cuplikan cerpen: ARAI sebuah nama, by Farid
“Yah namanya Arai,”
ujar kakek tua yang dipanggil Tun anwar itu, “Anak itu Memang aneh dik”
lanjutnya memberitahu kami. Sigembul teman kami yang berbadan tambun atau yang
nama aslinya Oki lantas bertanya, “tun anak itu darimana si? Kapan dateng? Mau
apa pindah ke desa kita?” tukasnya tanpa jeda tanpa sela {biasa oki memang tipe
anak yg cuek dan sedikit bawel, dalam kata lain agak nyebelin}, “ohh, dia itu
bertetangga ama bakti, tanya aja sama bakti kalo pengen tahu jelasnya” sahut
tun Anwar diiringi seringai senyum khasnya. Kami pun mengakhiri percakapan
kami, lantas bergegas pulang karena petang ini cuaca agak mendung. Kami berpisah dan pulang kerumah
masing-masing, namun, bagiku ada muskil tersendiri dengan anak bernama arai
itu, hemb, membuat beban di fikiran dan memaksaku tuk mencari tahu lebih dalam
tentang dia. Lekas aku menghampiri nenekku, seraya mengucap salam aku cium
tangannya kala kami berjabat tangan. Sebelumnya, namaku Mc. Gabriel biasa teman
sebaya memanggilku ariel adapula yang menyebut ‘max’ maklum aku sering ceramah
tentang pemikiran tokoh komunis karl mark saat bersama teman seumuran ku, entah
namaku terkesan aneh bagi teman-temanku katanya ‘kamu’ orang amerika kek, ada
yang menyebut israel dan banyak lagi asumsi tentang namaku yang jadi gunjingan
masyarakat tanah ende lombok, bahkan sejak kedatanganku 3 tahun silam.
Yah cerita hidupku
memang rumit aku tinggal di tanah ende lombok dekat tempat pengasingan ir.
Soekarno dulu, tempat yang indah untuk masa kanak-kanak seperti saat ini. Aku
tinggal dengan nenek & kakek dari ibuku, dan sekeluarga bibiku yang
rumahnya berdampingan. Orang tuaku sendiri tinggal ibu ku tercinta bernama
fatimah, fatimah az-zahra lulusan s2 universitas cambrige dengan gelar Ph.D
yang bagi anak seusiaku terkesan sangat asing, di sanalah ibuku bertemu dengan
ayahku Mahmed Mc. Giell muslim dari Tel Aviev, Israel yang akhirnya
menghasilkan aku dalam percintaan mereka. Namun kini, ke-2 nya berpisah tanpa alasan yang jelas, ayahku sekarang
kembali ketimur tengah tanpa ada kejelasan kabar sedang ibuku sering keluar
kota, jadilah aku kesepian dan tinggal bersama nenek.
I
Udara serasa menyengat
kali ini, selimut tebal pun tak mampu menolong pesakitanku aku terdesak untuk
bangun, jam baru menunjukkan angka 10 WITA saat aku menengok kearah dinding,
dan akhirnya aku putuskan benar-benar bangun dari tempat tidur lantas beranjak
ke toilet. Angin kencang terdengar menghembus, suaranya mendesak apapun yang
terlintas seolah-olah ingin menunjukkan kekuasannya atas tanah ende. Dengan tertatih
aku melangkahkan kaki dalam kegelapan mencari arah jam 7, “akh, ni dia” aku
bergumam sambil menyalakan lampu, dan terlihatlah deretan rak di ruangan itu,
aku tersenyum melihat apa yang ada di depanku, “yah, ini dia yang aku cari’’
seraya mengambil buku bertuliskan Aku binatang jalang, Chairul Anwar. Lekas aku
mencari tempat duduk dan mulai menyingkap perlembar dari buku itu.. “hemb,
seorang sastrawan tahun awal kemerdekaan ni” celetukku saat membaca halaman
pengantar. Hampir aku beranjak dan memilih buku lain yang biasa aku baca dan
menjadi kegemaranku sebelum akhirnya aku buka halaman selanjutnya, “waw, puisi
apa ini?” aku ngromet sendiri sambil memastikan judul puisi itu, “yah ‘aku’ aku
ini binatang jalang” lanjutku membaca, hingga akhirnya tak terasa jam sudah
menunjukkan 01.13 WITA. “oh, udah larut ternya pantes mataku mulai berat”
gumamku, akupun mulai menutup lembar terakhir dari buku itu. Seraya meraba saku
di kemeja kakekku yang tercantel di dinding tembok, sambil meraba akhirnya aku
temukan apa yang kucari, pena yang selalu kakek bawa. Dan aku mulai menulis di
sisi kiri buku itu ‘utopia’. “Harus cepat nih tinggal 10 menit lagi kakek
bangun” celotehku sambil mulai merangkai kata, kumulai dari lekang, diksi
pertama yang aku pilih dari deretan kalimat yang aku rencanakan.
UTOPIA
Lekang apa yang tersebut ‘eross’ namun kutuk nyata melekat,
Kini,Tercekat aku dalam penantian abadi - hakikat, segala menjadi tambah
berat!
Akh,.. sakit menghentak! Luluh tersimpuh sekarat,..
Gerlap membentang, lalu... tersingkap,
Cinta, cinta dan lukaku terasa aku jauh menghamba.. oh, sauh yg membuai
lembut samudra jiwa.
Tersisa fatamorgana, benar hanya utopia!
Hanya semu, tiada arti...
Kuakhiri tulisan itu
sebagai mestinya, namun, banyak hal yg terasa membebaniku, hemb, yah itulah yg
menjadi dilemaku ‘utopia’ terasa terlalu kaku.
Komentar
Posting Komentar