khazanah muslim : wahabi dalam bingkai bid'h oleh ali mahsun


penting
WAHABI DALAM BINGKAIAN BID’AH 
Oleh : Ali Mahsun
Dalam Al-Qur’an Allah berfirman "lakum dinukum waliyaddin’’_ bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Dalam ayat ini menunjukan bahwa manusia dianjurkan untuk toleransi antar sesama dan tidak boleh memaksakan dalam sebuah agama atau keyakinan, akan tetapi dalam kalimah "bagiku agamaku" menunjukan bahwa Allah mengajarkan umat islam agar punya prinsip hidup, fanatik dalam memegang agamanya sehingga tidak terombang ambing dan bercampur baur dengan pemahaman di luar islam yang bertentangan dangan aturan-aturan dalam islam itu sendiri. Agama islam mempunyai dua pegangan dalam prinsip hidup yang wajib dijadikan pedoman yaitu al-Qur’an dan Hadist yang diuraikan oleh ulama-ulama Salaf Solih, karena memahami keduanya tidak akan pernah bisa utuh dan benar kecuali lewat ahlinya.

Termaktub dalam sebuah hadist hasan sohih Nabi Muhammad SAW bersabda "Dan jauhilah oleh kamu akan perkara-perkara bid’ah (yang baru diada-adakan), kerana sesungguhnya tiap-tiap bid’ah itu adalah sesat." (HR Abu Daud dan al-Tirmidhi) Dan hadis sohih "Barang siapa yang mengada-adakan dalam (urusan) agama ini suatu pekerjaan yang tiada perintah kami padanya, maka (yang diada-adakan itu) tertolak." (Hadis Bukhari, Muslim).

Berangkat dari kedua hadis di atas dan hadis-hadis yang lain yang semakna tentang masalah bid’ah menimbulkan perpecahan yang sangat tajam di antara kelompok umat islam saat ini, dan tidak dapat dipungkiri bahwa kelompok seperti contoh Wahabi misalnya tidak jarang dari mereka, baik dalam dunia maya atau dalam dunia nyata mensesatkan amalan Kaum Nahdiyin atau Sunni dan bahkan sampai mensirikan semacam yasinan, tahlilan, maulidan, dll adalah berdalih dari hadis-hadis bid’ah tersebut. Seperti halnya tentang Tawasul dan Istigosah yang biasa dilakukan ulama’ Sunni lintas Mazdhab tidak luput dari serangan mereka, Dan tentang siapakah itu kelompok wahabi sudah dipaparkan pada edisi bulan lalu.

Untuk membuktikan hal tersebut kami mencoba sedikit menukil dari kitab-kitab mereka, ulama akir abad ini dari negara arab saudi sebagai berikut :

المنتقى من فتاوى الفوزان (4/ 7)
24 ـ هل يجوز أن نقول في الدعاء : " اللهم بجاه نبيك " ؟ لا يجوز التوسل بجاه النبي صلى الله عليه وسلم ولا بجاه غيره؛ لأن هذا بدعة، لا دليل عليه، وهو الشرك .
مجموع فتاوى ورسائل ابن عثيمين (2/ 273، بترقيم الشاملة آليا)
وأما القسم الثاني : فهو التوسل بذواتهم: فهذا ليس بشرعي ؛ بل هو من البدع من وجه ، ونوع من الشرك من وجه آخر. فهو من البدع؛ لأنه لم يكن معروفاً في عهد النبي -، وأصحابه. وهو من الشرك لأن كل في أمر من الأمور أنه سبب ولم يكن سبباً شرعياً فإنه قد أتى نوعاً من أنواع الشرك ؛ من اعتقد وعلى هذا لا يجوز التوسل بذات النبي - صلى الله عليه وسلم - مثل أن يقول : أسألك بنبيك محمد - 
مجموع فتاوى و مقالات ابن باز (4/ 323)
الجواب : التوسل بجاه فلان أو ببركة فلان أو بحق فلان بدعة وليست من الشرك ، فإذا قال : اللهم إني أسألك بجاه أنبيائك أو بجاه وليك فلان أو بعبدك فلان أو بحق فلان أو بركة فلان فذلك لا يجوز وهو من البدع ومن وسائل الشرك

Dalam 3 kitab di atas Imam Bin Baz (w. 13 Mei 1999 M) Ibnu Usaimin (w. 10 Januari 2001) menganggap Tawasul dengan kedudukan Nabi di sisi Allah adalah bid’ah dan jalan menuju sirik, dan bahkan Imam al Fauzan (L. thn 1933 M) menganggapnya sebagai sirik.

Padahal tiada ulama dari qurun ke qurun dan waktu kewaktu yang melarang Tawasul dan Istigosah sehingga datang imam ibnu taimiah yang mengingkari hal tersebut dan menyelisihi ulama-ulama salaf solih dan diteruskan oleh kelompok Wahabi masakini yang semakin jauh keluar dari batas-batas Syar’i dalam menyikapinya seperti yang bisa kita lihat dalam kitab-kitab mereka dan dalam webset-webset mereka.

Dan masalah penyimpangan Imam Ibnu Taimiah bisa kita lihat penuturan ulama yang sequrun dengannya seperti yang di jelaskan imam Tazzudin Assubki (W 771 H) dalam kitabnya Assyifa Saqom, dan lebih lanjut lagi juga bisa kita lihat di kitab Ad-Durar al-Kâminah Fi A’yan al-Mi’ah ats-Tsaminah Karangan imam Ibnu Hajar al Asqolani (W. 852 H), al Fatawa al Hadisiyah karangan Ibnu Hajar al Haitami (w. 974 h), risalah Ahlusunnah Wal Jamaah karangan Syeh Hasyim As’ari (pendiri NU) dan masih banyak lagi dari kitab-kitab ulama yang lain. Berikut dibawah ini sedikit kami nukilkan dari kitabnya Imam Tazzudin Assubki yang membantah Imam Ibnu Taimiah.

التاج السبكي : اعلم أنه يجوز ويحسن التوسل والاستغاثة والتشفع بالنبي صلى الله عليه (وآله) وسلم إلى ربه سبحانه وتعالى ، وجواز ذلك وحسنه من الأمور المعلومة لكل ذي دين ، المعروفة من فعل الأنبياء والمرسلين ، وسيرة السلف الصالحين ، والعلماء والعوام من المسلمين ، ولم ينكر ذلك أحد من أهل الأديان ، ولا سمع به في زمن من الأزمان ، حتى جاء ابن تيمية ، فتكلم في ذلك بكلام يلبس فيه على الضعفاء الأغمار ، وابتدع ما لم يُسبق إليه في ساء الأعصار ، 
( sifa as-Saqom hal 357, darul kutub al-‘Ilmiah Bairut Libanon)
sedangkan contoh-contoh redaksi tawasul dengan kedudukan Nabi dapat kita lihat pada kitab-kitab mu’tabar mashur golongan Sunni salah satu contohnya dapat kita lihat pada kitab I’anantutolibin juz 4, ucapan Syeh Ibrohim al Bajuri dalam kitabnya Kifayatul Awam, dalam kitab Hawasy Sarwani, Nihayatuz Zain, Tafsir Ruhul Ma’ani dll, dan juga redaksi tawasul semacam itu juga sudah dicontohkan dalam hadis ketika Nabi mengajari orang yang buta tentang cara Tawasul.

Dan dalam kitab fiqih lintas madzhab dan cenderung netral ‘’karena kitab ini hanya memaparkan pendapat-pendapat dari lintas madzhab’’ Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah juz 15 hal 151 (fersi maktabah Syamila) yang ditulis oleh Kementrian Wakaf dan Urusan Agama negara Kuwait sebanyak 45 juz di terbitkan Th 1983 menyatakan ada 3 pendapat tentang tawasul sama Kedudukan Nabi dan orang- orang soleh ahli ilmu yang sudah meninggal sebagai berikut.

1. bahwa Jumhur ulama dari 4 Madhab membolehkan Tawasul dengan Redaksi إني أسألك بنبيك أو بجاه نبيك أو بحق نبيك dan bahkan banyak riwayat dari ulama-ulama abad-abad awal yang melakukan Istigostah dan Tawasul seperti yang diriwayatkan Imam Malik (L. 80 H), Imam Nawawi, Al-Qodi Iyad dll.

2. Beberapa ulama dari kalangan hanafiah ada yang memakruhkan dengan redaksi tersebut, walau Imam Abu Hanifah sendiri tidak secara tegas melarang dengan redaksi إني أسألك بجاه نبيك أو بحق نبيك tapi dengan hanya mengambil sebuah kesimpulan dari ucapan Imam Hanafi ‘’ ما ورد عن أبي حنيفة - في رواية أبي يوسف - قوله : لا ينبغي لأحد أن يدعو الله إلا به "’’ sehingga mangambil hukum makruh seperti yang difatwakan Imam Ibnu Abidin (ulama Hanafiah), lahir di Damaskus Syiria pada tahun 1198 H atau 1714 M,

3. Imam Ibnu Taimiah dan sebagian ulama’ akhir dari kalangan Madhab Hambali Tanpa ada keterangan siapa contoh ulama-ulama tersebut yang melarang dan mengingkari Kebolehan Tawasul dan Istigostah dengan jah nabi setelah wafatnya beliau dan orang-orang soleh yang sudah wafat. Dan mungkin saja itu adalah ulama-ulama Wahabi karna sebagian besar pengikut Wahabi di Arab Saudi adalah bermadhab Hambali dan juga banyak yang merujuk pada kitabnya Imam Ibnu Taimiah. Dan masalah Imam Ibnu Taimiah sudah kami singgung sedikit di atas.

Dari sini dapat kita lihat bahwa mayoritas ulama ahli ilmu lintas Madhab membolehkan dan mengamalkan Tawasul dan Istigosah dan hanya segelintir ulama yang mengingkarinya dan itupun hanya Imam Ibnu Taimiah seorang yang dimana mayoritas ulama dengan terang-terangan menolak dan membantah beberapa pemikiranya yang di anggap sangat nyleneh, bukan hanya satu dua tapi berpuluh puluh ulama’ kenamaan menulis karangan yang membantahnya, di kalangan Sunni sebuah perbedaan itu sebenarnya sebuah hal yang lumrah seperti imam malik dan imam Safi’i juga ada perbedaan, Imam As’ary dan Imam Maturidi juga ada perbedaan dan semua kalangan sama-sama mengakui kebenaranya, dan jika ada sebuah perbedaan beserta banyaknya ulama yang membantah secara terang terangan perbedaan itu menunjukan pemikiran tersebut dirasa telah keluar jauh dari Jumhur Ulama Ahli Ilmu yang perlu disikapi dengan serius karna telah membahayakan.

Dan sejauh ini sepak terjang wahabi di indonesia sudah semakin menyebar luas, mereka mengharamkan tahlilan, diba’an, yasinan, kenduri kematian dll, dan mudah sekali melontarkan kata-kata sirik pada sesama muslim yang gak sealiran. Dan bahkan sudah banyak menimbulkan keresahan dan perpecahan diantara saudara dan sesama. Mungkin untuk lebih lanjut bisa anda lihat di dalam youtube http://www.youtube.com/watch?v=1PnNrIn1yUM. Yang terjadi di jogja ada seorang Wahabi yang mau membubarkan solawatan (rebana-pent) pada acara maulid dan berteriak sirik sehingga hampir saja terjadi perkelahian antara dua pihak.

Dalam menyikapi hadis setiap bid’ah Imam Syafi’i membagi dua, ada yang baik dan ada yang jelek, dan Imam Nawawi dalam sarah sohih muslim menjelaskan kata umum yang dikususkan, artinya secara golibnya.

Dan dalam hal ibadah itu juga dibagi dua. Ada yang Qosiroh dan Goiru Qosiroh, untuk ibadah Qosiroh/ yang dibatasi seperti solat duhur ada 4 rakaat maka tidak boleh diada-adakan menjadi 5 rokaat. Dan juga pada contoh sujud, dalam Syari’at sujud itu hanya ada tiga macam, sujud solat, tilawah, syukur. Maka apa bila jika ada seseorang yang sujud tanpa sebab 3 itu misalnya dan hanya bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah maka itu juga termasuk bid’ah yang diharamkan. Karna secara dzatnya sujud sudah merupakan sebuah ibadah jadi harus ada tuntunan dan tidak boleh diada-adakan

Lain halnya jika yang bersangkutan dengan ibadah goiru qosiroh semisal sodaqoh, tidak ada batasan yang terperinci sehingga kita boleh sodaqoh kapanpun, dimanapun dan berapapun walau tidak ada contohnya langsung dari nabi boleh-boleh saja selama tidak ada perkara yang diharamkan didalamnya.
Begitu juga semisal Yasinan atau Tahlilan yang dimana disitu isinya berupa dzikir dan do’a yang dimana Nabi tidak pernah membatasi tentang waktu, banyak dan tempat untuk berdzikir dan berdo’a, jadi boleh dimanapun dan kapanpun seperti semisal bertepatan dengan hari ke 1-7 orang meninggal dunia selama tidak ada perkara-perkara haram didalamnya dan tidak ada keyakinan bahwa nabi mensunahkan di hari-hari itu. Karna berkumpul-kumpul dan melaksanakan di hari itu bukan ibadah secara dzatnya, disitu hanyalah sebuah prakarsa manusia dan dzat ibadahnya adalah bedikir yang semua itu sudah ada tuntunan.

Begitu juga seperti contoh bid’ah yang sudah mentradisi adalah bersalaman sehabis sholat berjamaah, sejalan dengan qoul Imam Nawawi dalam kitab Almajmu’ bahwa hal tersebut adalah bid’ah disebabkan tidak ada tuntunan dari Nabi, akan tetapi bid’ah yang boleh karena melihat keumuman hadis Nabi yang mensunahkan bersalaman ketika bertemu saudaranya. Qoyid "salaman setiap habis solat jamaah sehingga menjadi adat’’ itulah bid’ah. Akan tetapi boleh saja karna tidak termasuk ibadah Qosiroh, tidak ada perkara haraman di dalamnya dan tidak ada pelarangan secara kusus

Jadi boleh-boleh saja dalam ibadah Goiru Qosiroh, kecuali ada dalil kusus yang melaranya, seperti contoh solat sunnah mutlak boleh dilakuakn kapanpun kecuali pada saat terbitnya matahari tidak boleh dilakukan sebab ada dalil kusus yang melarang solat pada waktu terbitnya matahari (ada lima waktu makruh tahrim). Untuk membahas lebih lanjut tentang masalah bid’ah dan tahlil mungkin perlu dibahas di edisi kusus untuk menguraikanya. Wallahu ‘alam.

blokagung.net

Komentar

Postingan Populer