk umat sebelum Islam yang dibawa oleh
para Nabi dan Rasul etrdahulu dan menjadi beban hukum untuk diikuti oleh umat
sebelum adanya syariat Nabi Muhammad.
2.
Jelaskan pengertian, macam-macam hukum takhlifi dan hukum wadh’i, beserta
contoh masing-masing.
Jawab:
Ø Hukum taklifi
Hukum
taklifi adalah syar’i yang mengandung tuntutan (untuk dikerjakan atau
ditinggalkan oleh para mukallaf) atau
yang mengandung pilihan antara yang dikerjakan dan ditinggalkan. Dengan kata lain adalah
yang dituntut melakukannya atau tidak melakukannya atau dipersilahkan untuk
memilih antara memperbuat dan tidak memperbuat.
Macam-macam hukum taklifi:
a.
Ijab/wajib adalah firman yang menuntut melakukan suatu perbuatan
dengan tuntutan pasti. Dengan arti harus diperbuat sehingga orang yang
memperbuat patut mendapat ganjaran dan tidak dapat sama sekali ditinggalkan;
sehingga orang yang meninggalkan mendapat ancaman. Contoh kewajiban
melaksanakan shalat fardu.
b.
Nadb atau
mandub adalah firman Allah
yang menuntut melakukan suatu perbuatan dengan perbuatan yang tidak pasti,
tetapi hanya berupa anjuran untuk berbuat.
Contoh sedekah/sumbangan untuk panti asuhan.
c.
Tahrim(haram) adalah firman yang
menuntut untuk tidak melakukan sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti.
Contoh berzina, mencuri, membunuh.
d.
Karahah (makruh)
adalah firman Allah
yang menuntut untuk tidak melakukan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak
pasti, tetapi hanya berupa anjuran untuk tidak berbuat.
Contoh merokok, menyia-nyiakan air dalam berwudhu, dll.
e.
Ibahah (mubah)
adalah firman Allah
yang memberi kebebasan kepada mukalaf untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu perbuatan. Misalnya melakukan perburuan setelah melakukan tahalul
dalam ibadah haji.
Ø Hukum
Wadh’i
Hukum wadh’i adalah khitab syar’i yang menuntut untuk menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau
penghalang dari sesuatu yang lain.
Macam-macam hukum
Wadh’i:
a.
SebabSecara etimologi (al-sabab)
mempunyai arti al-hablu (tali) dan sesuatu yang menghantarkan kepada maksud
atau tujuan. Secara bahasa Sebab yaitu sifat yang nyata dan dapat di ukur yang
dijelaskan oleh nash al-qur’an atau sunnah bahwa keberadaannya menjadi petunjuk
bagi hukuman syara’ artinya, keberadaan sebab merupakan pertanda keberadaan
suatu hukum.Contoh: shalat dzuhur dikerjakan
apabila matahari telah tergelincir/condong kearah barat pada tengah hari, maka
tergelincirnya matahari adalah sebab untuk melakukan shalat dzuhur.
b.
Syaratialah: suatu yang menyebabkan adanya
hukum dengan adanya syarat dan bila tidak ada syarat maka hukum pun tidak ada. Contoh: syarat sah shalat harus suci tempat, badan, dan pakaian.
c.
Mani’ yaitu
sifat yang nyata yang keberadaannya menyebabkan tidak ada hukum atau tidak ada
sebab. Contoh haid sebagai penghalang kewajiban melakukan
shalat dan puasa.
Termasuk ke
dalam kelompok hukum wadh’i, hala-hal yang menjadi akibat dari pelaksanaan
hukum taklifi dalam hubungannya dengan hukum wadh’i.
d.
Lafadz sah dapat
diartikan lepas tanggungjawab atau gugur kewajiban di dunia serta memperoleh
pahala dan ganjaran di akhirat. Contoh: Sholat dikatakan
sah karena telah dilaksanakan sesuai dengan yang diperintahkan syara’ dan akan
mendatangkan pahala di akhirat.
e.
Lafadz batal dapat
diartikan tidak lepas diartiakan tanggungjawab tidak menggugurkan kewajiban di
dunia dan akhirat tidak memperoleh pahala. Contoh shalat tidak memakai wudhu (tidak suci), atau sebelum waktunya
tiba.
f.
Azimanyaitu pelaksanaan hukum takhlifi berdasarkan dalil umum tanpa memandang keadaan
mukallaf yang melaksanakannya. Conto haramnya memakan bangkai untuk semua umat
islam dalam keadaan apapun.
g.
Rukhsah adalah pelaksanaan hukum takhlifi
berdasarkan dalil khusus sebagai pengecualian dari dalil umum karena keadaan
tertentu. Contoh: menjamak dan mengqoshor shalat bagi musafir, atau tidak puasa
dalam perjalanan.
3. Jelaskan pengertian taqlid,
talfiq, dan ifta’ (fatwa). Kemukakan perbedaan antara taqlid dan itiba’.!
Jawab:
a.
Kata taqlid adalah
mashdar dari qallada – yuqallidu Secara bahasa, adalah meletakkan
sesuatu di leher dengan melilitkannya seperti kalung. Adapun
menurut istilah taqlid bermakna “mengambil suatu pendapat tanpa mengetahui
dalilnya”. Seperti definisi Ibn
al-Humman.
التقليد العمل بقول من ليس قوله إحدى الحجج بلا حجة منها
Taqlid ialah beramal dengan pendapat seseorang yang pendapatnya itu bukan
merupakan hujjah, tanpa mengetahui hujjahnya.
b. Talfiq ialah
mengambil atau mengikuti hukum dari suatu peristiwa atau kejadian dengan
mengambilnya dari berbagai macam madzhab dengan kata
lain “mencampur adukkan hukum dari berbagai madzhab dalam satu rangkain amaliah
untuk mencari-cari keringanan (تتبع الرخص)”. Contoh nikah tanpa wali dan saksi
adalah sah asal ada iklan atau pengumuman. Menurut madzhab Hanafi, sah nikah
tanpa wali, sedangkan menurut madzhab Maliki, sah akad nikah tanpa saksi. Pada
dasarnya talfiq dibolehkan dalam agama, selama tujuan melaksanakan
talfiq itu semata-mata untuk melaksanakan pendapat yang paling benar setelah
meneliti dasar hukum dari pendapat itu dan mengambil yang lebih kuat dasar
hukumnya.
c.
Ifta/ Fatwa Ifta’ berasal dari kata afta yang
artinya memberikan penjelasan. secara sederhana, ifta’ di rumuskan sebagai
“Usaha memberi penjelasan tentang hukum syara’ oleh ahlinya kepada orang yang
belum mengetahuinya”.
Ittiba’ menurut bahasa berarti mengikuti atau menurut, sedangkan
menurut hukum islam ialah“Menerima
pendapat orang lain dan kamu
mengetahui dari mana sumber alasan tersebut”.Makaperbedaan antara Taqlid dan
Ittiba’ yaitu pada Ittiba’ bahwa seseorang yang mengikuti mengetahui sumber yang dijadikan dasar oleh orang yang diikuti
dalam mengemukakan pendapat. Sedangkan dalam taqlid seseorang yang mengikuti sumber yang dijadikan dasar oleh orang
yang membolehkan seperti ittiba’ kepada para ulama’. Para ulama membedakan istilah taqlid dengan ittiba’. Ittiba’
adalah beramal dengan dalil, sedangkan taqlid adalah mengikuti
perkataan seseorang tanpa hujjah. Seorang pengikut tingkat Ittiba’ disebut Muttabi’
(المتبع)
dan orang yang bertaqlid disebut Muqallid (المقلد).
4.
Jelaskan cara-cara penyelesain Ta’arud addilah
(Pertentangan dalil-dalil) beserta contoh masing-masing.!
Jawab:
اَلْعَمَلُ
بِالْدَّلِيْلَيْنِ الْمُتَعَارِضَيْنَ اَوْلَى مِنْ إِلْغَاءٍ اَحَدِهِمَا
Mengamalkan dua dalil yang
berbenturan lebih baik dari pada menyingkirkan satu diantaranya. [Kaidah ushul]
Ada tiga tahap penyelesaian yang tergambar dalam
kaidah tersebut:
1.
Sedapat mungkin kedua dalil itu dapat digunakan
sekaligus, sehingga tidak ada dalil yang disingkirkan.
2.
Setelah dengan cara apapun kedua dalil itu tidak
dapat digunakan sekaligus, maka diusahakan setidaknya satu diantaranya
diamalkan; sedangkan yang lain ditinggalkan.
3.
Sebagai langkah terkhir, tidak dapat dihindarkan
kedua dalil itu ditinggalkan, dalam arti tidak diamalkan keduanya.
Cara-cara
penyelesain taarud adillah.
a.
Al-Jam’u wal taufiq (dikompromikan)
Kedua
dalil di amalkan sekaligus atau dicari titik temunya. Sehingga sedapat mungkin
kedua dalil itu dapat digunakan sekaligus, sehingga tidak ada dalil yang
disingkirkan. Contoh: ayat 240 dan ayat 243 surat al-Baqarah (2)
yang secara lahiriah lafadz saling bertentangan. Pada ayat 243 menetapkan masa
iddah bagi isteri yang di tinggal mati suaminya adalah 4 bulan 10 hari;
sedangkan ayat 240 menetapkan masa iddah nya satu tahun.
Maka
pada kasus ini, dikompromikan antara kedua ayat, pada ayat 240 maksud “bersenang-senang
selama satu tahun” adalah “untuk tinggal dirumah suaminya selama satu tahun
kalau ia tidak lagi; sedangkan waktu tunggu selama 4 bulan 10 hari (ayat 243)
maksudnya sebagai larangan untuk kawin dalam masa itu. Dengan usaha
tersebut, maka kedua dalil yang kelihatannya bertentangan dapat diamalkan
kedua-duanya pada proposisinya masing-masing.
b.
Nasakh
Secara
bahasa berarti (النسخ) dengan arti الإزالة“menghilangkan atau meniadakan” secara
istilah dapat di pahami dari pendapat Qadhi abu Bakar yang dipakai oleh
Al-Ghazali:
إنه
الخطاب الدال على ارتفاع الحكم الثابت بالخطاب المتقدم على وجه لولاه لكان ثابتا
مع تراخيه عنه
Nasakh
ialah khitab (titah) yang menunjukkan terangkatnya hukum yang ditetapkan dengan
khithab terdahulu dalam bentuk seandainya ia tidak terangkat tentu masih tetap
berlaku disamping hukum yang datang kemudian.
Dari
definisi tersebut dapat dipahami nasakh adalah penjelasan berakhirnya hukum
awal atau masa perintah dalam hal-hal yang berulang.
Contoh: Nabi menerima laporan tentang seorang laki-laki
yang menggauli isterinya dan tidak sampai mengeluarkan mani. Laki-laki tersebut
bertanya kepada Nabi, apa yang harus dilakukannya, Nabi bersabda:
إنما الماء من الماء
Sesungguhnya air (mandi) adalah
dari air (mani [sperma] yang keluar).
Hadits di atas mengandung pengertian bahwa
kewajiban mandi itu baru ada ketika dalam persetubuhan itu mengeluarkan mani.
Hadits ini dinasakh oleh hadits yang diriwayatkan Bukhari-Muslim:
إذا جلس بين شعبها الأربع ثم جهدها
فقد وجب الغسل
Bila
seseorang telah berada di atas tulangnya yang empat kerat dan telah berbuat
atasnya, maka wajib mandi
Menurut
Muslim dalam hadits tersebut, maka wajiblah mandi seseorang yang melakukan
persetubuhan walaupun dalam persetubuhan tersebut tidak mengeluarkan mani.
c.
Tarjih
Tarjih
menurut lughat adalah “menguatkan”. Dalam terminologi definisi yang terkuat
adalah yang dikemukakan Saifuddin al-Amidi dalam al-Ahkam:
“Ungkapan
mengenai diiringinya salah satu dari dua dalil yang pantas menunjukkan kepada
apa yang dikehendaki disamping keduanya berbenturan yang mewajibkan untuk satu
di antaranya dan meninggalkan yang satu lagi.”
Dapat
disimpulkan tarjih adalah menguatkan salah satu dari dua dalil dzanni supaya
bisa beramal dengan yang sudah dikuatkan.
Contoh:
dalam kasus perbuatan yang
mewajibkan mandi para sahabat menguatkan hadits daria Aisah RA. Tentang iltiqa’
al-Khittanain (bertemunya alat vital laki-laki dan perempuan HR.Muslim dan
Tirmidzi) dari Hadits riwayat Abu Hurairah RA. Yang mengatakan إنما الماء من الماء (air
berasal dari air) maksudnya, apabila keluar air mani baru wajib mandi. Oleh
karena itu, para ulama ushul fiqh, menyatakan bahwa apabila seseorang mujtahid
telah melakukan tarjih terhadap salah satu dalil yang menurutnya bertentangan,
maka dalil yang rajih itu wajib diamalkan.
d.
Tasaqut al dalalain
Tasaqut al dalalain (تساقط الدليلين) Adalah upaya menangguhkan
penyelesaian atau keputusan dari dua dalil yang nampak berlawanan karena sulit ditempuh
dengan al jam’u wa al taufiq tarjih maupun naskh. Atau “meninggalkan kedua
dalil sekaligus dan dicari dalil ketiga untuk diamalkan”. Ini sesuai prinsip
ushul fiqh.
اَلْعَمَلُ
بِالْدَّلِيْلَيْنِ الْمُتَعَارِضَيْنَ اَوْلَى مِنْ إِلْغَاءٍ اَحَدِهِمَا
5.
Berikan contoh hasil ijtihad, dengan metode ushul
fiqh!
Jawab:
Dalam
kasus transpalasi organ dan jaringan tubuh.
Deskripsi masalah: ada seorang yang akan meninggal
berpesan ketika dia meninggal untuk mendonorkan ginjalnya kepada si A yang membutuhkan.
Bagaimana hukum donor tersebut?
Jawaban,
Transpalasi
adalah bahasa dunia medis yang berarti pencangkokan atau penyambungan, dalam
bahasa arab al-was (penyambungan) yang dilakukan guna untuk Naql
al-a’da atau Zar’u al-a’da dalam banyak kasus untuk menyembuhkan
pasien yang menderita sakit organ. Pembagian transpalasi berdasarkan fungsi
atau keadaan.
1.
Pengobatan serius, mencari kesembuhan, karena
berhubungan dengan nyawa pasien seperti pencangkokan organ penting yang tanpa
organ tersebut orang itu akan mati, misal: jantung, ginjal, limpa. Dll.
2.
Pengobatan untuk menhindari cacat. Seperti
pencangkokan kornea mata atau jaringan lain misal bibir sumbing.
Imam
Nawawi dalam Minhajut Tholibbien berkata:
ولو
وصل عظمه بنفس لفقد الطاهر فمعدور والاوجب نرعه ان لم يخف ضررا ظاهرا فيل وإن خاف
فإن مات لم ينزغ على
“Jika seseorang menyambung tulang dengan
barang najis karena tidak ada barang suci maka hukumnya udhur (boleh). Apa bila
dikemudian waktu ditemukan barang yang suci maka wajib mengangkat dan
menggantinya dengan barang yang suci selagi tidak menimbulkan kematian.”
Minhajut Tholibbien.
Sesuatu boleh apabila dalam keadaan dhoruri, dalam
kasus diatas si A sedang sakit yang membutuhkan pencangkokan organ vital.
Berobat adalah cara mencari kemaslahatannya demi kelangsungan hidupnya. Dalam
surat Al-Baqarah 195 Allah berfirman.
wur.. (#qà)ù=è? ö/ä3Ï÷r'Î/ n<Î) Ïps3è=ökJ9$# ¡
(#þqãZÅ¡ômr&ur ¡
¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÏZÅ¡ósßJø9$# ÇÊÒÎÈ
“
dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat
baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” QS.
Al-Baqarah 2:195.
Nabi SAW, bersabda: “Hendaklah kamu sekalian berobat,
wahai hamba Allah, karena Allah tidak menjadikan penyakit kecuali menurunkan
pula obatnya, selain penyakit yang satu, yaitu tua”
Dalam kaidah ushul: “kemudharatan yang lebih besar
(berat) dihilangkan dengan kemudharatan yang lebih kecil (ringan)”.
Pada kasus diatas terjadi dua masalah pertama seorang
yang mencari pendor untuk kelangsungan hidup (si A) dan si pendonor (orang yang
hampir mati), yang menunjukkan mencari kesembuhan (si A) dianggap bisa hidup
lebih lama, dan si pendonor lebih dekat pada kematian. Bisa dianggap masuk kaidah
tersebut. Juga dalam kasus tersebut dilakukan pendonoran atas dasar kerelaan
bukan paksaan. Firman Allah,
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä w (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& cqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 wur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJÏmu ÇËÒÈ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh
dirimu[287][1];
Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” QS.An-Nisa’ 29.
Ayat tersebut mengisyaratkan syarat-syarat bagi pendonor
yaitu:
1.
Pendonor tidak
boleh dirugikan, maka tidak boleh mendonor apabila pendonor terancam keselamatan
jiwanya. Seperti hadits Nabi SAW: “tidak boleh melakukan pekerjaan yang
membawa kemudharatan dan tidak boleh ada kemudharatan”
2.
Tidak ada
paksaan, lewat jalan ridha (suka sama suka) juga tidak diniatkan untuk
komersil.
Sarat tersebut
bagi pendonor yang masih hidup, sedang bagi pendonor yang telah meninggal,
1.
Mendapat izin
dari si mayit, baik melalui surat wasiat mayit maupun izin dari keluarga yang
berhak.
2.
Tidak merusak
kehormatan mayit, atau mencederai mayit. Seperti hadits Nabi SAW: “Mematahkan
tulang orang yang telah meninggal sama halnya mematah tulang orang yang masih
hidup”.
Dari kasus diatas dapat disimpulkan bahwa boleh
dilakukan pencakokan organ karena tidak memberikan kemudharatan, sebab
dilakukan ketika si pendonor wafat, juga telah mendapat izin dari yang hak
(pendonor).
Adapun masalah
pencakokan organ dalam literatur lain di berikan 3 hukum.
a.
Haram secara mutlak, apabila dilakukan pada orang yang sehat yang jelas-jelas
akan mempengaruhi kesehatan atau memberikan kemudharatan.
Dasarnya: firman Allah QS. Al-Baqarah 2:185, kaidah
ushul: “Menolak kerusakan didahulukan atas mencari kemaslahatan”. Bahaya
tidak boleh dihilangkan dengan mendatangkan bahaya pada orang lain.
b.
Tidak boleh, apabila dilakukan pada orang koma
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain” HR. Ibn Majah
c.
Boleh, apabila dilakukan pada orang mati yang mendapat izin-nya tanpa merusak kehormatannya,
atau pada orang sehat yang sama sekali tidak akan memberikan bahaya
(kemudharatan).
“oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa:
Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh)
orang lain[411][2],
atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah
membunuh manusia seluruhnya[412][3]. dan
Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia
telah memelihara kehidupan manusia semuanya. dan Sesungguhnya telah datang
kepada mereka Rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang
jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu[413][4]
sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.”
QS.Al-Maidah 32.
Dan
tidak dibenarkan melakukan transpalasi pada organ alat vital, seperti testis
dan indung telur wanita. Sebab akan menimbulkan masalah yang lebih rumit
(nasab, mawaris). Seperti ancaman Allah dalam firmannya:
tûïÏ%©!$# tbrãÎg»sàã Nä3ZÏB `ÏiB OÎgͬ!$|¡ÎpS $¨B Æèd óOÎgÏF»yg¨Bé& ( ÷bÎ) óOßgçG»yg¨Bé& wÎ) Ï«¯»©9$# óOßgtRôs9ur 4 öNåk¨XÎ)ur tbqä9qà)us9 #\x6YãB z`ÏiB ÉAöqs)ø9$# #Yrãur 4 cÎ)ur ©!$# ;qàÿyès9 Öqàÿxî ÇËÈ
“orang-orang
yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya,
padahal) Tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. ibu-ibu mereka tidak lain
hanyalah wanita yang melahirkan mereka. dan Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh
mengucapkan suatu Perkataan mungkar dan dusta. dan Sesungguhnya Allah Maha
Pemaaf lagi Maha Pengampun.” QS.Mujadilah 58:2
Dan hadits Nabi SAW: “Barang siapa yang menasabkan dirinya pada selain
bapaknya, atau mengurus sesuatu yang bukan urusannya maka atas orang tersebut
adalah laknat Allah, malaikat, dan seluruh manusia” HR.Bukhari-Muslim.
“Barang siapa yang dipanggil dengan (nama)selain bapaknya maka syurga haram
baginya” HR.Muslim.
[1]
[287] Larangan
membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain, sebab
membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat merupakan suatu
kesatuan.
[2] [411] Yakni:
membunuh orang bukan karena qishaash
[3]
[412] Hukum ini bukanlah mengenai Bani Israil saja, tetapi juga mengenai
manusia seluruhnya. Allah memandang bahwa membunuh seseorang itu adalah sebagai
membunuh manusia seluruhnya, karena orang seorang itu adalah anggota masyarakat
dan karena membunuh seseorang berarti juga membunuh keturunannya.
[4]
[413] Ialah: sesudah kedatangan Rasul membawa keterangan yang nyata.
Komentar
Posting Komentar