Segitiga Alice

Alice memandang ke arah ngarai jauh di depannya, dan pandangan hampa itu serasa menusuk setiap buah pasang mata yang memandangnya, kesan nanar pada matanya begitu dalam mengisyaratkan kesedihannya.. semua hanya akan iba menatapnya. Rona muram penuh duka, menyelimuti parasnya nan ayu.. “Hemlet, setega ini kau padaku..?” gumannya disela tangisan getir itu. Alice tak mampu menahan isi rongga hatinya yang menyruak, membuncahkan rasa getir, mengiris jiwa yang tengah terluka.. langkah kakinya terus berayun, hingga mencium tepi ngarai itu, terlihat menakutkan apa yang ada dihadapannya, begitu dalam, pekat dan hening, ngarai yang kan membuat ciut nyali seekor harimau, namun tidak dengan Alice, “Alice! Jangan...” sorak seseorang dari kejauhan, yang kalut memandangnya akan melakukan hal bodoh, “Alice, sadarlah!, jangan kau akhiri hidupmu dengan hal bodoh semacam itu..” orang itu membujuknya penuh harap. “Untuk apa aku hidup? Bila aku telah menyingkirkan dan benar-benar membuatnya hilang selamanya??,” “Bagaimana aku menjalani hidupku, tanpa seorang yang mengisi nafasku dalam tiap hela nafasku?, yang menjadi darah dalam tubuhku?..” “Apakah aku mampu? Hidup dalam rasa bersalah tiada usai?, apakah aku mampu? Yang telah menyimpannya untuk waktu lama, tanpa benar-benar memuntahkan perasaanku pada Hamlet! Aku telah membunuhnya, aku menenggelamkannya,..” Hemlet, aku ingin merengkuhmu kembali! Walau aku harus mati...” rintih Alice. Disela tangisan Alice, Jacob mendekatinya perlahan  kemudian menarik keras Alice dalam dekapannya, dibelainya adik kesayangannya tersebut seraya berujar  “Bukan ini yang diharapkan Hemlet,”. “Ngarai ini terlalu dalam untuk menjatuhkanmu dalam kesedihan, aku khawatir aku benar-benar tak sempat menarikmu kembali dari kesedihanmu..”,.
hanya terisak dalam pelukan Jacob, Alice mencoba merebahkan segala beban kesedihannya yang telah meruntuhkannya, si Alice yang tegar, cuek dan bersahaja.
*
               
Pagi itu kembali Alice membuka mata, di tatapnya Jam yang terpasak pada dinding kamarnya. Wah terlambat.. bergegas ia beranjak dari tempat tidurnya, berlari untuk mandi. Ya, hari ini dia ada jam kuliah tepat pukul 08.00 WIB, secepat kilat dy sudah tampil modis terlihat menawan, di hadapkan wajah cantiknya pada cermin “Alice, kamu cantik.. kamu pintar dan anggun” dogma nya setiap bercermin, lantas ia berlari menghampiri daun pintu, melangkahkan kaki jenjangnya menuruni tangga rumah, dengan langkah terburu-buru ia menuju pintu utama, “Alice!, makan dulu..” sorak ibunya. “Udah mama, udah sarapan kok..” sahut nya dengan tidak mengindahkan. “Hati-hati di jalan sayang,” ibunya menimpali dengan langkah memburu, mengejar anaknya yang terlihat buru-buru.
Secepat mungkin Alice memburu waktu, mengendarai motor matic kesayangannya dengan terburu-buru, 90 km/h ia pacu kuda besinya. Tepat pukul 08.01 ia tiba di parkiran kampus, sekilas menaruh helm lalu kembali ia mengejar ketertinggalan waktu. Dengan langkah cepat ia mengayunkan kaki-kakinya, 3 menit berlau akhirnya ia tiba di depan muka kelas, Tok-tok-tok, ia ketuk pintu kelas, “Maaf pak saya, terlambat” serunya kepada dosen muda dihadapannya, “Terlambat lagi, kesiangan lagi?” timpal Hemlet yang tak lain adalah dosen filsafat ilmu sekaligus teman kakak Alice, Jacob. Wajahnya nampak tersipu malu, Alice hanya terdiam,. Dengan lirih ia berujar “Ia bang, saya usahakan pertemuan selanjutnya on-time”, sana duduk jwab Hemlet dengan senyuman sarkastis.
Hemlet melanjutkan penjelasannya, mengenai teori filsafat: Epistemologi, dengan gamblang dan pembawaan yang kuat dia utarakan tiap detail bagian-bagian materi dan tak tertinggal gaya humor yang cool iya sajikan, dialah pemenang kelas kuliah pagi ini, semua berjalan di bawah kontrol sang dosen muda, Hemlet Bertrand Russel pemuda 26 tahunan yang meraih gelar S2 terbaik universitas Oxford, London. Pujaan bagi mahasiswi kampus UNISMA karena parasnya yang rupawan dan kejernihan otaknya. “Alice!, hei.. apa kamu faham apa yang saya utarakan barusan?, Hemlet menegurnya yang terlihat diam melamun, ‘Pa-paa ham pak,’ ia menjawab dengan gugup, Hemlet tersenyum dan berkata “coba terangkan, simpulan yang dapat kamu utarakan mengenai Logico dalam epistemologi pada teman-temanmu.. pinta Hemlet padanya. Dengan muka merah ia maju ke depan memberi uraian kepada teman-temannya dengan nada tegas dan sinis, namun apa yang terjadi.. “Huu.. sorak teman sekelas Alice, dia hanya cengengesan di depan karena sama sekali jauh apa yang ia sampaikan dengan materi. Hemlet memandangnya dalam, “duduklah kembali Al (panggilan khusus Hemlet pada Alice), dan jangan kamu ulangi kebiasaanmu..” Hemlet menasehatinya, seperti berbicara dengan adik nya sendiri. Alice merasa bahagia dengan perlakuan Hemlet, yang dianggapnya sebagai kakak sendiri, dan itu memang yang selalu Alice inginkan, kedekatannya dengan Hemlet sebagai kakak yang ia sayangi. Satu jam berlalu, waktu yang sebentar bagi Alice untuk memandangi ‘kakak’nya. Hemlet mengakhiri kelas kuliahnya, Lantas berlalu meninggalkan kelas, jauh meninggalkan Alice.
Berjam-jam kemudian Alice hanya diam terkurung dalam suasana kelas yang baginya, sangat membosankan, “Ia tampan ya,?” ha,, apa Da? Alice menanggapi ocehan Nada, teman dekatnya yang paham betul perasaan Alice, iya kakak mu Hemlet, siapa lagi.. Nada ketus menimpali Alice, pengen aku jadi isterinya, Nada melanjutkan ocehannya.. seketika Alice mencubit lengan Nada. “Ih sakit tau, Al nakal..” (nada menirukan panggilan Hemlet pada Alice) dengan agak mengejek, “Terserah kamu Da,..” Alice ketus menjawab. “Yeye,, kakak Hemlet buat Nada”,. Nada teman karib Alice yang sangat ngefans pada sosok Hemlet. Alice hanya tersenyum, dan mengemasi buku-bukunya, pertanda jam kuliah telah berakhir. Mereka berdua beranjak meninggalkan kelas.
**
4 bulan berjalan, kedekatan Hemlet sebagai dosen dan kakak Alice pun semakin erat, membuat iri banyak mahasiswa lain di kampus, bagaimana tidak? Mereka lebih terlihat sebagai sepasang dara, daripada sekedar kakak-adik. Mereka sering terlihat bersama, kala di luar suasana kampus, Hemlet rutin datang ke rumah Alice, kadang hanya untuk sekedar memandang Alice walau dengan picik menggunakan Jacob sebagai alasan, maklum Hemlet junior Jacob saat SMA. Kadang mereka jalan bersama, saat weekend maupun masa libur kampus, kedekatan yang kian lama semakian kuat. Mengguncang batasan ‘kakak-adik’ mereka.
Dan, banyak hal yang tidak diketahui mereka satu sama-lain, ya kehidupan cinta mereka, Alice telah lama menyukai Helmet walau di sekedar kata ‘suka’ namun ia telah lama meloloskan perasaan tersebut untuk mengendap dalam sanubarinya, semenjak ia kenal Hemlet. Ya awal semester ia menjadi Mahasiswi UNISMA, terlebih saat ternyata Hemlet merupakan teman akrab kakaknya. Alice mulai sering mencuri-curi pandang padanya, kadang ia berusaha untuk membuang semuanya, satu alasan yang pasti dia belum mampu membuang perasaannya pada seseorang yang di cintainya sejak lama, bahkan ketika Alice masih baru mulai berseragam putih abu, mungkin 5 tahun silam. Kini ia tertahan dalam dilema sendiri yang dirasanya suatu yang tak perlu dirisaukan, namun dalam kenyataannya semua terfikir olehnya, bahkan menyita waktu kala ia mulai memejamkan mata.
Dering ponsel, mengusik Hemlet yang sibuk dengan tumpukan bahan disertasinya, dengan sigap ia sambar ponsel dari meja di hadapannya, Hallo? Hemlet membuka percakapan, hmm, kakak sibuk? jawab Alice di ujung telpon, “sedikit Al, Al lagi apa?”, sahutnya, “Al lagi ganggu kakak, kakak lgi apa?, Alice mengurai kekakuan mereka. Biasa disertasi menanti Al, Hemlet menanggapi. “emm, Al ganggu beneran ya kak?”, nggak banget si, Cuma agak, Hemlet menimpalinya, “Oh, ya udah kak Al tidur aj, kakak jangan tidur larut malam ya!” Alice berujar,. “Iya dedek”, jawaban terakhir Hemlet sebelum ia menutup pembicaraan mereka di telpon. Sepanjang malam terasa berkecamuk, penuh rasa yang abstrak dalam hatinya, Alice memikirkan banyak hal kadang mengorek masalalu yang membuat sudut mata sembab oleh air mata. Mengingat cinta pertamanya yang menjadi bagian indah hidupnya, pada masa lalu, Ia pejamkan mata, dan mulai terlelap dalam tidurnya, berharap ketenangan untuk hati yang sedang risau.
Waktu berlalu dan terus meninggalkan kenangan jauh di belakangnya, menggerus sisa-sisa lamunannya, dan menarik Alice mengahadapkannya pada kenyataan saat ini. Dia benar-benar mulai menyukai Hemlet walau berat baginya melupakan ‘masalalunya’. Rengek manjanya pada setiap kesempatan pada Hemlet ia jalankan untuk benar-benar merengkuh hati sang kakak. Memberikan jalan, membuka hati pada kakak kesayangannya itu, namun seolah semuanya hanya angin lalu bagi Hemlet, hanya buih yang timbul lantas hilang tersapu ombak, tak lebih dari sekedar angin; berhembus dan hilang. Alice pun merasa kakak hanya menganggapnya sebagai adik dalam arti sebenarnya, ia mulai menerima ‘prespektifnya’ itu namun terus ia memberikan perhatian sebagai bahasa tersiratnya sebagai ungkapan ‘sayang’.

to Be Continue, Next more... cooming soon!

Komentar

Postingan Populer